OSPEK Bagi Mahasiswa Baru, Pembelajaran Atau Pembodohan?

oleh

Oleh : Fathan Muhammad Taufiq*

Fathan M TaufiqMusim penerimaan mahasiswa baru di hampir semua perguruan tinggi baik negeri maupun swasta sudah dan sedang dimulai, di perguruan tinggi negeri saat ini sudah memasuki tahapan daftar ulang bagi calon mahasiswa baru, sementara di perguruan tinggi swasta masih menerima pendaftaran bagi calon mahasiswa yang gagal “menembus” perguruan tinggi negeri.

Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, sebelum “resmi” menjadi mahasiswa, para calon mahasiswa itu harus melalui “ritual” rutin yang seolah-olah merupakan sesuatu yang wajib bagi semua calon mahasiswa. Aktifitas perdana bagi calon mahasiswa ini kemudian dikenal dengan nama Ospek (Orientasi Pengennalan Kampus), Ordik (Orientasi Pendidikan) atau Posma (Pekan Orientasi Mahasiswa), atau apapun namanya lah, pokoknya inti dan prosesinya sama saja.

Anehnya, dari tahun ke tahun, kegiatan orientasi bagi calon mahasiswa ini apapun namanya, inti kegiatannya nyaris nggak ada perubahan. Tidak lebih dari sekedar “perploncoan” bagi mahasiswa junior oleh senior-senior mereka, calon mahasiswa disuruh tampil dengan penampilan “aneh-aneh” seperti memakai topi dari karton bekas, menyandang tas dari karung beras tua, masih ditambah dengan “atribut-atribut” nyeleneh seperti sapu lidi yang digantungkan di leher, berkalung dot atau kempengan bayi, tempelan nama-nama “antik” dan sebagainya. Pokoknya semua calon mahasiswa harus tampil dengan performa se”blo’on” mungkin dan kalo sekilas dilihat hampir mirip dengan “orang gila”. Begitu juga perintah dari para senior kepada juniornya juga nggak kalah anehnya, disuruh mencari dan membawa benda-benda aneh yang sebenarnya nggak ada hubungannya dengan orusan orientasi atau pendidikan mahasiswa. Dan seperti biasa, para calon mahasiswa itu hanya bersikap sebagai “pesakitan” yang harus mengikuti semua keinginan para senior yang terkadang “nggak masuk akal” itu, karena ancaman dan intimidasi selalu menyertai kegiatan yang konon sebagai sebuah “pembekalan” dan syarat wajib itu. Padahal tidak satupun peraturan perundang-undangan tentang pendidikan yang mewajibkan seperti itu.

Coba lihat apa yang terjadi di luar negeri, ambil saja contohnya tetangga kita Malaysia atau Singapura, kegiatan semacam itu nggak pernah ada. Kalaupun ada kegiatan orientasi pengenalan kampus, semua kegiatannya hanya berupa pengenalan “iptek” supaya nantinya pra mahasiswa baru itu itu tidak “terkejut” saat memasuki masa perkuliahan, cara-cara mereka juga elegan dan “manusiawi”, nggak ada kegiatan atau atribut yang aneh-aneh seperti yang terjadi disini. Tapi semua itu sama sekali tidak pernah menjadi sebuah “pembelajaran” bagi para calon intelektual kita, rutinitas “bodoh” itu terus berjalan dan seakan sudah menjadi sesuatu yang “niscaya”, seolah-olah tanpa melalui kegiatan itu, keabsahan seorang mahasiswa dianggap kurang.

Lalu apa sebenarnya urgensi dari kegiatan semacam itu? Selain hanya melahirkan “dendam turun temurun”, karena mahasiswa yang terkena “plonco” pada tahun ini, tentu akan “balas dendam” kepada juniornya pada tahun berikutnya. Terus dimana nilai orientasi pendidikan dari kegiatan semacam itu? Bayangkan saja, seorang calon mahasiswa yang nota bene calon intelektual dan calon pemimpin masa depan, harus diperlakukan secara “tidak manusiawi” seperti itu, padahal kalo kita mau merenung sedikit, bahwa kegiatan “gila-gilaan” pada masa orientasi tersebut sama sekali nggak ada kaitannya dengan kegiatan perkuliahan yang akan dijalani oleh para mahasiswa itu, nggak pernah kita lihat kan, ada mahasiswa yang kuliah sambil memakai kalung dot atau kompengan bayi?. Ospeknya sendiri nggak salah, tapi cara dan metodenya saja yang mesti diperbaiki.

Terus kita bertanya, kalo kegiatan seperti itu nggak ada manfaatnya sama sekali, tapi kok tetap dipertahankan bahkan mendapatkan legalitas dari kampus, apa memang untuk menjadi seorang intelektual mesti melewati tahapan “irasional” tersebut? Sepertinya kita harus mulai “membuka mata” kita, bagaimana orientasi mahasiswa di negara-negara lain bisa diterapkan di negeri kita untuk menggantikan pola “kolot” semacam ini. Merenunglah sedikit, apakan kegiatan perploncoan ala bangsa “bar-bar” itu mendidik? Atau malah sebaliknya, merupakan sebuah “pembodohan”. Kalo alasannya hanya untuk menguatkan mental para calon mahsasiswa, masih banyak cara lain yang lebih “manusiawi” seperti mengadakan udiensi dengan psikolog, atau menghadirkan para motivator yang sekarang sudah ada diman-mana. Kalo alasannya untuk mengajarkan disiplin, itu lebih nggak masuk akal lagi, karena untuk mengajarkan disiplin bagi para calon mahasiswa itu, pihak kampus bisa “merangkul” TNI dan Polri untuk mengajarkan disiplin pada mereka. Kalaupun orientasi bagi mahasiswa baru itu memang sesuatu yang wajib, ya laksanakan saja, tapi tentu dengan cara-cara yang elegan dan rasional.

Kita semua kepingin, pendidikan di negeri ini maju seperti negara-negara lain, nah kalo keinginan kita seperti itu, kita juga harus berani mencontoh apa yan g telah mereka lakukan, terpasuk dalam hal orientasi mahasiswa baru. Cara-cara “jahiliyah” seperti yang selama ini kita anggap sebagai “pakem” itu harus kita ubah. Munculnya era reformasi di Negara kita pada tahun 1998 yang lalu, mestinya juga mengilhami dunia pendidikan tinggi kita untuk mereformasi diri ke arah yang lebih baik.

Orde baru yang begitu kokoh saja bisa “ambruk” oleh gerakan reformasi, masa merubah pola lama Ospek saja nggak bisa. Ironis kan, kalo dunia pendidikan yang diharapkan mampu “merubah” dunia, lha kok masih menerapkan pola-pola lama yang justru “lari” dari esensi dan subtansi pendidikan itu sendiri. Ketika memasuki kampus, para mahasiswa diharpakan untuk mampu berfikir dan bertindak rasional, kan aneh kalo untuk masuk ke dunia kampus justru di awali dengan kegiatan orientasi yang “irasional”. Cobalah mulai berfikir, berencana dan bertindak secara rasional untuk hal yang satu ini, pendidikan tinggi adalah ajang menuntut ilmu dan teknologi, bukan ajang menuntut ilmu “gaib” yang harus melalui ritual-ritual yang nggak masuk akal, jadi berubahlah, kalo kita kepingin menjadi lebih baik.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.