Catatan Ismail Baihaqi

PINING, satu Kecamatan di Kabupaten Gayo Lues yang wilayahnya termasuk terpencil di lintasan jalan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues menuju Lokop Serbejadi Aceh Timur.
Di mata penghuni negeri asal muasal tari Saman yang terpaut ratusan kilometer dari pesisir pantai, Pining adalah sebagai penghasil kelapa dengan kualitas terbaik walau berada di kawasan pegunungan. Pining berada kurang dari 800 meter diatas permukaan laut sehingga masih memenuhi syarat tumbuhnya kelapa dengan baik hingga berbuah.
Ike lungine gule keta ari Uring dan ike lemak ne keramil ari Pining, begitulah ungkapan yang maksudnya kalau manisnya gula dari kampung Uring dan lemaknya kelapa dari Kecamatan Pining.
Ungkapan ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Gayo, khususnya Gayo Lues. Kampung Uring terkenal sebagai penghasil gula aren terbaik, bukan hanya di Gayo Lues, namun Aceh umumnya. (baca : Uring, Kampung Unik Kisah Mistik dengan Gula Aren Terbaik)
Sementara Pining, yang pemukimannya berjarak sekira 45 km dari Blangkejeren dan 42 km dari Lokop Serbejadi Aceh Timur, dikenal sebagai penghasil kelapa (keramil-red) di Kabupaten berjuluk Negeri Seribu Bukit, Gayo Lues.
Kelapa asal Pining terkenal dengan lemaknya yang berbeda dari kelapa asal daerah lain, walau dari pesisir Aceh sekalipun.
Sayangnya, kelapa di daerah ini sudah mulai sulit didapatkan sejak banjir bandang menghempang Pining tahun 2006 silam. Pohon-pohon kelapa turut hancur yang tumbuh di sekitar areal persawahan. Tentu kelapa tidak mungkin ditanam bersama padi, namun di bagian tanah yang kering.
“Kondisi kelangkaan kelapa diperparah saat terjadinya banjir bandang tahun 2012 silam,” ujar warga setempat, Sabri beberapa waktu lalu. (lihat : Banjir Bandang Pining 2012),
Akibatnya, kini lemakni keramil Pining akan hanya tinggal nama saja. kebutuhan kelapa mulai di pasok dari Bireuen yang berjarak ratusan kilometer dari Pining menembus hutan belantara.
“Saat Pining punya kelapa, masyarakat setempat tidak perlu keluarkan biaya mendapatkannya, namun sekarang mesti beli,” kata Sabri.
Memang masih ada buah kelapa yang tumbuh dan berbuah di Pining, namun harga buahnya lebih mahal ketimbang kelapa Bireuen yang Rp. 3 ribu perbuah, sementara kelapa Pining tidak kurang Rp. 4 ribu perbuahnya.
Dikatakan Sabri, kebutuhan kelapa sangat meningkat saat hari-hari besar Islam seperti hari Megang, Maulid, Isra’ Mi’raj’ dan saat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Dari kondisi ini, kiranya pihak terkait memikirkan persoalan kelangkaan kelapa di Pining, bukan saja soal ekonomi yang mungkin dianggap persoalan sederhana, namun dari tinjauan budaya, eksistensi kelapa di Pining sudah menjadi salahsatu maskot Gayo Lues, selain Saman, Bines dan Kerawang Gayo.[Kh]