Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]
LAMBAN atau sering juga disebut dengan lambat mempunyai makan yang luas, dapat dilihat dari segi subjek atau pelaku dan juga dapat dilihat dari keadaan atau lingkungan yang menyebabkan kelambanan/keterlambatan tersebut. Sebenarnya kata ini ringan untuk diucapkan namun akibatnya sangat berat tergantung kepada objek yang kita bicarakan.
Pertanyaan yang sering kita tanyakan adalah, kenapa terlambat ? lambat sekali jalannya ? atau juga sering kita katakan sebagai alat untuk pernyataan kita tidak terlambat yaitu, perasaan saya sudah terlambat.
Dua bentuk pertanyaan dan satu bentuk pernyataan di atas menunjukkan keterlambatan yang sudah melewati batas waktu yang disepakati, ketika kita sudah terlebih dahulu datang kita katakan kepada orang datang kemudian, kenapa terlambat ? ketika kita buru-buru atau ingin cepat maka kita akan katakan kepada mereka yang tidak bisa cepat dengan ungkapan lambat sekali jalannya ? dan ketika kira buru-buru untuk mencapai tujuan karena waktu sudah lewat dan ada orang yang duluan sampai maka kita katakan, saya pikir saya sudah terlambat. Ketiga bentuk keterlambatan dalam pembahasan tersebut semuanya bersumber pada subjek atau prilaku seseorang, baik keterlambatan itu ada pada diri atau juga ada pada orang lain yang menjadikan seseorang menjadi terlambat.
Namun yang menentukan apakah kita lambat atau lamban adalah waktu, karena waktu berjalan tetap yang tidak pernah berjalan cepat dan juga tidak pernah berjalan lambat. Lagi-lagi sangat tergantung kepada siapa yang menentukan cepat atau lambatnya waktu, mereka yang biasa main-main dengan waktu adalah masyarakat yang tidak mampu memanfaatkan semua waktu yang tersedia sedang mereka yang menganggap semua waktu itu harus dibanfaatkan maka mereka sangat merasa rugi dan sangat marah bila ada orang yan bermain-main dengan waktu.
Pepatah Arab mengatakan “al-Waqtu ka al-saif” yang artinya waktu adalah seumpama sebilah pedang. Pepatah ini dipahami semua orang harus bisa memanfaatkan waktu dan kalau tidak mampu memanfaatkannya maka pedang itu akan melukai diri, pemaknaan pelukaan di sini adalah pemaknaan majaz yang berarti merugikan kita secara materi dan juga immateri. Sedangkan dalam ungkapan barat disebtkan “the time is money” waktu adalah uang, tidak jauh berbeda dengan pepatah Arab di atas menurut pepatah Barat tersebut waktu mempunyai nilai da mereka yang tidak menggunakan waktu secara baik maka ia akan merugi dalam hidup mereka.
Dari pembahasan di atas bisa kita pahami bahwa lambat atau lambannya seseorang sangat erat kaitannya dengan diri seseorang dan tidak ada kaitannya dengan ketentuan Tuhan, sehingga Tuhan juga memberi penegasan dalam kaitannya dengan waktu dalam firman-Nya “wal ‘ashr, Innal insana lafi khusrin” demi masa sesungguhnya manusia itu tetap dalam kerugian. Artinya manusia sangat berperan dalam menentukan apakah dirinya mampu melakukan suatu perbuatan tepat waktu atau melambatkannya sehingga tidak tepat waktu.
Solusi yang paling baik adalah semua orang harus patuh kepada waktu, dengan mengesampingkan semua kepentingan pribadi. Karena semua orang pada dasarnya mempunyai alasan untuk tidak patuh kepada dan semua orang juga mempunyai kemampuan untuk patuh kepada waktu, sehingga akhirnya tidak ada lagi pertanyaan kenapa terlambat ? kenapa labat sekali ? atau juga tidak ada lagi pernyataan pembelaan diri saya menduga saya sudah terlambat karena memang sudah terlambat.
Karena tepat waktu dan terlambat adalah masalah budaya yang ada dalam diri dan datang dari diri manusia maka siapa saja yang mengetahui manfaat waktu ia akan menjadi orang disiplin dan kedisplinan merupakan bukti dari majunya peradaban, karena itu tidak salah bila kita mengambil contoh tentang kedisiplinan dari negara yang mempunyai peradaban yang maju, dan lebih lanjut lagi mereka yang mempunyai kedisiplinan yang tinggi akan menjadi kiblat bagi mereka yang tidak mampu menegakkan kedidiplinan.