Kebiasaan urang Gayo di Kemukiman Lokop Serbejadi (Gayo Lokop) Kabupaten Aceh Timur saat melangsungkan pesta perkawinan sanak-saudara masih tetap mengakar menggunakan budaya Gayo. Menurut warga Gayo disana, adat dan budaya Gayo saat Sinte Mungerje (Pesta Perkawinan) merupakan langkah dalam mempertahankan budaya Gayo dari derasnya arus globalisasi pada zaman modern ini.
Urang Gayo di Kemukiman Lokop Serbejadi tersebar di lima kecamatan (Lokop, Penaron, Simpang Jernih, Biren Bayen dan Rantau Selamat). Meski minoritas di tengah mayoritas suku Aceh di Kabupaten Aceh Timur itu, masyarakat setempat masih memegang teguh nilai-nilai budaya Gayo.
Kesenian Gayo, Saman dan Bines menjadi idola saat ‘Sinte Mungerje’ masyarakat Gayo di lima kecamatan itu. Biasanya saman dan bines saat piasan sinte mungerje di Gayo Lokop, mengundang kampung tetangga atau kampung Gayo lainnya untuk menjadi lawan tanding semalam suntuk.
Seperti yang terlihat baru-baru ini saat pesta perkawinan salah seorang warga Bukit Selmak Kecamatan Bireuen Bayen, Aceh Timur. Mpu Ni Sinte (Keluarga penyelenggara pesta perkawinan) mengundang Desa Karang Kude, Kecamatan Lokop Serbejadi, sebagai lawan tanding bermain Saman dan Bines melawan kampung tuan rumah.
Menariknya, semua kampung Gayo di lima Kecamatan tersebut masih bisa memainkan Saman dan Bines, sehingga siapapun yang akan mengundang sebagai lawan, dengan serta merta mereka siap. Lawan tanding saman dan bines, bukanlah mencari pemenang, melainkan mempererat tali silaturahmi antara sesama urang Gayo di pedalaman Aceh Timur itu.
Biasanya, kampung yang dipilih menjadi lawan akan menyiapkan grup Saman yang terdiri dari bebujang (pria lajang) dan grup Bines yang diisi oleh beberu (wanita layang) yang ada di kampung mereka untuk melawan grup Saman dan Bines di Kampung tuan rumah.
Salah seorang warga, Bukit Selmak, Yusuf, kepada LintasGayo.co beberapa waktu lalu mengatakan, dalam tradisi undang kampung tetangga atau kampung Gayo lainnya untuk menjadi lawan be-Saman dan be-Bines (bejamu Saman dan Bines), biasanya kampung tuan rumah menyiapkan uang transportasi, uang rokok dan isi ni Batil (cupu, tempat sirih-red).
“Jumlahnya bervariasi, tergantung jauh-dekat kampung tamu yang kita undang. Perlu dipertegas, bahwa jalu be-Saman dan be-Bines bukan untuk mencari menang, kalah, ini tradisi urang Gayo dalam piasan Sinte Mungerje sebagai media silaturahmi urang Gayo di pedalaman ini,” kata Yusuf.
Dia melanjutkan, saat kampung tamu tiba di kampung tujuan, tuan rumah langsung menyiapkan berbagai keperluan konsumsi bagi rombongan yang hadir.
Ajang Bersiengonen Bebejang dan Beberu

Mengundang grup Saman dan Bines (Bejamu Saman dan Bines) dari kampung lain, memiliki Sene Penggure (semacam acara keakraban) bagi kalangan beberu dan bebujang Gayo baik tuan rumah maupun tamu yang datang. Tak jarang mereka dapat bersiengonen (melirik-lirik tambatan hati yang akan dijadikan pasangan hidup) di kedua belah pihak (tuan rumah dan tamu).
Biasanya hal ini, terjadi saat Saman dan Bines dimulai. Kedua grup saling memangka (berbalas pantun lewat syair Saman dan Bines). Disinilah kedua kesenian tersebut terlihat lebih ramai dengan tepukan tangan dari para penonton baik tua, muda. Biasanya syair disajikan dalam bahasa yang sopan dan santun sesuai dengan adat dan istiadat Gayo.
Yusuf menambahkan, grup Saman dan Bines tuan rumah bergantian untuk menampilkan kebolehannya. “Mereka biasanya saling berbalas, sahut-sahutan, sehingga terlihat kesenian ini cukup indah,” kata Yusuf.
Tak lupa di akhir acara, mpu ni sinte mengucapkan rasa terima kasih terhadap undangan yang sudi berhadir memeriahkan acara pesta perkawinan sanak famili nya tersebut. “Rasa kekeluargaan selalu ada dalam Saman dan Bines,” demikian Yusuf.
(Ismail Baihaqi | DM)