Alkudri TM, SKM*
TAHUN ini usia kemerdekaan Indonesia tepat 70 tahun. Pertanyaannya, apakah rakyat sudah memperoleh kemerdekaan sesungguhnya? Jika kita melihat jumlah masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan dan berbagai pembangunan yang masih tertinggal, jawaban yang jujur adalah kita belum benar-benar merdeka. Rasanya tak pantas, sebuah daerah yang dianugerahi kekayaan sumber alam yang melimpah, masih ada rakyat yang hidup miskin dan pembangunan yang masih dalam kategori tertinggal.
Kita memiliki sumber daya alam yang banyak, berkualitas dengan harga jual yang tinggi. Kopi misalnya, alpukat, sayur-mayur, tebu dan lain sebagainya dan belum lagi hamparan tanah yang sangat subur. Seharusnya secara logika daerah kita sudah makmur. Namun, ternyata tidak. Justru di daerah negara lain yang tidak memiliki sumber daya alam yang berkembang jauh melampaui kita, seperti Korea dan Singapura. Jangan-jangan kita terkena yang sering di sebut “curse of wealth” (kutukan kekayaan), artinya daerah dengan kekeayaan sumber daya alam melimpah, tetapi rakyatnya “masih miskin” dan bangunan-bangunan masih banyak tertinggal.
Dalam membangun ekonomi, Korea mengawali pada era awal 1960-an. Ada benang merah yang menjadikan ekonomi di Korea lebih maju, yaitu “patriotisme ekonomi”.
Mengutip tulisan Anif Punto Utomo (Direktur Indostrategic Economi Intelligence) yang menyebutkan Menteri Keuangan Amerika Serikat Jack Lew dalam kongres pernah berkata, “Apa yang dibutuhkan negara atau daerah adalah rasa baru tentang patriotisme ekonomi sehingga frase itu baru retorika, termasuk di AS. Tetapi, meskipun belum terformulasikan dalam textbook keilmuan ekonomi, patriotisme ekonomi sudah membuktikan keampuhannya sebagaimana yang dilakukan Korea.
Di Wikipidia, patriotisme adalah sikap yang berani, pantang menyerah, dan rela berkorban demi daerah, bangsa dan negara. Disitu ada nilai-nilai kepahlawanan sehingga jiwa patriot lebih banyak dilekatkan pada seseorang prajurit. Namun, sebtulnya jiwa patriot dapat melekat pada siapa saja yang memiliki sikap rela berkorban untuk kemajuan daerah, bangsa dan negara.
Ihwal atau hakikat patriotisme ekonomi, sebetulnya tidak muluk-muluk, minsalnya memakai produk lokal atau produk dalam negeri. Kenyataan menunjukkan, negara-negara yang berangkat maju, memulainya dengan fanatisme terhadap produk lokal. Permintaan produk lokal inilah yang menghidupkan pergerakan sehingga ekonomi bergerak dan lapangan kerja terbuka. Sebagai bahan pembelajaran, di Jepang dan Korea, kita sulit menemukan barang produk asing.
Jiwa patriotisme harus dibangkitkan agar kita bisa maju dan makmur. Untuk itulah, diperlukan keteladan pemimpin. Seorang pemimpin selain harus mampu menginspirasi, juga harus mampu memberikan teladan pada rakyatnya.
Kita perlu lebih banyak lagi kebijakan yang berpihak pada peningkatan kapasitas lokal. Kita risau karena daerah yang kaya dengan sumber daya alam hanya menjadi pasar konsumsi produk asing. Pasar lokal yang moderen harus kita rebut kembali dengan produk putra derah dan anak bangsa, dengan terobosan penuh keberanian dan perencanaan yang mantap.
Ketika globalisasi dan neoliberal menyandera perekonomian kita, tentu semakin sulit untuk mengembangkan patriotisme ekonomi. Namun, bukan berarti tidak bisa. Masih tetap ada celah bagi kita untuk bermain.
Memperingati Hari Kemerdekaan yang ke-70 ini, saatnya jiwa patriotisme ekonomi digerlorakan demi terangkatnya martabat rakyat. Mulailah dari pemimpin insya Allah rakyat akan mengikutinya. Merdeka!.[]
*Mahasiswa Pasca Sarjana UMJ dan Ketua Barisan Muda Gayo Jakarta