Kha A Zaghlul
JUNAIDI Wien Tarmuloe atau yang akrab disapa dengan Mr (Mister) Jun, terlahir sebagai anak ke 8 dari 9 bersaudara dari pasangan Iman Jamli dan Mariyam, di Desa Lelabu. Mengawali pendidikan di SD Alur Gading Singah Mulo (sekarang kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah). Sebelumnya sempat mengenyam pendidikan di SD N Kercing, Bebesen.
Tamat sekolah SD, orang tuanya sudah merencanakan untuk tidak melanjutkan pendidikannya, karena tenaganya lebih dibutuhkan di kebun membantu keluarga daripada menghabiskan waktu di bangku sekolah. Terlebih fisiknya tidak sesehat orang pada umumnya. Mr. Jun harus bolak-balik setiap 2 bulan sekali ke Puskesmas atau rumah sakit karena penyakit yang bergilir mendiami tubuhnya. Namun Tuhan berkata lain. Mr Jun tetap melanjutkan pendidikannya hingga jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA).
Sangat beruntung, walau hambatan datang lagi dari permintaan ayahnya untuk tidak melanjutkan pendidikan ke Universitas, datang. Laki-laki bertubuh langsing ini tetap berkeras hati. Mematahkan mitos bahwa kuliah hanya untuk keluarga mampu. Akhirnya Ayahnya memberikan kesempatan kuliah namun paling jauh di Banda Aceh.
Iaberusaha tanpa lelah, 3 kali banyaknya untuk mencoba keberuntungan di Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, namun tidak sekalipun namanya ada dalam daftar mahasiswa yang lulus. Begitu juga dengan Universitas Abulyatama (Unaya), namanya hanya lulus pada jurusan bahasa Inggris. Jurusan yang tidak diminatinya sama sekali. Akhirnya Mr. Jun memberanikan diri mengirim beberapa surat ke Universitas di Jawa, salah satunya UPN Veteran Yogyakarta di teknik mineral. Tidak di sangka, Kampus itu memanggil Mr. Jun untuk mengikuti tes. Namun sesampainya di Jawa, dia malah mengikuti tes di universitas besar lainya. Dan akhirnya memilih kuliah di Fakultas Kedokteran daripada di Tekhnik Mineral UPN.
Inilah beberapa pertanyaan kami saat menghubungi beliau via online beberapa waktu lalu:
Mr. Jun, boleh ceritakan bagaimana lingkungan masa kecil Anda?
Sebenarnya, masa kecil saya sama dengan kebanyakan orang di pedesaan. Pulang sekolah membantu ibu di sawah atau memetik kopi, menjaga adik atau keponakan yang masih kecil, bermain di sawah dengan kerbau, memancing ikan di kolam atau pergi ke Danau Lut Tawar dan yang seru itu saat kawanan anak-anak memasang getah untuk menangkap burung pipit. Ya, tidak ada bedanya dengan kebanyakan anak-anak di kampung.
Kabarnya, Mr. Jun pernah ketinggalan kelas?
Ia benar, memang kemampuan otak saya dibawah rerata. Bahkan membaca baru dapat saya lakukan di kelas 2 SD. Apalagi berhitung, sulit sekali. Bahkan sempat guru walikelas saya bertanya 1 tambah 1 berapa, sambil menunjukkan kedua belah jari telunjuknya. Dan saya menjawab 11. Karena saya lihat telunjuk ibu guru kanan 1 dan kiri 1 jadi jika angka satu bertemu dengan angka satu maka jadinya dua angka 1. Sehingga jawaban saya 11. Efeknya nilai matematika saya 0. Sehingga tidak bisa naik kelas.
Bahkan rangking saya di SD hanya menduduki urutan 20 dari 31 siswa. Itu bertahan sampai tamat, dan seringnya malah tidak dapat rangking. Itu artinya rangking saya diatas 20.
Tidak ada yang bisa dibanggakan sebenarnya. Saya sadar betul, mereka yang makan dengan ikan dan lauk lengkap saja tidak dapat mengejar prestasi, apalagi saya yang hanya makan terasi dan terasi. Bahkan tiada hari tanpa terasi. Hehehehehehe.
Cita-cita kecil Mr Jun apa?
Saat kecil jika pesawat terbang atau roket melintas pas pukul 11.00 siang, maka kami para anak-anak berteriak. Pak Pilot, jatuhkan kami uang. Lalu tertawa terbahak-bahak. Sehingga Saya fikir menjadi Pilot itu sangat enak, atau keren begitu.
Jadi cita-cita ingin jadi Pilot ya?
Ia. Hehehehe
Lalu kenapa berubah menjadi orang kesehatan?
Wah ceritanya panjang itu.
Bisa diceritakan?
Saat orang tua saya sudah menyediakan saput (kain kafan), karena usia saya diperkirakan tidak lebih dari 1 hari lagi. Saat itu saya terkapar untuk yang kesekian kalinya di Puskesmas Singah Mulo. Disanalah awal mimpi saya berubah menjadi tim medis. Saya fikir jika sembuh nanti, saya mau jadi orang eksehatan saja. Menolong dengan sebaik-baiknya, karena ada salah satu tim kesehatan saat itu memperlakukan saya dengan kasar. Saya fikir itu harus di rubah. Benar saja, saat saya sembuh, cita-cita menjadi tim medis itu makin kuat dan proses jalannya terbuka lebar, hingga sekarang menjadi orang kesehatan. Alhamdulillah, kesampaian.
Proses Pendidikan Hingga cita-cita tercapai?
Kalau segi ekonomi, sepertinya keluarga saya serba kekurangan. Untuk makan seharihari saja susah apalagi memifirkan sekolah lanjutan. Dan dari semua keluarga hanya 2 yang tamat SMA dan saya sarjana. Selebihnya tamat SD dan SMP. Bukan mereka tidak mampu sekolah, namun faktor ekonomi yang tidak edekuat dalam meyokong biaya pendidikan menjadi kendalanya.
Saya masih harus berjualan sayur-mayur di pasar saat subuh dan masih membawa jeruk atau jambu ke sekolah untuk di jual. Dan itu berlangsung sampai SMA. Terkadang saya membuatkan pekerjaan rumah milik treman yang diberikan guru, dan itu ada upahnya. Kala itu 200 perak setara dengan 4 batang es lilin. Hasil berjualan dan korek sana korek sini itu saya gunakan untuk menutupi biaya pendidikan dan membeli perlengkapan sekolah seadanya. Jangan tanya makan bakso atau sekedar menikmati mie goreng cimis, tidak pernah terbesit sedikitpun dalam benak saya. Saking pinginya menikmati, terkadang saya sengaja lewat depan warung mie Cimis (Cina Miskin) di bawah Buntul kubu Takengon itu, berjalan di trotoar sambil menikmati aromanya saja sudah cukup. Kenikmatan yang gratis. Hehehe.
SMA saya lalui dengan susah payah, selain masih harus berjualan di pasar di pagi buta, saya juga membawa nasi ke sekolah sebagai bekal. Karena sekolah dimulai pukul 07.00 pagi sampai pukul 4.00 sore. Jadi bagi anak-anak kekurangan duit seperti saya, sudah pasti membawa bekal adalah pilihan satu-satunya. Jangan tanya lauknya apa. Mendapat telur goreng 1 butir yang di belah dua untuk sarapan pagi dan siang hanya ada seminggu sekali.itu makanan mewah. Selebihnya apalagi kalau bukan, terasi, terasi, dan terasi. Walau berbentuk beda. Kadang terasi yang di sambal tomat, terasi yang di sambal bawang mentah, terasi dalam bentuk utuh, terasi yang di tabur dengan nasi atau terasi dalam sayur tumis. Pokoknya semua ala terasi.
Sempat satu kali saat ada acara tukar makanan di sela-sela sholat Dzuhur. Teman saya tidak mau mengambil bekal saya untuk ditukarkan dengan milik dia, karena dia tau setiap hari lauk saya hanya terasi, terasi dan terasi.
Ada juga yang menyeletuk “Anak Terasi”. Hehehehe. Saya tidak sakit hati dengan perkataan itu, toh nyatanya begitu. Hehehehehehe
Suka duka mengejar beasiswa
Ada pepatah Gayo yang kupegang hingga saat ini “kenge i lepeh turah i lagang”. Bahasa Indonesianya kurang lebih begini. Selesaikan apa yang sudah kamu mulai.
Saya sudah memulai mempertahankan sekolah walau dulu saat Ebtanas SD orang tua saya kembali menyediakan saput persiapan kematian saya, harus saya selesaikan hingga mimpi yang Tuhan tentukan untuk saya tersampaikan.
Mengejar impian itu tidak semudah membalikan telapak tangan atau istilah Gayonya “Lagu nget ni lede” (seperti menggigit cabe, langsung terasa pedas). Akan ada 9 kali kegagalan dan sekali keberhasilan. Hanya bagi mereka yang mau melewati 9 kegagalan baru mencapai keberhasilan. Jika gagal baru 5 kali terus menyerah, mengapa harus di mulai mengejarnya dulu?.
Umpamanya begini. Jarak antara Takengon bireun itu 100 KM, kalua hanya difikirkan maka kita tidak pernah akan melihat indahnya pantai di pinggiran kota Bireuen sana. Hanya berkhayal bahwa kita pernah melihatnya. Berbeda dengan mereka yang memulai perjalanan walau 100 meter. Minimal mereka sudah mengurangi jarak tempuh 100 KM dikurang 100 meter. Ada usaha disana dan bukankah Allah tidak pernah melihat bagaimana hasilnya? Namun melihat bagaimana usahanya. Ini artinya dibutuhkan usaha yang gigih yang bukan hanya memindahkan tubuh dari desa ke rantau lalu fikiran tetap ada di desa.
Masa kuliah lebih parah lagi. Setiap minggu saya selalu memantau di mading (majalah dinding) siapa yang akan menikah. Di kampus saya dulu, selalu ada pengumuman pernikahan. Dan ini kesempatan bagi saya untuk memperbaiki gizi. Malu? Harus di telan, toh tidak dosa. Walau tetap mengisi amplop dengan duit ribuan. Dimana lagi coba nasi sepiring rasa restoran bintang lima seharga Rp.3000?.
Selebihnya saya bekerja malam sebagai penyapu di jalan raya, mengajar kelas penelitian mahasiswa atau menjadi buruh cuci di laundry. Sekali lagi saya tidak malu, karena tujuan hidup saya jelas. Mengejar mimpi yang Tuhan sudah ciptakan. Masa mengejar saya tidak mampu, sedang Tuhan sudah persiapkan?.
Tidak minder dengan orang yang berada?
Kenapa harus minder. Mereka makan nasi, saya makan nasi, walau lauknya tetap terasi. Jam mereka sama dengan jam saya, 24. Toh udara yang mereka hirup juga sama. Belajar dari guru yang sama dan hanya nasip saat dilahirkan yang berbeda. Yang salah itu jika kita sudah tau lahir dari keluarga susah, masih mau mempertahankan tradisi susah dan tidak mau merubah nasip. Lahir dari keluarga miskin, hidup dalam kemiskinan masa mati juga membawa kemiskinan. Parahnya mewarisi kemiskinan lagi. Harus berubah donk.
Kegiatan sekarang?
Keseharian saya dari pagi hingga malam berada di kampus. Itu sebagai tugas utama. Didalamnya saya melakukan penelitian yang harus dibagi dengan kunjungan ke rumah sakit, berdiskusi dengan para professor, rapat mengenai penelitian, mengajar dan traveling.
Topik penelitianya apa?
Yang sedang saya teliti adalah virus yang merubah sel kanker. Jadi setiap orang yang terjangkit virus ini, kalua penanganannya tidak baik maka sel dalam tubuhnya akan berubah menajdi kanker. Dan penelitian ini memakan waktu ber jam-jam, berhari-hari dan berbulan-bulan. Kadang 2 sampai 3 hari tidak pulang ke apartement. Maksudnya pulang hanya mandi dan kembali lagi ke kampus.
Padat sekali!
Itu jadwal keseluruhan, masih di tambah lagi dengan kegiatan lain seperti menulis buku, novel dan artikel baik di koran-koran atau di blog.
Suka menulis juga?
Pada awalnya sih tidak. Ya seperti ratusan bahkan ribuan anak Indonesia, menulis itu hal yang sulit. Namun tiada akhir (an) tanpa permula (an), kan. Sama-sama “an”beda posisi. Mengawalinya memang sangat sulit, lambat laun menjadi candu dalam keseharian saya. Sehingga jika 1 jam saja tersisa waktu saya, saya usahakan menulis walau hanya 2 lembar.
Prestasi yang diraih?
Wah kalau ini, pertanyaan sulit. Apa ya?
Yang terbesar aja Mr Jun.
Pernah menjuarai penelitian di Indonesia tentang pembuatan stetoskop model baru. Yang tidak didengarkan di telinga lagi, namun langsung dianalisa oleh komputer penyakit pasien yang di cek. Pernah juga beberapa kali juara penelitian mahasiswa. Beberapa kali mewakili Indonesia di ajang penelitian dunia, saat itu berhasil sebagai juara pertama.
Masih sempat menulis buku?. Buku apa saja yang sudah di tulis?
Aduh,masih minim. Baru 1 buku. Seribu Asa Dari Negeri Sakura. Buku tentang beasiswa. selebihnya masih sebatas draft yang belum di edit. Hehehe. Ada 5 judul. Dan 3 Novel yang siap diterbitkan tahun ini. sedang mencari penerbit yang seide.
Novel? Tentang apa?
Seribu Mozaik Mimpi, judulnya. Bercerita tentang bagaimana mimpi seorang anak desa, hidup dalam kesusahan, hingga harus menjual ginjalnya untuk menebus pendidikan. Kisah nyata. Di tunggu ya.
Kalau Purnama Diranting Sakura dan novel Tiara, masih proses penyempurnaan. Mohon doanya.
Wah, Anak terasi, yang tidak minim prestasi. Lainnya apa Mr. Jun?
Apa lagi ya, malu saya. Usia sudah kepala 3 namun prestasi masih segini. Hehehehe
Okay, Impian lain apa. Setelah tamat sekolah di Jepang, contohnya.
Impian saya setelah tamat S3 ini, dapat membangun jaringan klinik di seluruh Indonesia. Karena dengan mendirikan klinik di berbagai tempat. Layanan kesehatan bisa mudah di akses. Contohnya pasien dari kecamatan Bintang Aceh Tengah tidak harus menunggu waktu lama mendapat pelayanan kesehatan jika harus di rujuk ke RS Datu Beru Takengon dulu, bisa di tangani di klinik terlebih dahulu. Ini akan mengurangi biaya dan nyawa pasien bisa lebih cepat diselamatkan.
Harapan saya, ya mengabdi untuk negeri.
Apakah ada Harapan atau pesan untuk generasi muda.
Tidak banyak pesan sih. Takut dibilang sok bijaksana. Hehehe.
Tidak apa-apa, minimal menambah semangat.
Selesaikan apa yang sudah kalian mulai. Tidak penting siapa dan dari mana asal anda. Hitam kah kulitmu, putih, sawo matang atau coklat. Sama saja. Yang membedakan cuma satu. Mau apa tidak. Hidup hanya sekali, harus punya nilai tersendiri.
Saat kami melihat CV Junaidi Wien Tarmuloe, ternyata ada puluhan prestasi yang telah di torehkannya. Dan yang terdekat adalah mewakili Indonesia untuk ajang penelitian di Florence, Italia tahun depan.
Semoga akan lahir anak-anak bangsa lain yang walau memakan terasi, namun tidak minim prestasi.[]