
Oleh : Khalisuddin*
MURERAK, nama istilah Gayo yang berasal dari kata Rerak, kata benda berarti parit persawasahan. Dengan ditambahi awalan Mu, menjadi kata kerja yang bermakna sebuah perlakuan membersihkan parit agar leluasa dialiri air (normalisasi) hingga masuk ke petak-petak sawah (ume).
Istilah Murerak, sangat tidak asing di telinga warga Gayo, khususnya petani padi karena Murerak adalah proses pertama saat akan memulai musim tanam padi setelah Tulak Bele atau Nanyang, sebelum mubelah (dengan mencangkul atau nengel yang bertenaga kuda), ngaki (membersihkan tanggul sawah-patal ni ume), mungoro (menghancurkan gumpalan tanah sawah dengan tenaga kerbau), menumang (tanam padi) dan seterusnya. Pekerjaan Murerak biasanya dilakukan secara bergotong royong para pemilik sawah yang sumber air sawahnya sama. Parit sawah dari hulu dibersihkan dari sampah, semak belukar (karit) atau bagian yang mengalami penyumbatan akibat amblasnya bagian tanggul rerak.

Berbagai jenis peralatan diturunkan saat Murerak, parang untuk membersihkan semak, skop dan lam untuk merapikan sisi kanan dan sisi kiri rerak. Lalu cangkul untuk mengambil sampah dan tanah yang berada di dasar rerak.
Dulu, saat Murerak juga diturunkan peralatan menangkap ikan seperti wau dan serue (bubu) serta durung (saok) karena biasanya saat murerak juga ditemukan ikan jenis Lokot (sejenis gabus), Mut (lele), Ili, Keperas dan lain-lain. Karenanya, Murerak sangat ditunggu-tunggu oleh anak-anak Gayo karena dipastikan akan turut diselingi dengan menangkap ikan.
Saat ini, Murerak semakin jarang dilakukan seiring dengan dibetonnya rerak hingga di tengah persawahan. Juga dengan berkurangnya areal persawahan itu sendiri, dijadikan kebun atau perumahan.
Atasi Banjir, Pemerintah dan Masyarakat
Kegunaan Murerak adalah untuk melancarkan aliran air, memudahkan distribusi ke petak-petak sawah dan tidak meluap kemana-mana. Melihat kondisi di Gayo sekarang yang saat musim hujan terjadi banjir menggenangi jalan dan merendam pemukiman warga, alangkah baiknya tradisi Murerak ini diadopsi masyarakat yang dilakukan secara bergotongroyong sebelum musim hujan tiba.
Ekses tingginya curah hujan yang berakibat banjir diatasi secara bersama-sama, tidak mesti ditunggu pihak Pemerintah yang melakukannya. Meninggalkan perilaku bersisalahen (saling menyalahkan) saat persoalan datang. Enti nantin gerieten baro i tos begen, begitulah Peri Mestike yang diwariskan pendahulu Gayo yang bermakna jangan tunggu sesak perut baru dibuat WC.
Lalu bagaimana peran pemerintah dalam atasi banjir?, tentunya untuk pekerjaan yang lebih besar. Normalisasi aliran sungai salahsatunya, terutama untuk sungai yang melintasi pemukiman warga dan areal persawahan.

Harus realistis, dalam beberapa kasus banjir pihak Pemerintah patut disalahkan. Soal perencanaan pembangunan yang kurang jeli dalam pembangunan parit atau gorong-gorong dan lain sebagainya yang berkaitan dengan air, tidak dikaji mendalam sebelum action. Contoh kasus luapan air di Mongal Kabupaten Aceh Tengah, lintasan jalan Takengon-Bireuen, gorong-gorong yang dibangun tidak mampu mengalirkan air sehingga meluap ke badan jalan dan perumahan warga.
Pembangunan parit jalan Simpang Pet hingga Kebayakan termasuk depan Rumah Sakit Umum (RSU) Datu Beru juga sama, lebar dan kedalamannya kurang, saat hujan air meluap ke badan jalan. Banyak lagi contoh lainnya.

Untuk jalan lintas Takengon-Pegasing lebih parah lagi, samasekali tidak ada parit di kanan-kiri jalan. Ya pastilah, saat hujan sebagian badan jalan tersebut berubah jadi sungai.
Satu contoh pemabngunan rerak yang layak diacungi jempol adalah di jalan Terminal-Sp. Wariji, Dibangun cukup dalam dan lebar beberapa tahun silam .
Akhir ni cerak (simpul kata), Tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya, mari kita lakukan, Agih si belem, genap si nge munge, antisipasi sebelum terjadi, jadikan pelajaran yang sudah-sudah. []
*Pemred LintasGayo.co