Ta’zhim Kepada Guru

oleh
Ilsutrasi : Santri-santri TPQ sedang belajar mengaji Al-Qur'an. (Ist)

Drs. Jamhuri, MA*

KATA ta’zhim atau sering juga ditulis dengan takzim pada saat sekarang ini hampir tidak terdengar lagi, kecuali pada acara penikahan. Di mana protokol biasa mengumumkan kepada kedua mempelai untuk malakukan salam takzim kepada kedua orang tua baik dari pihak laki-laki ataupun dari pihak perempuan.

Takzim dalam tradisi Islam tidak hanya dilakukan dalam suatu acara pernikahan tetapi juga temasuk pada setiap kegiatan yang berbentuk penghormatan dari yang lebih rendah jabatan keluarga (tutur) kepada yang lebih tinggi.

Ekspresi takzim dapat dilakukan dengan berbagai cara. Kebiasaan mahasiswa di Malaysia melakukan takzim kepada guru (pensyarah) mereka dengan membuat satu acara khusus setiap tahun, hal ini biasa dilakukan ketika memperingati hari guru. Mereka mengundang semua guru yang mengajar pada satu lembaga pendidikan mereka,  selanjutnya disiapkan makanan/hidangan dengan dana dan pengolahan yang tidak melibatkan guru, guru pada hari itu diberi pelayanan seperti layaknya seorang raja, itulah salah satu bentuk perwujudan takzim di Negara tetangga kita.

Deskripsi terhadap apa yang dialami selama menuntut ilmu sejak tahun 1974, penulis tuangkan dalam tulisan yang merupakan bentuk takzim seorang murid kepada guru yang telah berjasa memberi ilmu pengetahun. Informasi yang dipaparkan dalam tulisan ini tidak menggambarkan seluruh proses kegiatan belajar mengajar, tetapi lebih kepada kenangan yang selalu diingat, pernyataan ini perlu disebutkan karena apabila guru saya nanti membaca tulisan ini tidak merasa adanya pemilihan dan pemilahan.

Budaya penulisan seperti ini sangat diperlukan guna menumbuhkembangkan kebiasaan menulis, juga menggali kembali nilai-nilai pendidikan yang pernah ada dalam tradisi pendidikan di Gayo.

Setiap orang punya pengalaman yang berbeda dalam hidup, tapi terkadang sebagian berusaha melupakan apa yang pernah terjadi. Namun sebagian lagi ingin mengulang kisah-kisah masa lalu sehingga muncul perasaan terlalu cepat masa itu berlalu, tapi sebenarnya semua yang terjadi merupakan dasar berpijak untuk mencapai masa depan. Disamping juga perubahan masa terkadang menuntut kita untuk menuturkan apa yang kita alami supaya semua orang dapat belajar dari masa lalu kita.

Ketika masih duduk di bangku kelas 2 (dua) MIN, seorang guru bernama Jihadiyah menyuruh saya untuk bernyanyi tapi tidak satu lagupun yang sempurna saya hafal, hal ini tidak ada bedanya dengan sekarang. Lagu yang saya nyanyikan hanya “Petik Rambutan” dan “Gelang”, anehnya baru setengah lagu saya nyanyikan saya tidak bisa lagi. Masih dengan guru yang sama (Kak. Diyah panggilan saya di rumah), saya disuruh membaca buku pada halaman yang telah ditentukan, sebenarnya saya dapat membacanya tapi karena beberapa kawan tidak bisa membaca, maka saya juga ingin mencoba dan mengetahui bagaimana rasanya dihukum. Berulang kali dia tanyakan“siapa yang bisa membaca” karena dia tahu bahwa saya sebenarnya  dapat membaca, tapi saya menjawab tidak bisa membaca. Akhirnya ketokan rol panjangpun mendarat di belakang telapak tangan.

Masih jelas dalam ingatan, kami pertama kali diajar membaca dengan huruf-huruf : R, S, A, I dan U, berbeda dengan metode yang diajarkan kepada anak sekarang yaitu dengan huruf-huruf hidup : A, I, U, E dan O. Berdasarkan pengalaman kedua metode ini berbeda, yang pertama merid lebih lama dapat membaca, sedang yang kedua lebih mudah dan cepat. Karena huruf hidup itu akan dirangkai dengan huruf lain : B, C, D dan seterusnya.

Suatu hari penilik (pengawas) sekolah datang, kami sedang belajar (mata pelajarannya saya  lupa) dengan seorang ibu guru namanya Jawiriah (saya memanggilnya di rumah dengan kak. Jawir), di papan tertulis beberapa pertanyaan yang harus di jawab oleh murid. Sedang semua pertanyaan itu belum pernah diajarkan, lalu satu persatu pertanyaan yang dibuat ibu guru ditanyakan oleh penilik kepada kami, semua kami tidak bisa menjawab, penilik sekolah marah kepada ibu Jawir dan mengatakan sebelum pertanyaan dibuat hendaknya diajarkan dulu kepada murid supaya murid bisa tahu.

Setelah penilik pulang kami satu kelas dimarahi dan dihukum dengan mencubit perut kami  oleh guru pengasuh mata pelajaran yang saya lupa tersebut, saya masih teringat diantara pertanyaannya  adalah menyebut kepanjangan dari kata PELNI (Pelayaran Nasional Indonesia), pada waktu itu saya dan kawan kawan tidak tahu.

Kepala sekolah kami bernama Zainun Abbas, beliau mengajar mata pelajaran matematika, pada suatu hari ia berkata kepada kami, hari ini adalah hari istimewa karena bertepatan dengan tanggal 7 bulan 7 tahun 77 (7/7/77). Tanggal seperti ini baru kalian temukan lagi sepuluh tahun yang akan datang yaitu tanggal 8 bulan 8 tahun 88, pernyataan persis sama seperti yang dikatakan guru itu, saya ulang lagi kepada anak-anak saya di rumah ketika bertepatan dengan tanggal 1 bulan 1 tahun 11 (2011).

Lamanya sekolah di MIN 6,5 (enam setengah) tahun, karena ketika itu ada penyesuaian tahun ajaran. Semula tahun ajaran pendidikan dimulai pada setiap bulan januari, kemudian berubah menjadi bulan Juli dan ini berlaku sampai sekarang. Dalam perjalanan pendidikan di MIN guru kepala sekolah kami berganti dari Zainun Abbas kepada bapak Santa, beliau juga mengajar kami matematika, satu kali ulangan beliau memberi nilai 9 (sembilan) untuk hasil ulangan saya, sampai waktu yang lama saya tidak tahu di mana letak kesalahannya sehingga pada saat sekolah di MAN (Madrasah Aliah Negeri) buku tulis tersebut masih tersimpan, saya membuka kembali dan pada saat itu baru mengetahui kesalahannya dan benar nilai yang diberikan adalah 9 bukan 10.

Pak Maja, itu panggilan guru Fiqh dan Tarekh Islam kami. Nama lengkapnya saya tidak ingat lagi, karena dalam budaya Gayo mengetahui nama asli dari sesorang apalagi orang tua atau guru itu ada tabunya, sehingga jarang sekali kita mengenal orang dengan nama lengkapnya. Pak Maja mengajar mata pelajaran fiqh mempunyai metode sama dengan guru-guru yang lain, tapi untuk pelajaran Tarekh Islam dia punya metode yang mudak dipahami dan diingat oleh anak murid beliau. Metode yang di gunakan adalah metode kekeberen yang merupakan tradisi lisan dalam masyarakat Gayo.

Cerita Nabi Ibrahim yang mempunyai dua isteri (Siti Sarah dan Siti Hajar) dikisahkan, bagai mana Siti Hajar membuat Nabi Ibrahim lebih terpikat pada dirinya. Karena dia mempunyai gigi emas yang mengkilau, maka ketika Ibrahim bertanya sayur apa yang dibuat sekarang, Siti Hajar selalu menjawab dengan “Tuwiss” atau rebung, tujuannya adalah supaya Ibrahim melihat bahwa ia memakai gigi emas.  Namun ketika Ibrahim bertanya kepada Siti Sarah, sayur apa yang akan disajikan, beliau menjawab dengan “Terong”, ini menggambarkan bahwa Siti Sarah merasa malu menampakkan giginya karena ia sudah tua dan ompong.

Tahun 1980 melanjutkan pendidikan ke MTsN, disekolah ini terkenal gurunya yang kejam namanya Abubakar Bangkit, orangnya sangat disiplin dan kedisiplinan itu tidak hanya berlaku untuk murid tapi juga untuk guru dan pegawai sekolah. Satu ketika saya sangat teringat pada mata pelajaran hadits, mata pelajaran tersebut diajarkan juga pada waktu les sore. Hari itu hari hujan, petugas yang membuka pintu tidak hadir lalu bapak Abubakar Bangkit duduk di atas Honda CB-nya di teras sekolah dan mengajarkan kami tentang hadis “pada hari menjelang qiamat matahari akan terbit dari barat”.

Menjelang masa pensiun Bapak Abubakar Bangkit dipindah tugaskan ke sekolah PGAN, kepala sekolah digantikan oleh Muhammad Ali Asni, kami sudah duduk di bangku kelas 2 (dua). Dari beliau kami belajar melukis dan membaca tulisan jawi, rumus tulisan jawi masih teringat ketika satu suku kata mempunyai huruf kedua yang sama, maka ditulis/baca panjang sepeti buku, kuku, papa dan lain-lain ( بوكو, كوكو, فافا ).  Sistem pendidikan yang belum terjawab sampai saat ini adalah, ketika kami disuruh menghafal Al-Qur’an dan ‘ulumul Qur’an, saya dan beberapa kawan tidak bisa. Sebagai pengasuh mata pelajaran Bapak Abdul Kadir menyuruh kami untuk mengoyak lembar buku catatan kami, untuk selanjutnya meminta kami membakarnya dengan korek api yang telah disediakan, setelah selesai kami membakar kertas catatan beliau katakan inilah murid-murid yang malas belajar, sudah tidak belajar kemudian membakar buku. Saya tidak membakar buku kalian tapi yang membakarnya kalian sendiri. Dan juga daripada anda tidak belajar maka lebih baik buku-buku itu dibakar.

MTsN 1 Takengon dikenal sangat disiplin dari segi ketepatan waktu dan kepatuhan pada aturan, tidak dibedakan antara murid, pegawai dan guru. Suatu hari sebagaimana biasanya selesai senam pagi secara bergantian dewan guru memberi pengarahan, seorang guru dalam kata sambutannya menyebutkan bahwa orang-orang yang lewat melalui pagar, dan tidak melalui jalan (kebetulan pagar di belakang sekolah rusak) yang disediakan ia sama dengan kambing tidak lama dari apa yang diucapkan guru (bapak Kadir) tersebut tiba-tiba seorang guru (ibu Yur) datang melalui pagar yang rusak dibelakang sekolah, maka semua murid pada saat itu ketawa.

Ibu Yur seorang guru yang suka marah kalau muridnya tidak bisa, satu hari ketika ia sedang mengajar dan kami sebagai muridnya tidak mengerti apa yang diajarkan, ia marah dan memukul papan tulis sampai papan tulis itu terjatuh. Bentuk kaki papan tulis pada saat itu mempunyai kaki tiga, dua di depan satu lagi sebagai sandaran di belakang, berbeda dengan papan tulis sekarang yang di tempel ke dinding kelas.

Teringat dengan ungkapan beliau ketika mengajar ilmu alam, sesorang yang kesedek (museldi) berarti orang yang makan itu tidak sabar, sebelum menelan habis apa yang ada dimulutnya di memasukkan lagi sehingga angin yang ada di leher/dada belum sempat keluar sedah masuk yang lain, karena seseorang itu kesedek.

Seorang guru kami bernama Ibu Aminah, ia mengajar mata pelajaran fiqh, sampai pada pembahasan tentang hal-hal yang membatalkan wudhuk. Diantara perbuatan yang membatalkan wudhuk adalah menyentuh kemaluan, kata menyentuh kemaluan diekspresikan dengan kata “tew”.

Bapak Amin, seorang guru olah raga dan juga mengajar aqidah akhlak. Beliau bercerita tentang pahit getirnya ketika merantau dalam mencari ilmu, suatu hari karena harus makan dan tidak punya uang, dia menangkap seekor cicak dan menggorengnya. Kawan-kawan seasramanya diajak untuk makan di sebuah warung, ketika semua hampir kenyang beliau memasukkan cicak tersebut  ke dalam satu mangkuk sayur dan memanggil seorang pelayan dengan menunjukkan dalam makanan tersebut ada cicak. Pelayan melapor kepada pemilik warung, karena pemilik warung merasa itu kesalahan yang dilakukan pegawainya, maka Pak Amin dan kawan-kawan tidak membayar makanan yang telah mereka makan.

Tambahan selingan cerita dari Pak Amin untuk membuat kami sebagai murid merasa tertarik dengan mata pelajaran olah raga yang diajar, ketika menghadapi orang-orang yang menyerang beliau dalam perkelahian. Dia mengatakan mereka yang datang dari depan ditendang dengan ujung sepatu dan mereka yang datang dari belakang dia tendang dengan memakai tumit sepatu.

Saya selalu teringat dengan bapak yang mengajar mata pelajaran olah raga ini, setiap keluar main (istirahat) beliau paling menyukai permainan tenis meja. Ketika kami sedang main dengan kawan-kawan beliau selalu tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk melawannya dan ia mengajak saya, karena kebetulan saat itu saya termasuk orang yang tidak bisa dikalahkan dalam permainan tenis meja.

Tahun 1986 melanjutkan pendidikan ke MAN 1 Takengon, banyak ilmu yang didapat di samping juga banyak hal-hal yang selalu terkenang sebagai seorang siswa, metode mengajar yang digunakan guru untuk menarik perhatian siswa dan juga prilaku seorang siswa untuk mendapatkan nilai.  Ibu Asyiah yang sekarang menjadi bibik, karena saya menikah dengan keponakannya, mengajar mata pelajaran Al-Qur’an Hadits. Ketika mengadakan ujian, kami disuruh untuk menulis ayat tentang “larangan untuk mengatakan ah kepada orang tua”, saya tidak hafal ayat tersebut lalu saya menyontek dan tidak ketahuan. Karena merasa takut akan ditanya pada hari-hari selanjutnya, ayat tersebut saya hafal dan Alhamdulillah sampai sekarang masih teringat.

Ketakutan untuk ditanya terbukti, seminggu dari situ kami disuruh menghafal ayat tersebut dan saya sanggup menghafalnya. Sehingga ibu Asyiah sampai sekarang tidak tahu bahwa saya menyontek dalam ujian mata pelajaran beliau.

Mata pelajaran fiqh diajar oleh bapak guru yang bernama Jamaluddin, ketika sedang mendikte pelajaran dan bertemu dengan tahun ia selalu membacanya tidak selesai, seperti membaca tahun 1967 ia baca 1900 lalu dibiarkan dan ketika semua murid sudah menulis 1900, maka dia sambung dengan 60, dia diamkan lagi dan menyambungnya dengan angka 7 setelah semua siswa selesai menulis 60. Pak Jamal (panggilan akrabnya) sering membawa rambut panjang dikantongnya, dan memberi tahu kepada siswanya bahwa rambut itu adalah rambut ibu (isterinya), peragaan ini biasa digunakan untuk mencairkan kejenuhan bagi siswa.

Disamping mata pelajaran fiqh beliau juga mengajar mata pelajaran ekonomi, salah satu contoh yang diajarkan adalah bagaimana untungnya seorang yang merantau dan bedanya dengan orang yang tinggal dengan orang tuanya. Mereka yang merantau pernah memegang uang Rp. 5000,- (pada saat itu jumlah Rp. 5000,- itu besar) dan dapat mengatur uang itu untuk belanjanya, sedang mereka yang tidak merantau tidak pernah memegang uang sebesar itu. Karena itu ia katakan, kalau cari isteri/suami hendaknyalah orang yang pernah merantau, karena lebih pandai mengatur keuangan.

Abdul Aziz Syamaun yang selalu memanggil siswanya yang tidak bersemangat/loyo dalam berolah raga dengan panggilan orang perempuan (aisyah, aminah dll.), beliau sangat ahli dalam berbahasa Arab dan pelajaran Bahasa Inggris, pak Aziz ini sangat serius mengajar muridnya sehingga kami pernah diajarkan bahasa Arab dan mengambil tempat di Masjid Raya Takengon dengan waktu selesai shalat Isya. Pada saat itu belum terbiasa orang-orang belajar malam di Mesjid Raya, pada saat shalat Isya kami biasa bertemu dengan Bupati M. Beni Banta Cut yang selalu memuji kami karena mau belajar. Buku yang diajarkan kepada kami pada saat itu adalahnahwu wadhih, alhamdulillah ilmu itu sangat melekat dalam ingatan sampai sekarang.

Suhir Muhur Yogya, memiliki nama yang bagus dalam pengakuan pak Jamal. Beliau mengajar kami mata pelajaran Sejarah Islam, selalu mengajak kami berdebat dan berdiskusi, pemikiran beliau sangat maju dan mampu memancing siswa untuk berdiskusi. Pak Suhir selalu berkata kepada kami bahwa ia tidak mau mengajar pada jam pertama (pagi) karena beliau sebelum berangkat ke kantor harus mengambil jaring di danau Laut Tawar yang dipasangnya pada malam hari. Alumni IAIN Medan ini selalu berpenampilan seperti meliter, karena dia memang bekas komandan Menwa di almamaternya. Kami banyak belajar darinya tentang bagaimana cara berbaris, memberi hormat dan menjadi Pembina Pramuka pada saat Porseni di adakan di Takengon.

Lakmana Yogya, orang tua dari bapak Suhir Muhur, seorang guru yang sangat senior tinggal disekolah sebagai penjaga sekolah sekaligus sebagai guru, beliau sangat mahir menulis kaligrafi dan melukis. Pada saat itu banyak sekali kaligrafi di dinding sekolah dan di taman sekolah, pada jam pagi sebelum siswa datang kesekolah beliau selalu menghidupkan mic yang hampir seluruh kota Takengon terdengar, dan itu dijadikan tanda bahwa itu adalah MAN 1 Takengon.[]


*Dosen Fak. Syari’ah IAIN Ar-Raniry dan Mhs. Program Doktor Pascasarjana IAIN Ar-Raniry.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.