Satu Budaya untuk Masa yang Berbeda

oleh
jamhuri

Oleh Drs, Jamhuri Ungel, MA[*]

jamhuri
jamhuri

PERTANYAAN mendasar yang dapat kita tanyakan kepada seseorang atau kepada orang ramai adalah, siapakah anda ?

Pertanyaan ini bisa dijawab dengan berbagai jawaban, mulai dari yang mudah sampai kepada yang paling susah sekalipun. Sebagian orang menjawab dengan menyebut nama, sebagian lagi menjawabnya untuk apa ? dan ada juga yang menjawabnya dengan profesi yang dia miliki. Tentu saja semua jawaban itu benar, untuk itu kita sebenarnya perlu mengetahui ada tiga hal dalam pemikiran kita sehingga kita dapat menentukan jawaban dari sebuah pertanyaan.

Pertama, penanya. Kita harus tau apakah penanya sudah pernah kenal dengan orang yang ditanya, kalau tidak pernah kenal tentu jawaban juga disesuaikan dengan kemauan yang bertanya. Biasa orang yang belum pernah kenal memerlukan jawaban perkenalan, yang jawabannya pasti adalah menyebutkan nama atau pangilan sehari-hari yang orang lain juga tau. Tetapi bagi seorang penanya yang sudah pernah kenal tentu saja yang menjawab juga memerlukan kejelasan dari pertanyaan berupa untuk apa, ini artinya yang menjawab sudah tau kalau si penanya sudah tau hanya saja perlu penegasan atau pelengkapan nama yang boleh jadi si penanya lupa nama lengkap atau juga karena sudah lama tidak bertemu, untuk hal ini penanya pasti mempunyai tujuan yang penting terhadap pertanyaan tesebut.

Kedua, Penjawab. Dibanding dengan penanya tentu ilmu orang yang menjawab diperlukan melebihi ilmu dari penanya, karena penjawab ketika mendengar pertanyaan dari penanya tentu harus tau dulu secara benar dan sesungguhnya siapa yang bertanya, sehingga ketika menjawab pertanyaan maka jawabannya disesuaikan dengan posisi dan kebutuhan penanya. Ada sebuah contoh yang berbeda budaya antara penanya dan penjawab dalam sebuah pertanyaan dalam masyarakat Gayo :

Kata “Ama” adalah panggilan untuk ayah dalam masyarakat Gayo, kata ini sangat sakral sehingga sangat dihargai dan dihormati. Namun kata ini juga dapat digunakan sebagai penghinaan untuk seorang anak bila ditambah dengan “mu” artinya kamu dan kalau disambung dengan kata “ama” maka menjadi “amamu” yang artinya “bapak kamu”.

Suatu hari seorang tua yang mempunyai budaya “ama” memanggil ayah bertanya kepada anak yang mempunyai budaya “bapak” untuk memanggil ayah, dengan pertanyaan “isi amamu ?” artinya “dimana ayah kamu ?” sia anak tidak mau menjawab karena ia menganggap bahwa orang tua yang bertanya tidak sopan dan tidak memberi contoh yang baik kepada anak-anak dengan menyebut kata “amamu”. Secara sederhanya pertanyaan yang diajukan tidak salah dan juga yang menjawab dengan tidak menjawab juga tidak salah. Namun dalam kasus ini bisa kita katakan kalau kedua orang ini (orang tua sebagai penanya dan anak sebagai penjawab) sama-sama tidak mengetahui budaya, orang tua tidak tau budaya anak-anak yang hidup pada masa “ama” dipanggil dengan ayah atau bapak, demikian juga dengan anak yang tidak tau budaya orang tua yang pada masanya “ayah atau bapak” dipanggil dengan ama.

Ketiga, pertanyaan. Ketika terjadi tanya-jawab atau juga dialog maka pertanyaan itu sama pentingnya dengan penanya dan penjawab, artinya pertanyaan harus disesuaikan dengan keadaan baik diri penanya atau diri penjawab serta lingkungan dan masa ketika pertanyaan itu diajukan, ini diperlukan sehinggan hasil dari pertanyaan sesuai dengan harapan dari penanya dan tidak salah menurut kehendak dari penjawab dan juga tidak bersalahan dengan situasi dan kondisi ketika pertanyaan yang diajukan dan jawaban yang dikemukakan.

Saya punya pengalama di tahun 2000-an, dimana saya mendengar satu kata yang diucapkan oleh seorang anak yang sedang bermain dengan kawannya, tepatnya di kampung Waq Aceh Tengah. Kata ini sudah puluhan tahun tidak bernah saya dengar lagi, katanya adalah “dia bezina” dalam bahasa Gayo “…” ketika mendengar kata ini saya terkejut dan tersenyum, karena kata ini sudah tidak pernah saya dengar lagi, tapi ada orang tua disamping saya memarahi anak tersebut karena memang kata tersebut tidak boleh diucapkan karena tidak baik.

Kita pahami dalam makna kontek kata dari apa yang saya alami tersebut, bahwa saya menganggap kata yang diucapkan tersebut adalah sebuah kerinduan mendengar yang sudah puluhan tahun tidak pernah saya dengan sehingga saya merasa lucu dan tersenyum, namun orang tuan yang di samping saya marah karena boleh jadi sering mendengar kata yang tidak baik itu dan menganggap anak yang mengucapkan kata itu juga tidak baik, tapi si anak yang mengucapkan kata tersebut dia tidak pernah berpikir tidak baik karena tidak mungkin mengatakan kalau kata itu tidak baik menurut dia.



[*] Dosen MK, Hukum Islam dan Masyarakat Fak. Syari’ah UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.