*Kosasih Ali Abubakar
Tulisan ini hanya memberikan sebuah ulasan terkait dengan kondisi provinsi ALA bila merujuk kepada UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Penulis beranggapan ada baiknya seluruh penduduk Gayo bisa mengetahui segala permasalahan pemekaran provinsi ALA ini dari sisi aturan perundang-undangan, dampak dari berlakunya UU ini secara umum, pemberian penghargaan terhadap setiap perjuangan yang dilakukan oleh pro ALA dan selalu bersatu segenap masyarakat Gayo serta tetap membangun diri sendiri untuk menjadi lebih baik.
Pemekaran Daerah Menurut UU
Secara Normal
Permasalahan pemekaran daerah sudah dijelaskan secara khusus dalam UU No.23/2014pada Pasal 32 sampai Pasal 43, dalam aturan ini dengan jelas telah mempersyaratkan sejumlah persyaratan dasar dan persyaratan administratif yang harus dipenuhi.
Persyaratan dasar terdiri dari dua, yaitu dasar kewilayahan dan kapasitas daerah.Syarat pertama, untuk pemenuhan persyaratan wilayah terdiri dari luas wilayah minimal, jumlah penduduk minimal, batas wilayah dan cakupan wilayah serta batas usia minimal untuk daerah provinsi, daerah kabupaten/kota dan kecamatan.
Kemudian dijelaskan dalam pembentukan (pemekaran) daerah baru, Pasal 35 ayat 4 butir mensyaratkan untuk pemekaran provinsi diperlukan 5 (lima) daerah kabupaten/kota (butir a), dan pemekaran kabupatendiperlukan 5 (lima) serta untuk pemekaran Daerah Kota diperlukan 4 (empat) kecamatan (butir b dan c).
Ada juga aturan tentang batasan usia sebuah daerah, kiranya in bisa menjadi perhatian kita semua, baik yang mendukung atau tidak mendukung provinsi ALA, pada Pasal 35 ayat 6 butir a diterangkan pemekaran Daerah provinsi bisa dilakukan bila batas usia provinsi yang akan dimekarkan adalah 10 tahun dan daerah kabupaten/kota yang akan bergabung membentuk sebuah provinsi maka batas usia minimalnya adalah 7 (tujuh) tahun sejak pembentukan dilakukan.
Sedangkan untuk syarat kedua, terkait dengan kapasitas daerah adalah kemampuan daerah untuk berkembang dan mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya.Maka Pasal 36 menjelaskan bahwa kemampuan ini dilihat dari aspek geografi, demografi, keamanan, sosial politik, adat dan tradisi, potensi ekonomi, keuangan daerah, dan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan.
Selanjutnya, persyaratan administrasi terkait dengan permasalah persetujuan dan kemampuan dalam mempersiapkan, jelas dalam Pasal 37 butir a bahwa persetujuan untuk pemekaran sebuah provinsi didapatkan dari semua Bupati/Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi baru dan persetujuan bersama antara DPRD dan Gubernur daerah provinsi induk.
Setelah hal di atas semua terpenuhi, barulah kemudian diusulkan oleh Gubernur daerah provinsi induk ke Pemerintah Pusat, DPR RI dan DPD RI untuk kemudian dilakukan sebuah penilaian dengan membentuk sebuah tim kajian independen. Bila berhasil lolos dari tim ini maka akan dikeluarkan Peraturan Pemerintah untuk pembentukan Daerah Persiapan Provinsi selama 3 (tiga) tahun, dipimpin oleh Kepala Daerah persiapan, seorang PNS yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri.
Pada masa persiapan ini, pembangunan dilakukan bersama oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi induk dan pengawasan dari masyarakat dengan anggaran dari APBN dan pendapatan asli Daerah Persiapan. Sedangkan kewajiban dari Provinsi induk adalah membantu melakukan persiapan dan pernyataan kesediaan bila melewati masa ini untuk sarana dan prasarana, pendataan personnel, pembiayaan peralatan dan dokumentasi serta dukungan dana.
Dalam waktu tiga tahun tersebut Daerah persiapan ini akan selalu diawasi oleh Pemerintah Pusat, DPR RI dan DPD RI, bahkan Pemerintah Pusat wajib untuk menyampaikan perkembangan pembinaan, pengawasan dan evaluasi terharap Daerah tersebut, Pasal 43. Bila semuanya berhasil dilalui barulah Pemerintah Pusat mengakui melalui Undang-undang dan Daerah persiapan ini dan akan dimulai dengan pemilihan Kepala Daerah yang baru.
Secara Khusus
Dalam UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah ini ternyata juga mengatur mengenai Pembentukan Daerah dalam rangka Kepentingan Strategis Nasional, dari Pasal 49 sampai dengan Pasal 53.
Dalam pasal 49 ini jelas dikatakan bahwa bisa dibentuk sebuah daerah baru (pemekaran daerah) untuk daerah perbatasan, pulau-pulau terluar dan daerah tertentu untuk menjaga dan kedaulatan NKRI dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.
Pembentukannya juga tidak sesulit dari “pemekaran normal” tersebut, karena selain batasan wilayah yang jelas juga parameternya hanya dilihat dari pertahanan dan keamanan, potensi ekonomi serta lainnya untuk memperkuat kedaulatan NKRI. Kemudian prosesnya hampir sama dilakukan, hanya saja lebih cepat, tanpa perlu adanya provinsi induk dan Pemerintah Pusat yang memberikan langsung dukungan.
Analisis Dampak Pemekaran ALA dengan UU No. 23/2014
Dalam media online www.lintasgayo.co, anggota DPR RI Komisi II Tagore mengatakan bahwa gagasan pemekaran Kota Takengon akan menghambat pemekaran Provinsi ALA selama 7 tahun (https://lintasgayo.co/2015/03/08/tagore-pemekaran-takengon-hambat-pemekaran-ala-2016).Merujuk kepada UU terbaru tentang Pemerintah Daerah tentunya hal ini bisa dimaklumi, hal ini sesuai dengan Pasal 35 ayat 6.
Akan tetapi jika melihat pendapat dari Syukur Kobath (https://lintasgayo.co/2014/12/19/takengon-mekar-tak-ganggu-perjuangan-ala dan https://lintasgayo.co/2015/05/05/mekarkan-saja-takengon-takkan-ada-yang-menyesal), sebagai seorang akademisi dan juga pernah menjadi Wakil Rakyat, maka penulis lebih melihat kepada pengalamannya tentang rencana pemekaran yang akan dilakukan ketika ia menjadi Ketua DPRK dan pandangan pribadinya terkait dengan pemekaran yang selama ini sudah terjadi.Namun, bila pemekaran ini dikatakan tidak mengganggu pemekaran ALA maka penulis cenderung menyetujui pendapat dari Tagore karena sesuai dengan UU tadi (Pasal 35 ayat 6).
Menarik menurut penulis adalah keberanian dari Tagore yang mengatakan bahwa tahun 2016 sudah akan terbentuk ALA, artinya yang dikatakan adalah tahun 2016 sudah akan ada Daerah persiapan ALA. Bila memang ini benar, maka kendala utama pemekaran provinsi ALA yang paling utama adalah permasalahan administratif, yaitu persetujuan dari DPRK Provinsi Aceh dan Gubernur Aceh akan berhasil diselesaikan.
Secara umum, penulis melihat dengan adanya UU ini, bila melihat kebelakang maka pemekaran ALA tinggallah menunggu persetujuan dari provinsi induk, karena KP3ALA sepertinya persiapan syarat dasar dan syarat administrasi. Hal ini bisa dilihat dengan berhasilnya KP3ALA menyatukan 5 (lima) kabupaten/kota sebagai cikal bakal provinsi ALA, yaitu Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Kabupaten Singkil, baik dari Bupati maupun DPRKnya. Tentunya ini bukanlah perkara mudah, dilandasi keinginan untuk memajukan penduduk Gayo, sehingga ada baiknya kita menghargai kerja yang dilakukan oleh KP3ALA untuk persiapan-persiapan ini walaupun ada kekurangan-kekurangan dan kesalahan yang ditinggalkannya.
Bila ini semua bisa dipertahankan, dengan persatuan penduduk Gayo sekalian untuk bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, sekali lagi, maka permasalahan utama dari pemekaran Provinsi ALA seharusnya adalah persetujuan dari DPRK Provinsi AcehdanGubernur Aceh sebagai persyaratan utama secara administrasi untuk tahapan selanjutnya.
Ada cara kedua untuk pemekaran provinsi ALA ini, pemekaran secara khusus (Pasal 49), maka penduduk Gayo berharap GAM kembali mengangkat senjata sehingga mengancam kedaulatan dari NKRI, sehingga pembentukan provinsi ALA dalam rangka menjaga NKRI. Tentu saja itupun bukan kehendak dari orang Gayo terhadap saudara kita orang Aceh, karena pengalaman menjadi daerah konflik itu dirasakan seluruh penduduk Gayo dan Aceh, hal ini telah menjadikan kita telah kehilangan potensi dari beberapa generasi.
Bila melihat semua fakta di atas, bisa disimpulkan jika provinsi ALA masih terkendala dengan pemberian persetujuan dari provinsi induk, provinsi Aceh, sesuai dengan Undang-undang maka segenap pendukung ALA atau KP3ALA harus melakukan lobby dengan DPRK Provinsi Aceh dan Gubernur Aceh.
Pemekaran ALA ini, seharusnya mempunyai tujuan holistik untuk bisa mempercepat pembangunan penduduk Gayo dan menyadari sebuah kenyataan terdapat perbedaan budaya antara Aceh dan Gayo sejak dahulu, bila kita memang mengenal diri kita sebagai orang Gayo.Selain itu, daerah kependudukan Gayo dengan provinsi ALA juga cukup besar, hampir 30% lebih.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembagian wilayah yang ada di Indonesia terbagi karena adanya perbedaan budaya, sebagai contoh adalah Banten dan Gorontalo.Atau pembentukan awal provinsi-provinsi di Jawa juga demikian, karena adanya perbedaan budaya dan bahasa antara suku Sunda dan suku Jawa.Ada juga yang berbasiskan kerajaan seperti DI Yogjakarta.
Sebagai salah satu contohnya adalah ketika penduduk Gayo harus menerima keberadaan Wali Nanggroe, padahal penduduk Gayo sadar betul dengan sejarah mereka sebagai orang Gayo dengan Sejarah Linge dan Hukum Adat Kerajaan Linge yang digunakan sebagai adat istiadat suku Gayo selama ini. Atau permasalahan bahasa Gayo, menjadi sensitif ketika bahasa Aceh diwajibkan untuk dipelajari di sekolah-sekolah sedangkan bahasa Gayo seolah-olah ditinggalkan keberadaannya.Begitu juga dengan cerita-cerita atau berita-berita yang tentang Gayo dan Aceh sejak dahulu hingga sekarang yang tertanam dalam cerita tetua-tetua atau orang tua-orang tua kita dahulu yang tidak bisa dihilangkan begitu saja.Terlebih lagi sebuah suku yang terbiasa menjaga sejarahnya dengan lisan seperti suku Gayo ini.
Akhirnya, bagi penulis, biarkanlah para politisi Gayo mengerjakan pekerjaannya dengan tidak melupakan darah yang mengalir di tubuhnya, terlebih lagi sudah ada wakil-wakil kita di DPRK Provinsi Aceh dan DPR RI untuk melakukan lobby-lobby terkait dengan lahirnya provinsi ALA sebagai bentuk orang Gayo menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.Di luar itu semua, mereka bersama dengan pemimpin Gayo lainnya memikirkan agar penduduk Gayo bisadiperkuat persatuannya dan terus melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan mutu dari penduduk Gayo dengan tetap mempertahankan marwahnya.
Selain itu, tetaplah kita sebagai penduduk Gayo untuk tetap mempertahankan dukungan kita kepada NKRI, seperti halnya penduduk Aceh lainnya yang menginginkan adanya perubahan di Aceh dengan peningkatan SDM dan kesejahteraan serta meninggalkan atau masuk ke lubang yang sama, yaitu konflik yang berkepanjangan yang telah merugikan generasi sebelum kita, jangan sampai merugikan generasi sekarang dan generasi selanjutnya seperti yang telah terjadi selama ini.
“Perjuangan itu bukanlah hanya untuk mendapatkan kekuasaan belaka, tapi perjuangan itu bagaimana mengayomi dan mensejahterakan mereka yang diperjuangkan”
*Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan