
Takengon-LintasGayo.co : Pengacara serumpun Gayo didorong untuk memeriksa dan mempelajari bukti-bukti kekejaman Marsose Belanda pada tahun 1904. Hal ini disampaikan H.M. Iwan Gayo dihadapan 7 (tujuh) pengacara dalam pertemuan yang berlangsung di ruang sidang DPR Kabupaten Aceh Tengah, Minggu, 11 Oktober 2015.
Dalam 20 halaman “makalah” yang disampaikan ketua tim Ekspedisi Kekejaman Marsose Belanda 1904, H.M Iwan Gayo kepada para pengacara yang hadir pada kesempatan itu.
Iwan Gayo menyajikan laporan ilmiah berkoordinat GPS dan bergrafis fotography sebagai bukti lokasi, kemana saja dan seperti apa hasil perjalanan Mapping dan Tracking yang dilakukan dalam rangka mencari tahu seperti apa nasib dan posisi para anak-cucu “Korban Selamat” kekejaman “genosida” Marsose Belanda, yang kini berada dalam keadaan sangat memprihatinkan.
Para pengacara serumpun Gayo yang menghadiri laporan itu, terdiri dari Basrah Hakim, Duski, Hamidah, Indra Kurniawan, Muzakir Ardah, Tamarsyah dan Wajadal Muna.
Menanggapi laporan berupa bukti bergambar dan berkoordinat itu, para pengacara menyatakan sangat menghargai hasil expedisi yang berlangsang selama 5 bulan (Mei-September 2015). Pada acara diskusi itu anggota Team Expedisi Van Daalen turut hadir al. Jihad, Kamarudhin, Ramlan Bona, dan Marhaban Syah.
Iwan Gayo bersama LK Ara dan Oedin dela Rosa, ketiganya penggagas awal terbentuknya “Team Expedisi Mengungkap Kejahatan Genosida Belanda 1904” itu, bermaksud menyeret Belanda ke Mahkamah Internasional dalam waktu dekat, dan karenanya mereka melakukan “blusukan” menjelajahi seluruh kawasan di Sumatera Utara, dan provinsi Aceh untuk menyaksikan dan mencatat seperti apa nasib anak-cucu “Korban Selamat” bangsa Gayo yang meninggalkan kawasan kelahirannya, pergi jauh mengungsi ke arah pesisir karena tidak sudi berada di bawah kekuasaan Belanda, bersama keluarga, tetangga dan kaum sekampungnya.
Iwan Gayo meminta para pengacara memberi komentar, kritik dan saran atas makalahnya itu, dimana terdapat bukti-bukti kemiskinan, buta huruf, kelaparan dan marginalisasi serta de-Gayo-nisasi secara masif terhadap anak suku bangsa Gayo yang seluruhnya tinggal di pedalaman, 20-30 km dari kampung asli leluhurnya, dan 30-80 km dari pesisir Selat Malaka.
Pada masa itu, 1904, korban selamat genosida Belanda itu tidak mengungsi ke pesisir dekat laut, karena Belanda sudah membangun infra struktur berupa jalan raya, rel Kereta Api Kota Radja-Besitang (500 km) dan telah pula mendatangkan buruh dari Jawa dan China untuk membangun perkebunan Rambung (karet).
“Laporan ini memberi inspirasi kepada kami para pengacara serumpun Gayo, yang untuk pertama sekali dapat berkumpul bersama untuk memberi bantuan hukum kepada aspirasi anak suku bangsa Gayo dalam rangka menuntut Pemerintah Kerajaan Belanda untuk bertanggungjawab atas pembantaian genosida yang dilakukan oleh Nederland Hindie pada tahun 1904 itu”, demikian Duski, SH, pengacara senior, yang telah berkiprah puluhan tahun di Dataran Tinggi Tanah Gayo itu.
Duski,SH ditunjuk oleh majelis diskusi 11 Oktober 2015 itu sebagai Ketua Forum. Basrah Hakim, SH, pengacara paling senior yang ditunjuk sebagai penasihat dari “Forum Pengacara Serumpun Gayo” yang terbentuk secara mendadak itu, menyatakan penghargaannya kepada ketiga
penggagas Iwan Gayo, LK Ara dan Oedin Dela Rosa, tiga wartawan purnawirawan serumpun Gayo. (GM)