Oleh : Ida Nusraini
DALAM berbagai masalah yang dihadapi negara kita, melemahnya nilai Rupiah, tingkat ekonomi yang kian mengkhawatirkan, tingginya harga bahan pokok, asap yang tak kunjung hilang, tentunya kita bertanya, ini salah siapa, salahnya dimana, bagaimana menyelesaikannya.
Pada kenyataannya memang jarang yang mau disalahkan, apalagi mengakui kesalahan. Hanya orang yang berjiwa besar yang mampu mengakui, menyadari dan meminta maaf atas kesalahannya, merasa malu berbuat salah, berani bertanggung jawab dan mengambil tindakan atas kesalahannya.
Di negara Jepang, ada 7 prinsip ksatria yang diistilah dengan Bushido, salah satunya adalah Yū (勇 – Keberanian). Berani menghadapi kesulitan, berani memperjuangkan kebenaran, berani mengakui kesalahan, berani bertanggung jawab atas perbuatan. Hal ini demikian kuat mengakar di seluruh elemen masyarakat. Tak jarang kita mendengar pejabat yang gagal menjalankan tugas, korupsi, tidak mencapai target, terlibat skandal atau melakukan perbuatan tak terpuji, bersedia mundur dari jabatannya. Bahkan berani mengambil langkah ekstrim, harakiri, menghabisi nyawa sendiri, lebih baik mati daripada malu hidup menanggung kesalahan dan kegagalan.
Nyaris mustahil mengharapkan hal senada terjadi dinegeri kita. Dimana para penghuninya sangat gemar saling lempar kesalahan. Mencari kambing hitam, melimpahkan kesalahan pada orang lain. Rakyat menyalahkan pemimpin atas lambannya tindakan, tidak berpihaknya kebijakan pada hajat hidup rakyat, tidak peka terhadap beban derita rakyat yang kian berat. Pemimpinpun kembali menyalahkan rakyat, atas ketidakmengertian terhadap kebijakannya, atas kritikan-kritian yang terdengar pedas ditelinga. Semua terjebak dalam lingkaran setan tak berkesudahan.
Mengapa rakyat menyalahkan pemimpin?
Wajar, karena pada pemimpinlah rakyat menggantung asa dan meluahkan keluh kesah. Karena pemimpin tidaklah harus melakukan semua pekerjaan sendirian. Pemimpin ibarat dirigen dalam sebuah konser musik, yang cukup menggerakkan tangan agar semua pemain musik memainkan irama sesuai notasi lagu. Dirigen yang hebat bukanlah yang mampu memainkan semua alat musik sendirian dalam waktu yang bersamaan, namun dirigen yang piawai memberikan arahan, memberikan tanda pada semua pemain kapan dan bagaimana memainkan alat musik yang dipegangnya masing-masing. Maka ketika konser musik terdengar tidak harmoni, hambar, sumbang, siapakah yang harus disalahkan? Sang dirigen akibat ketidak piawaiannya? Atau pemain musik yang tidak mengerti komando pemimpinnya? Ya bisa jadi dua-duanya.
Seorang pemimpin perlu memiliki kecerdasan dan keahlian khusus untuk membahasakan segala kebijakan agar rakyat mengerti dan memahami. Pemimpin yang peka, berani mengambil langkah cepat dan tepat memecahkan masalah kerakyatan, langkah nyata dalam mewujudkan apa yang dijanjikan, itulah sejatinya pemimpin yang pantas disebut pahlawan
Dari mana asalnya rasa tidak mau disalahkan?. Mungkin kita lupa, itu bukan sifat dasar manusia. Karena kakek nenek moyang kita, Adam dan Hawa, segera mengaku bersalah dan mohon ampun ketika Allah menegur kesalahan mereka. Mereka bertanggung jawab dan bersedia menanggung akibat perbuatannya, diturunkan kedunia, mengakhiri kenikmatan hidup dalam syurga. ”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah berbuat aniaya terhadap diri kami, karenanya jika Engkau tidak memberi pengampunan dan rahmat kepada kami tentulah kami tergolong orang-orang yang zalim” (QS. Al A’raf:22-23). Sebuah pernyataan berjiwa besar mengakui kesalahan dan memohon ampunan telah dicontohkan dari awal sejarah penciptaan manusia.
Tidak mau disalahkan, berlepas tangan adalah sifat syaithan yang ingkar, angkuh, enggan tunduk terhadap perintah Tuhan. Sifat syaithan itulah yang kemudian merasuk pada hati manusia yang tak beriman. “Dan berkatalah syaitan tatkala perkara telah diselesaikan (pada hari hisab), ‘sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tapi aku menyalahinya. Dan sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, tapi aku sekedar menyeru kamu, lalu kamu memenuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu menyesali aku akan tetapi sesalilah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolong kamu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan kamu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu. Sesungguhnya orang-orang zalim mendapat siksa yang pedih.” (Ibrahim : 22)
Terang benderang sudah, bahwa sifat tidak mau disalahkan adalah sifat kesyaithanan manusia, atau sifat manusia yang kesyaitanan, karena sampai saat ini belum pernah terdengar istilah syaithan yang kemanusiaan.
Ketika berbuat salah atau dituding berbuat salah, manakah yang akan kita munculkan? Bersikap ksatria, membersihkan hati, mengevaluasi diri sendiri, merendahkan ego, menyadari, mengakui dan memperbaiki. Atau nyinyir kesana kemari, mencari kambing hitam, melepaskan diri, kalau perlu mengorbankan orang lain. Terserah kita, karena Allah Maha Tepat perhitunganNya. Tiada yang luput dari pengawasanNya. Semoga Allah menganugerahkan kearifan, agar para pencari kambing hitam, bisa lepas jerat lingkaran setan.[]
*Pengamat pendidikan dan sosial kemasyarakatan, tinggal di Takengon