Manti & Kumen Bukan Dongeng !?

oleh

Munawardi | Dodi Al-Amsyah

Ilustrasi : Irwansyah
Ilustrasi : Irwansyah

KEBERADAAN manusia manti, ternyata bukan hanya “kekeberen” atau dongeng semata. Beberapa waktu yang lalu, seorang warga Kala Empo, Kecamatan Linge, Aceh Tengah, M Yusuf Aman Darma, mengaku sering bertemu dengan Mante, yang oleh masyarakat Gayo dikenal dengan sebutan Manti.

Aman Darma mengaku beberapa kali berjumpa dengan makhluk ini, secara tidak sengaja, ketika ia pergi berburu ke hutan atau pergi menjala ikan di hutan kawasan hutan Linge, Aceh Tengah. Manti yang pernah dilihatnya sangat liar, seperti kijang berlari dengan sangat cepat.

Manti memiliki kepekaan yang luar biasa tajam terhadap kehadiran manusia biasa didekatnya. Karenanya dia akan segera menghindar, berlari dengan kecepatan luar biasa, menghilang, hingga tidak dapat terlihat bagaimana makhluk tersebut berpindah tempat ditengah rimbunan hutan.

“Sulit untuk mendeteksi tempat persembunyiannya,” ungkap Aman Darma kepada Munawardi dari LintasGayo.

Kisah Aman Darma, Manti yang ditemukannya ada dua sosok, dengan tubuh ditutupi bulu. Hanya saja tidak diketahui secara persis, apakah Manti yang ditemukan itu sepasangan atau tidak. Karena tidak dapat dipastikan apakah Manti itu berlainan jenis atau tidak, karena sulit menngetahui jenis kelaminnya.

Aman Darma bahkan mengaku pernah mengikuti makhluk tersebut saat bertemu. Hanya saja, ketika mencoba mengikuti arahnya, mahluk itu seakan berlari mundur ke belakang. Sehingga, hanya jejak kaki yang tertinggal. Jekak tapak kaki itu mirip jejak kaki manusia usia anak-anak.

Bagi masyarakat Gayo, manusia misterius ini ada dua jenis, yaitu Manti dan Kumen. Sekilas keduanya merupakan makhluk yang sama, namun yang membedakan kedua jenis ini adalah pada kakinya, pada sosok yang dinamakan “Kumen” memiliki postur kaki yang tidak biasa, yaitu kaki terbalik kebelakang, dengan posisi tumit menghadap ke bagian depan tubuh.

M Yusuf Aman Darma
M Yusuf Aman Darma

Sedangkan, Manti di Gayo merupakan makhluk yang sangat mirip dengan manusia, hanya saja berperawakan kecil, ukuran badannya hanya setinggi anak-anak umur tujuh tahun, tidak mengenal penutup badan atau pakaian, diperkirakan tinggal di dalam hutan belantara Gayo, wilayah Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan sekitarnya. Terbilang sangat langka orang yang pernah bertemu dengan sosok makhluk ini.

Pun begitu, berdasarkan keterangan beberapa sumber, terdapat perbedaan pendapat, bagaimana wujud Manti dan seperti apa pula Kumen.

Tertangkap di Kungke

Warga Pegasing, Siswandi juga membenarkan adanya keberadaan makhluk yang dinamakan dengan Manti tersebut di hutan belantara Gayo. Dimana, pada tahun 1983 silam, Manti pernah tertangkap di daerah Kungke, Aceh Tenggara yang kini termasuk dalam wilayah Kecamatan Puteri Betung, Kabupaten Gayo Lues.

Satu makhluk Manti, berperawakan kecil, sekilas terlihat seperti seumuran anak sekolah TK, tinggi tubuhnya hanya sekitar 60 cm, dengan penampilan bentuk kaki yang aneh, kaki terbalik, bagian tumit berada di depan, sedangkan jari-jari kaki menghadap kebelakang.

Makluk ini tertangkap secara tidak sengaja oleh Siswandi bersama beberapa rekan kerjanya, yang pada saat itu sedang bertugas di Dinas Kehutanan setempat. Dimana, saat itu Siswandi bersama rekannya melintas dengan mobil di daerah Kungke pada malam hari, tiba-tiba dihadapan mereka terlihat tiga Manti terkena sorotan lampu mobil yang mereka tumpangi.

Siswandi
Siswandi

Setelah mereka keluar dan mencoba mengikuti ketiga Manti tersebut, dua Manti berhasil kabur dan menghilang di tengah hutan dan gelapnya malam. Sementara satu Manti, terpojok dan tertinggal dibawah sudut tebing, meringkuk, terlihat pasrah, karena sudah tidak berdaya menaiki tebing yang terbilang sangat tinggi, ditinggal lari oleh kedua Manti lainnya.

Diketahui satu Manti yang sempat tertangkap ini berjenis kelamin perempuan, kemudian dibawa ke Dinas Kehutanan setempat, dan ditempatkan di dalam kerangkeng. Semenjak tertangkap, Manti ini tidak pernah memberikan reaksi apapun, seolah menunjukkan ekspresi malu sekaligus takut kepada manusia. Berbagai cara sudah ditempuh, agar makhluk tersebut merespon petugas kehutanan, termasuk memberikan makanan dan buah-buahan, namun makhluk ini tetap tidak bergeming.

Karena merasa kasihan, setelah dua hari sejak tertangkap, pihak Dinas Kehutanan akhirnya mengembalikan makhluk Manti ini ke tempatnya semula, di hutan. Dengan seketika setelah dilepaskan di hutan, makhluk ini berlari begitu kencangnya dan menghilang dengan cepat, kenang Siswandi.

Pemerhati politik, sosial dan budaya asal Gayo yang kini menetap di Denmark, Yusra Habib Abdul Ghani, Sabtu 19 September 2015 di Takengon mengaku, Manti ini mirip dengan penemuan “Flores Man” yang dijuluki dengan “Hobbit” atau “Flo” pada tahun 2003 silam, di Flores Nusa Tanggara Timur. Makhluk kerdil yang ditemukan kerangkanya tersebut oleh arkeolog, merupakan spesies endemik yang dinamai dengan “Homo floresiensis” atau “Flores Man” yang berarti “Manusia Flores”.

homo floreensis. (Foto : Ketut Wiradnyana)
homo floreensis. (Foto : Ketut Wiradnyana)

“Ukuran kerangka manusia flores ini ditemukan berukuran tinnggi hanya 1,1 meter, sehingga disebut sebagai manusia kerdil dari Flores,” jelas Yusra.

Ukuran tubuh suku Manti ini di luar lazimnya manusia biasa, karena suku Manti ini hanya berukuran kurang lebih semeter, alias bertubuh kerdil, atau kira-kira seukuran tubuh anak usia 6 tahun. Memiliki kulit berwarna hitam dan berambut ikal. Ciri-ciri fisik seperti ini mengingatkan kita kepada suku Pigmi di Afrika. Tetapi suku Manti ini bukanlah ras negroid seperti Suku Pigmi, melainkan memiliki ras weddoid, seperti suku Kubu di Jambi, hanya saja berukuran tubuh kecil.

Dari berbagai literatur yang dihimpun LintasGayo, Manti ini sama halnya dengan sosok orang pendek yang ditemukan disejumlah daerah di Indonesia. Orang pendek adalah makhluk cryptozoology paling termashyur di Indonesia. Konon menurut para saksi ia memiliki tubuh seperti kera, namun berjalan seperti manusia. Berbeda dengan Bigfoot di Amerika, maka Orang Pendek benar-benar sesuai dengan namanya. Makhluk ini hanya memiliki tinggi kurang dari satu meter.

Orang Pendek adalah makhluk cryptozoolgy yang dipercaya hidup tersebar di beberapa wilayah Sumatera seperti Bengkulu, Palembang dan Jambi. Nama-nama lain yang sering diasosiasikan dengan Orang Pendek antara lain: Atu Pendek, Ijaoe, Sedabo, Sedapa, Sindai, Uhang Pandak, Orang Letjo dan Orang Gugu. Makhluk ini memiliki tinggi hanya sekitar 70 cm, diselubungi oleh bulu gelap. Namun wajahnya relatif tidak diselimuti bulu. Kadang-kadang para saksi mendengar suara-suara aneh yang keluar dari mulutnya.

Mulanya banyak peneliti yang menduga bahwa makhluk ini sesungguhnya adalah seekor kera atau siamang. Namun deskripsi para saksi mengenai perilaku dan cara berjalannya tidak sesuai dengan perilaku kera atau siamang. Lagipula, jejak-jejak kaki yang ditemukan menunjukkan bahwa makhluk ini tidak tergolong kedalam primata yang sudah dikenal.

Ahli Cryptozoology W Osman Hill percaya bahwa Orang Pendek masih memiliki hubungan dengan Homo Erectus dari Jawa. Peneliti lain menghubungkannya dengan hobbit dari Flores. Sedangkan penduduk lokal Sumatera percaya bahwa Orang Pendek adalah makhluk yang ramah, yang hanya menyerang hewan-hewan kecil untuk makanan. Karena itu mereka menerima keberadaan makhluk ini dengan toleransi.

Abad 20

ilustrasi hutanLegenda Orang pendek mulai terdengar sejak awal abad 20. Pada tanggal 21 Agustus 1915, Edward Jacobson menemukan sekumpulan jejak misterius di tepi Danau Bento, di tenggara Gunung Kerinci, Provinsi Jambi. Pemandunya yang bernama Mat Getoep mengatakan bahwa jejak sepanjang 5 inci tersebut adalah milik Orang Pendek.

Pada Desember 1917, seorang manajer perkebunan bernama Oostingh berjumpa dengan Orang Pendek di sebuah hutan dekat Bukit Kaba. Ketika makhluk itu melihatnya, ia bangkit berdiri lalu dengan tenang berjalan beberapa meter dan kemudian naik ke pohon dan menghilang.

Bukan hanya di Kerinci, penampakan makhluk ini juga sempat dilaporkan di wilayah Palembang. Seorang Belanda yang bernama Van Herwaarden menceritakan bahwa ia melihat Orang Pendek di sebuah pohon di utara Palembang pada Oktober 1923. Pertama, Herwaarden bermaksud menembaknya, namun kemudian ia melihat makhluk itu sangat mirip dengan manusia sehingga ia memutuskan untuk membiarkannya. Pengalamannya dipublikasikan di majalah Tropical Nature no.13 yang terbit tahun 1924.

Pada tahun 1924 juga, museum nasional Bogor menerima cetakan jejak yang dipercaya sebagai milik orang pendek, namun akhirnya museum berhasil mengidentifikasi bahwa jejak tersebut adalah milik beruang Melayu yang diketahui kadang memang berdiri dengan dua kaki. Para ilmuwan yang skeptis kemudian menulis keraguan mereka akan keberadaan Orang pendek.(http://www.enigmablogger.com/)

Beberapa tahun kemudian, Museum kembali menerima bangkai yang dipercaya sebagai Orang Pendek. Penemuan ini sempat menjadi headline selama 2 hari karena adanya hadiah yang ditawarkan untuk penemuan bangkai Orang Pendek. Namun kemudian ketahuan ternyata bangkai tersebut adalah milik seekor kera yang dimodifikasi oleh penduduk lokal yang ingin mendapat hadiah.

Namun makhluk ini kembali mulai mendapat status internasionalnya pada tahun 1989 ketika seorang penulis Inggris bernama Deborah Martyr menemukan jejak-jejak Orang Pendek di barat daya Sumatera. Jejak-jejak tersebut setara dengan jejak anak kecil berusia 7 tahun. Ia lalu mencetak jejak tersebut dengan gips dan mengirimnya ke badan pemerintahan yang mengurus taman nasional, namun kemudian cetakan itu hilang.

Setelah 5 tahun meneliti, Martyr akhirnya melihat sendiri Orang Pendek di wilayah Gunung Kerinci pada 30 September 1994. Makhluk itu terlihat sedang berjalan dengan tenang dengan dua kakinya. Setelah jarak beberapa puluh meter, makhluk itu berhenti sebentar, menoleh ke Martyr, lalu menghilang ke dalam hutan. Sejak penampakan itu, Martyr masih menjumpai makhluk itu dua kali.

Luar biasanya, walaupun Orang Pendek umumnya berhabitat di Kerinci, Provinsi Jambi, namun penampakan makhluk ini terjadi di hampir seluruh Sumatera. Pada tahun 1995 ketika gempa besar melanda Liwa, Lampung, beberapa penduduk lokal menyampaikan kepada para pekerja asing bahwa mereka menyaksikan Orang Pendek keluar dari hutan, mungkin takut akibat gempa besar tersebut.

Para peneliti kemudian mulai mendapat kemajuan ketika pada tahun 2001, sekelompok tim ekspedisi amatir dari Inggris yang dipimpin oleh Adam Davies menemukan sekumpulan jejak yang dipercaya milik Orang pendek.

Snouck Hogronye. (foto : www.leidenuniv.nl)
Snouck Hogronye. (foto : www.leidenuniv.nl)

Cetakan jejak kaki tersebut dikirim ke Cambridge untuk dianalisa dan hasilnya jejak tersebut adalah miliki seekor kera dengan campuran karakter gibon, orangutan, simpanse dan manusia.

Dengan adanya segudang laporan penampakan dan contoh rambut serta cetakan jejak kaki, pada September 2009 ini, sekelompok tim peneliti dari Inggris yang bernama Centre for Fortean Zoology (CFZ) berangkat menuju Kerinci untuk mencari keberadaan Orang Pendek.

Tim yang terdiri dari empat orang ini akan dibantu oleh suku pedalaman setempat (suku kubu) untuk mencari keberadaan makhluk ini. Kepala suku dan banyak dari anggota suku ini telah menyaksikan keberadaan Orang Pendek dengan mata kepala mereka sendiri.

Tim ini berangkat pada awal September 2009. Pada pertengahan September, mereka melaporkan bahwa mereka telah menemukan jejak kaki yang diyakini sebagai milik Orang Pendek. Bahkan dua anggota tim, Dave Archer dan Sahar Didmus mengaku melihat Orang pendek dengan mata kepala sendiri. Menurut mereka, makhluk itu awalnya bersembunyi di belakang pohon, lalu kemudian tiba-tiba berlari dengan dua kakinya masuk lebih dalam ke hutan. Menurut Dave, Orang pendek memang memiliki kemiripan dengan simpanse. Bedanya makhluk ini berjalan dengan dua kaki seperti manusia.

Istilah Mante dikenalkan secara luas oleh Dr Snouck Hurgronje dalam karya terkenalnya De Atjehers. Mengutip keterangan yang diperolehnya dari para informannya, ia melukiskan orang Mante orang Mantran tinggal di wilayah perbukitan Mukim XXII. Malahan konon, pada pertengahan-abad XVII, ada sepasang Mante laki-perempuan ditangkap dan dipersembahkan kepada Sultan Aceh. “Mereka tak mau berbicara, tak mau makan-minum yang disodorkan, hingga akhirnya mati…,” begitu Snouck Hurgronje memberikan ilustrasi.

Tetapi lewat buku yang sama ia juga menyatakan, panggilan mante akhirnya juga diberlakukan untuk menyebut mereka yang bertingkah kebodoh-bodohan dan berlaku kekanak-kanakan. Hur­gronje sendiri memang mengaku belum pernah bertemu muka dengan kelompok termaksud.  Kata Prof Ibrahim Alfian, “Dalam Kamus Gayo-Belanda susunan Dr GAJ Hazen, terbit tahun 1907, istilah Manti digunakan untuk sekelompok masyarakat liar yang tinggal di hutan. Sementara pada Kamus Gayo-Indonesia tulisan antropolog Melalatoa, panggilan Mante juga disebutkan untuk memberi nama kelompok suku terasing setempat.” Berdasar kenyataan ini, sejarawan asal Aceh tadi menyebutkan, “…kalau memang suku tadi ditemukan kembali, penelitian ilmiah perlu dilakukan secara tuntas di samping upaya Departemen Sosial yang mempunyai tugas antara lain, membina suku-suku terasing.

Semoga saja, penemuan Manti dan Kumen kembali oleh masyarakat Gayo di Gayo Lues, Aceh Tengah dan Bener Meriah membuka peluang bagi peneliti nasional bahkan dunia, untuk melakukan penelitian kembali, sekaligus guna pembuktian, Siapa Manti dan Kumen ini sebenarnya? []

*Sudah terbit di Tabloid LintasGAYO edisi 25 edisi Oktober 2015

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.