Gugurnya Yoga “Bentara Milite” dari Negeri Linge

oleh
Win Yoga tengah mengibarkan bendera. (Foto. Ist)

Oleh Thayeb Loh Angen

Win Yoga tengah mengibarkan bendera. (Foto. Ist)
Win Yoga tengah mengibarkan bendera. (Foto. Ist)

BEBERAPA bulan yang lalu saya bertemu Salman Yoga S, Jauhari Ilyas dan beberapa anggota komunitas lainnya. Entah bagaimana awalnya sampai saya menyebut tentang seorang kawan dari Gayo yang menjadi anggota Tentara Nasional Aceh (TNA) dengan jabatan Polisi Militer (PM).

“Ayo tulislah, kalau memang ia adalah pejuang!” kata Salman dan Jauhari hampir serentak.  “Ya, memang. Mereka ikut memperjuangkan Aceh seperti yang lain. Cuma baru-baru ini saya lihat ada pengelompokan aneh, saya tidak tahu begaimana itu terjadi,” jawab saya spontan.

Begitulah. Beberapa jam setelah itu saya menulis, karena fakta tetaplah fakta bahwa sepanjang sejarah, orang pesisir dan dataran tinggi sama-sama ‘Aceh.’ Penting difahami ‘Aceh’ yang maksudkan adalah nama sebuah wilayah, bukan etnik. Jika bicara etnisentrik, saya undur dari permasalahan ini karena saya sendiri keturunan dari Wadi Hadramaut Yaman, Hindi, Parsia dan Turk. Turk sendiri punya beberapa ras termasuk Mongol.

Yang penting, sejarah indatu kita hidup di tanah yang sama, di bawah panji bendera yang sama. Tujuan kita sama, mempertahankan Islam di tanah Aceh, baik pesisir maupun dataran tinggi dan iman menyatukan kita.

Saya heran, sangat heran, dengan keadaan beberapa waktu terakhir. Sudah mulai dipecahkan dengan ‘Devide Et Impera.’ Apalagi pasca DPRA mensahkan Qanun Nomor: 3 tahun 2013 tentang Bendera. Ada sebagian pihak menolaknya. Bahkan ada yang dengan nyata mengatasnamakan sukunya.

Jika orang mengatakan mereka menolak PA atau KPA, itu salah besar dan hanya pemutarbalikan fakta oleh orang-orang picik.  “O, itu opinimu saja, Thayeb,” mungkin Anda berkata begitu. Tidak, ini fakta. Jika ada yang ingin membantahnya, orang itu harus memprotes Tuhan, mengapa tidak membuat peristiwa dan fakta seperti harapan mereka.

Inilah fakta peristiwa yang saya maksud.

Semasa di medan gerilya, saya bertemu dengan anggota GAM dari Wilayah Linge. Mungkin Anda berkata, “Mereka pasti orang pesisir yang berbahasa Aceh, pindah ke bagian tengah Aceh karena alasan keamanan?”

Jika menduga begitu, Anda salah besar. Mereka adalah keturunan Gayo yang lahir dan besar di dataran tinggi Takengon dan sekitarnya. Mereka bergerak ke pegunungan selatan Aceh Utara karena beberapa urusan lalu kembali ke wilayah mereka. Mungkin ada Anda mengatakan, “O, itu cuma satu atau dua orang saja.” Salah lagi. Mereka berjumlah belasan orang.

Bahasa apa mereka pakai untuk berkomunikasi dengan anggota GAM dari Wilayah Pase? Bahasa Aceh? Bukan, tapi bahasa Melayu Pasai yang sekarang dikenal dengan nama bahasa Indonesia.

Ya. Orang dataran tinggi itu, sama seperti orang Pase, Tamiang, Pidie, Daya, Singkil, Simeulue, dan lain-lain memperjuangkan Aceh dalam satu harapan.

Atau, Anda boleh katakan bahwa mereka hanya ikut-ikutan saja tanpa berperang seperti orang lain.

Itu lebih salah.

“Kau jangan bohong Thayeb, bisa-bisa saja kau bilang orang separatis seperti yang lain,” mungkin Anda bereaksi seperti itu. Baiklah. Saya punya buktinya, dan ini mungkin jarang dikatakan orang.  Separatis itu penjahat. Dan, saudara-saudara kita yang berjuang itu adalah orang-orang tulus demi kembalinya martabat kita.

Rekan-rekan anggota GAM yang saya sebutkan dari Linge tadi banyak. Namun, saya mengisahkan seorang saja karena dengan dia saya berkomunikasi dalam beberapa waktu, sebelum akhirnya kami berpisah karena status daerah saat itu Darurat Militer.

Saya tidak tahu nama asli kawan tadi. Tapi ia disapa Yoga. Begitulah panggilannya. Ia berperawakan tinggi. Tentu saja, kalau tidak mana mungkin bisa lulus jadi Polisi Militer (PM) atauBentara Milite GAM. Ia pernah dengan jabatan itu dalam satu periode. Saya lihat kini, fotonya banyak beredar di internet. Foto pengibaran bendera oleh tiga orang berseragam militer dengan baret biru.

Dalam foto itu, si Yoga di tengah. Di kiri dan kanannya adalah seniornya dalam grup tersebut. Keduanya masih hidup. Sementara Yoga sendiri telah gugur dalam sebuah pertempuran yang amat sangat mengerikan. Itu pertempuran, bukan pembantaian. Mereka sama-sama tentara. Tidak ada yang salah.

Resiko tentara dalam sebuah pertempuran, jika tidak membunuh, ya dibunuh. Menjadi jagoan dan menang atau menjadi pahlawan dan tewas, hanyalah perkara nasib. Tidak ada satupun teori yang berlaku di medan tempur. Keahlian hanya beberapa persen, selebihnya hanya nasib.

Peristiwa mengerikan itu terjadi beberapa bulan setelah Provinsi Aceh dinyatakan berstatus Darurat Militer oleh Presiden Megawati Sukarno Putri. Dalam sebuah pengepungan di pegunungan bagian selatan Aceh Utara, Yoga dan seorang rekannya terperangkap dalam sebuah jurang.

Saat itu mereka terdesak, berusaha tidak menyalakkan senjata agar bisa selamat dari kepungan lawan yang sama sekali bukan tandingan. Kalah jumlah, apalagi senjata. Lawan ada ratusan, mereka hanya berdua.

Namun persembunyian mereka diketahui. Apa boleh buat, pertempuran tidak seimbang pun berlangsung. Maka Yoga dan rekannya melepaskan satu-persatu peluru AK-56 buatan negeri komunis yang masih mereka miliki. Tidak sampai satu jam. Pertempuaran yang sangat tidak seimbang itu berakhir. Tubuh Yoga dan temannya hancur ditembus peluru-peluru dari lawan. Senjata mereka diambil sebagai barang bukti. Saya tidak tahu jenazah keduanya disemayamkan di mana.

Sebagaimana banyak makam tentara GAM yang syahid jarang yang mengunjungi, makam Yoga yang saya tidak tahu di mana pun mungkin jarang ada yang kunjungi.

Begitulah fakta dan peristiwa yang saya tahu tentang seorang anggota militer GAM yang merupakan anak Gayo dan syahid pada tahun 2003 dalam sebuah pertempuran dengan pasukan elit RI. Perlu diingat, tulisan ini hanya untuk memenuhi keinginan kawan, tidak ada maksud apapun. Yang penting, kita harus memperjuangkan agar peradaban lebih bermutu baik.

Saya tidak mau berspekulasi tentang sebuah perang. Seburuk apapun sebuah fakta, tetap saya katakan sebagaimana adanya. Saya sangat anti terhadap permitosan untuk mengangkat daerah atau suku tertentu karena di tanah tanah warisan indatu yang harus dijaga bersama oleh setiap penduduknya.

Sekali lagi saya nyatakan kematian Yoga bukanlah pembantaian, ia meninggal dengan cara kesatria sebagai seorang tentara. Lawan perangnya hari itu pun tentara, yang kemungkinan juga ada beberapa meninggal dalam perang tersebut.

Oya, saya lebih suka menyebut Linge karena itu nama wilayah sebagaimana ‘Aceh’ yang saya maksudkan adalah nama wilayah. Itu lebih nyaman bagi saya. Kalau bicara suku, maka seluruh suku adalah hasil percampuran perkawinan selama ratusan, bahkan ribuan tahun.

*Thayeb Loh Angen, Aktivis kebudayaan di Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT), mantan anggota Polisi Militer GAM

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.