Ida Nusraini
TULISAN ini untukmu para ibu, sebagai bahan renungan singkat tentang peran kita. Tentang sebuah dunia yang konon tergantung pada kualitas perempuannya. Mari hadirkan sejenak pikiran, hati dan perasaan kita untuk mengevaluasi digolongan mana sekarang sebenarnya kita berada.
Pertama, perempuan sederhana bersahaja yang membesarkan anak dan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga dengan tangannya sendiri, memasakkan hidangan yang membuat rindu aroma dan rasanya, mencari dan membelah kayu bakar, menimba air dari telaga, pergi kesawah, kekebun, mencuci baju, menyetrika, menjahit, mencangkul, memetik kopi, sementara anaknya, kerap tetap menempel dipunggung dalam kain gendong butut yang begitu khas baunya. Mengajarkan sendiri anak-anaknya mengaji dan membaca.
Tangan kasarnya kerap menyibak rambut mencari kutu yang berkembang biak dikepala. Nyaris tidak pernah ia menitipkan anak-anak bagaimanapun sibuknya. Memastikan anak-anak pulang ketika senja. Dia sosok perempuan yang mungkin kini sudah renta, atau mungkin sudah tiada, namun dalam rengkuhan cinta kasih sayangnya anak-anak tumbuh sempurna.
Dari ceritanya kita mengenal syurga neraka. Dari sikapnya kita belajar tentang arti hidup. Dari senyumnya kita mengerti arti cinta. Sederhana, kerja keras, ekonomi terbatas, mungkin itu sudah menjadi jalan hidupnya, namun wujud syukur berupa shalat 5 waktu dan membaca Al Qur’an tak pernah lekang dari kesehariannya. Kita disekolahkan pada jenjang yang tak pernah dikecapnya. Kita sekarang bekerja pada tempat dengan pendapatan yang tak pernah terlintas dalam mimpinya. Di telapak kaki perempuan bersahaja itulah, Allah janjikan syurga.
Kedua, sosok perempuan pekerja yang sejak ketika seorang anak dilahirkan, telah membayar asisten untuk mengurus anaknya. Pekerjaan domestik seperti mencuci piring dan baju, menyetrika, menyapu, mengepel, memasak telah ada orang lain yang mengerjakan untuknya. Jangan tanya tentang mengaji, membaca dan urusan kognitif lainnya, ada bimbel dan guru privat yang professional namun jelas berbiaya.
Disinilah kita hidup, pada zaman perempuan mendapatkan kesempatan yang sama untuk bekerja seperti laki-laki. Mencari nafkah seperti menjadi tugas semua orang dalam sebuah keluarga. Bapak bekerja, ibu juga, malah banyak perempuan yang mempunyai pendapatan dan kedudukan yang jauh diatas laki-laki karena kecerdasan dan kemampuannya. Pergi pagi pulang sore untuk mencari uang yang konon bisa membeli segalanya.
Ketiga, sosok perempuan yang mencari nafkah bukanlah tugasnya. Kekebun, kesawah , berdagang membantu suami, atau dirumah mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Mengerjakan rutinitas yang cenderung itu-itu saja. Namun anak-anak dibiarkan bermain bersama anak tetangga, bermain play station atau apapun namanya, yang penting anak pulang ketika sore menjelang. Sementara sang ibu asyik menonton sinetron terbaru dan acara gossip tentang kehidupan glamour para artis yang tidak bosan kawin cerai sepanjang waktu. Terkadang jika jemu berkumpul bersama tetangga sambil mencari kutu.
Membahas berbagai masalah “kenegaraan” seperti harga bahan pokok, kesejahteraan penduduk, sektor ekonomi seperti tingginya angka kredit Tupperware, ambal, kulkas atau mesin cuci, dan peningkatan gizi anggota keluarga yang tertuang dalam daftar menu hari ini. Bahkan tak kalah penting adalah “urusan luar negeri”. Bagaimana menjalin hubungan harmonis “antar negara”, atau konflik yang sedang terjadi antara Presiden dan ibu Negara tetangga. Masalah pendidikan anak-anak?, ah..nanti kan sudah di ajar bu guru disekolah atau ditempat mengaji. Toh lama-lama anak akan besar dan mengerti dengan sendirinya.
Baiklah, inilah kita yang dipilihNya untuk terlahir sebagai perempuan dengan segala konsekuensinya. Digolongan manapun sekarang kita berada, kita tidak lagi bisa kembali kebelakang untuk memilih peran dan memperbaiki keadaan masa lalu. Tapi kita masih punya hari ini dan esok yang mudah-mudahan bisa lebih baik dari sebelumnya.
Mohon disadari sepenuh hati wahai bunda , bahwa mendidik dan membesarkan anak tidak bisa dialihtugaskan pada asisten rumah tangga seprofesional apapun, sekolah semahal apapun. Cinta kasih sayang tidak bisa dibayar dengan uang sebanyak apapun. Tak perlu cerdas untuk mencintai, tak perlu uang untuk peduli. Karena uang dan kecerdasanmu tidak bisa menjawab ketika nanti Allah bertanya padamu tentang anak-anak yang dititipkanNya kedalam rahimmu.
Ketika ditanya apakah telah engkau kenalkan anakmu pada Tuhannya, telahkah kau ajarkan membaca kitabNya, telahkah kau contohkan akhlak mulia. Engkau bukan mesin yang memproduksi barang-barang tak bernyawa. Namun engkau adalah perantara Tuhan dalam memperbanyak khalifahNya. Dalam tubuhmu Allah titipkan nama Rahim-Nya. Dengan Rahim itu engkau mengandung, melahirkan, membesarkan, mengasuh, mendidik, membentuk makhluk sempurna bernama manusia.
Sebagai apapun profesi kita saat ini, pegawai negeri, guru, tenaga kesehatan, wiraswasta, petani atau ibu rumah tangga, kehidupan serba mudah seharusnya semakin menyisakan banyak waktu untuk kita mendekat kepada Rabb Sang Pencipta. Peralatan elektronik yang memudahkan pekerjaan rumah seharusnya membuat kita sempat memperbanyak rakaat shalat sunnah, memperbanyak membaca Al qur’an, menuntut ilmu keagamaan, memperluas ilmu dan wawasan, dan yang paling penting mengasuh dan mendidik anak-anak tercinta. Kita hidup dimasa semua serba mudah namun kering kasih sayang dan cinta. Kesibukan dan rutinitas seperti menidurkan dari tugas untuk apa sebenarnya kita dicipta.
Kembalilah keduniamu, wahai bunda. Peluk dan cium anak-anakmu, belailah dengan sayang rambutnya, usaplah dengan cinta pipi gembilnya. Bacakan cerita untuk pengantar tidurnya. Jangan biarkan pengasuh lebih mengerti hobi dan makanan kesukaannya, jangan biarkan para guru merebut pahala mengajarkan mengaji menulis membaca, jangan biarkan gadis kecil belajar dari orang lain cara memasang pembalut ketika haid pertama tiba, jangan biarkan ia bercerita kepada orang lain ketika mulai ada yang menyukainya.
Jangan biarkan dunia game merebut anak kita. Anak kita jauh lebih penting dari pekerjaan kantor setinggi apapun pangkat dan gajinya. Lebih penting dari status lebay dan foto selfi, dari candaan seru di grup BBM atau WA. Bila kita tiba dirumah, matikan saja semua perangkat gadget yang menghubungkan kita pada semu dunia maya. Kembalilah ke dunia nyata, rumah kita, anak-anak kita. Silakan berburu like dan jempol dalam setiap status face book kita, silakan berkicau di akun twitter atau apapun itu namanya, namun jangan lupa mengharap like dan jempol dari Dia, yang memberikan kesempatan sebagai IBU manusia.
Tidak lama ia dalam dekapanmu wahai bunda. Paling lama 15 tahun anak-anak kita telah beranjak dewasa. Lalu mereka akan pergi sekolah, kuliah, menikah dan punya kehidupan sendiri. Mereka akan jarang datang walaupun kita sangat merindunya. Mereka akan terasa jauh walaupun dekat tempat tinggalnya.
Jangan sampai ketika kita sudah renta mereka “membalas dendam”. Mereka mengantar kita ke panti jompo karena alasan klise yang sama ketika kita mengantar mereka ke penitipan anak. Demi masa depan, demi kebahagiaan, kasihan dirumah tidak ada yang menjaga, demi kesehatan, demi ini, demi itu, demi….. , maaf, demi dedemit sekalipun. Jika kita masih dengan ketidakpedulian terhadap anak-anak, nanti ketika kita menuntut dimasukkan kedalam syurga, saya pikir jika malaikat bukanlah makhluk Allah yang mulia, dia akan menjawab,” Apa?, Syurga? Syurga dari mana ,Bu?, dari Hongkong?”. Na’udzubillahi min dzalik.
Jadilah ibu yang memiliki visi syurga, yang menjadi teladan tentang akhlak mulia, tentang halusnya budi bahasa, tentang perilaku terhadap sesama, tentang tawadhu’, tentang ibadah, tentang pengabdian kepada Allah. Agar nanti ketika kita tiada, anak-anak kita tak pernah lupa menyebut ibu dalam setiap doanya.
Mari bunda, memperbaiki diri, memperbanyak ibadah, melakukan tugas keibuan kita sebaik –baiknya, agar suami kita menyadari, bahwa ia menikahi “Bukan Perempuan Biasa”. Agar anak-anak kita mengakui, ibunya “Perempuan Super Luar Biasa”. Agar Allah berkenan mengembalikan “ Syurga Yang Terjual” kembali ketelapak kaki kita. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin.[]
*Seorang ibu, warga Takengon