Nosoh Korik

oleh

Catatan Kha A Zaghlul

NOSOH Korik (mencuri ayam) sudah jadi kelaziman atau resam sejak dulu di perkampungan dataran tinggi Gayo. Bedanya, dulu nosoh korik yang dilakoni para bebujang (pemuda-red) hanya sekedar untuk lauk makan tengah malam saat para bebujang begadang (bejege) untuk sesuatu keperluan, biasanya saat sinte murip (hajatan, pesta) perkawinan atau khitanan. Malah tak jarang saat malam di bulan suci Ramadhan.

Dulu, ada saling toleransi antar pelaku nosoh korik dan korban yang kehilangan ayam. Dilakoni banyak orang, ada pembagian tugas. Satu dua orang mencari ayam, ada yang ngurusi bumbu gulai ayam hingga siap saji, ada menanak nasi, dan ada pula yang tunggu hidangan beres di depan mata alias tinggal santap.

Juri Didong Jalu, Ibrahim Kadir

Lucunya, terkadang ayam yang dicuri justru milik orangtua salah seorang komplotan Bebujang itu sendiri dan baru diberitahu jika ayam itu miliknya setelah usai menyantap. Namun tak jarang, justru dia sendiri yang langsung “nyolongin” ayam milik orangtuanya, tentu dengan bebagai alasan.

Dulu, di era sebelum tahun 1980-an, hampir tidak ada bebujang di suatu kampung yang tidak terlibat nosoh korik, walau sangat alim sekalipun.

Pun begitu, ada juga korban kecurian ayam yang sengaja dikerjai para bebujang. Alasannya, bisa jadi karena pelit atau ada ketidakcocokan antara pemilik ayam dengan para bebujang dalam pergaulan sehari-hari.

Beda sekali dengan zaman sekarang, orang nosoh korik karena tuntutan ekonomi dan bila tertangkap basah pelakunya bisa babak belur bahkan meregang nyawa akibat diamuk massa. Pelakunya hanya satu dua orang saja dan ayam yang dicuri biasanya lebih dari seekor.

M. Junus Melalatoa. (Foto : Kemendikbud RI)
M. Junus Melalatoa. (Foto : Kemendikbud RI)

Dalam sebuah kesempatan, kisah Nosoh Korik “tempo doeloe” ini diceritakan Ibrahim Kader beberapa waktu lalu saat bincang sejarah dan budaya Gayo bersama wartawan senior berdarah Gayo, LK. Ara, Iwan Gayo dan Odin Dela Rosa di Kala Lengkio Takengon, 18 Mei 2015.

“Dulu saya sering nosoh kurik jika begadang bersama teman-teman, biasanya saat sinte murip, latihan didong atau bulan puasa. Ayam yang kami curi biasanya dari warga yang punya banyak ayam dan yang kerap kami bantu bekerja di sawah, jadi mereka tidak marah,” kata Ibrahim Kader.

Uniknya, pemilik ayam justru tidak beringas saat mengetahui ayamnya dicuri bebujang. “Ada saling pengertian, mereka tidak marah dan malah saat kami beraksi, dengan sengaja dibikin gaduh, misalnya sengaja bikin ayamnya berkeok,” ucap Ibrahim Kader.

Empunya ayam, biasanya menyahuti dari dalam rumah. “Uweten nye, ketape enti si tengah ngeram a,” kata Ibrahim mengenang yang maksudnya “ambil saja ayamnya, tapi jangan yang sedang mengeram”.

Saat menceritakan kisah nosoh korik tersebut, seniman Gayo serba bisa ini agak tercenung mengingat sohibnya, Almarhum Prof. M. Junus Melalatoa, seorang antropolog, mantan guru besar di Universitas Indonesia.

“Junus Melalatoa senior sekaligus sahabat saya, kami sering latihan didong bersama, dia tidak pandai mencipta lagu Didong, namun bagus saat melantunkannya, dia sering melagukan karangan saya,” kenang Ibrahim.

Kisah ini diamini Odin Dela Rosa yang juga rekan masa muda Ibrahim dan Junus Melalatoa.”Benar yang dikatakan Ibrahim, dia sering dapat perintah dari Yunus untuk nosoh korik dan gadung (ubi kayu), tapi jika ada lagu bagus, malah Yunus Melala Toa sendiri yang langsung nosoh korik sebagai hadiah untuk Ibrahim yang ciptakan lagu,” ujar Odin, mantan wartawan Media Indonesia.

Dulu, peran bebujang sangat penting di perkampungan Gayo, tugas dan fungsinya sebagai elemen masyarakat sangat jelas walau aturannya tidak tertulis. Bebujang dulu santun, ringen tulen (ringan tulang, rajin) sehingga wajar jika berat tuke (berat perut, kenyang). Tanpa diperintah atau diminta akan membantu (nempoh) pekerjaan-pekerjaan berat warga kampung, misalnya di sawah atau kebun. Begitu juga dengan kegiatan gotong royong atau jadi panitia sinte murip atau sinte mate (musibah kematian), senantiasa berada di garis terdepan.

Bebujang begadang selain untuk sinte, juga menjaga kampung dari satronan maling. Dalam pergaulan muda-mudi, Bebujang dulu juga sangat santun, tidak melakukan perilaku sumang (pantangan) dalam masyarakat, baik sumang penengonan (melihat), sumang pecerakan (berbicara), sumang pelangkahan (melangkah) dan sumang kenunulen (duduk).[]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.