*Kosasih Ali Abubakar
Sejarah lahirnya Konfrensi Asia Afrika tidak terlepas dari ide Soekarno yang ingin agar Indonesia dan negara-negara lain di Asia Afrika lainnya untuk bisa memerdekakan diri dari penjajajahan, tidak hanya secara de facto, akan tetapi juga mampu berdiri dengan kaki sendiri dengan kemampuan mereka secara bermartabat dan sejajar.
Dalam pidatonya Bung Karno mengungkapkan bahwa perubahan dunia pada saat itu dan masih relevan untuk saat ini ketika manusia belajar untuk mengekplotasi manusia lainnya, negara maju mengeksploitasi negara tidak maju, bahkan upaya untuk terus menjadikan mereka menjadi bodoh hanya untuk kepentingan mereka sendiri.
Untuk mencapai kesemua itu, mereka menggunakan rasa takut karena ketergantungan sebagai alat untuk bisa mengontrolnya, sehingga yang kuat bisa mengontrol yang lemah.Rasa takut itu menurut Bung Karno diimplementasikan dengan perubahan praktek dari kolonialisme itu sendiri, yaitu secara ekonomi, intelektual dan psikis atau mental.
Ia juga menegaskan prinsip “Live and let live” dan sebuah moto “Unity in Diversity”. Prinsip dan moto ini diharapkan akan membawa kita semua kedalam kebersamaan untuk bisa mencari pertemanan, diskusi tanpa hambatan, jalan menuju kehidupan sesuai dengan cara hidupnya masing-masing dan membiarkan orang lain membiarkan menjalankan jalan hidupnya sendiri dalam sebuah keharmonian dan perdamaian.
Yang seringkali kita mendengar dan membaca dari media adalah ajakan Soekarno untuk mengajak bangsa-bangsa Asia Afrika pada masa itu berjuang untuk kemerdekaannya menggapai kebebasan, kemerdekaan dan kesejahteraan. Akan tetapi kita jarang mendengar bahwa dalam pidatonya juga disebutkan kemerdekaan yang didapat tidak akan berarti tanpa adanya makanan untuk dimakan, minuman untuk diminum, atau udara bersih tanpa polusi dari tempat lain. Untuk mencapai itu semua maka diperlukan sebuah perdamaian, karena kemerdekaan menjadi kecil nilainya tanpa adanya perdamaian menuju kesejahteraan.
Sedangkan Jokowi dalam pidato pembukaannya Konfrensi Asia Afrika 2015 menggambarkan keadaan dunia sekarang yang masih sarat dengan ketidakdilan, kesenjangan dan kekerasan global.Sehingga semua harus mempunyai cita-cita bersama mengenai lahirnya sebuah peradaban baru, sebuah tatanan dunia baru berdasarkan keadilan, kesetaraan, dan kemakmuran yang masih jauh dari harapan tersebut.
Selain berhutang kemerdekaan kepada Palestina, Jokowi juga mengungkap tiga cita-cita dari Konferensi Asia Afrika saat ini, cita-cita pertama kesejahteraan, mempererat kerjasama menghapuskan kemiskinan, mengembangankan kesehatan dan memperluas lapangan kerja. Cita-cita kedua, solidaritas, tumbuh dan maju bersama dengan membangun kerjasama ekonomi, membantu menghubungkan konektivitas. Indonesia akan bekerja menjadi negara maritim. Dan cita-cita ketiga, stabilitas internal dan eksternal kepada hak-hak asasi manusia.Ia menekankan kepada permasalahan radikalisme seperti ISIS dan juga perang terhadap narkotika yang dikatakan akan menghancurkan kehidupan generasi penerus di Indonesia.
Keberhasilan Indonesia menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika ini, bisa dikatakan sebagai bentuk hadirnya Indonesia di panggung internasional.Secara ekonomi Indonesia sudah masuk ke dalam G20, negara-negara dengan kekuatan ekonomi di dunia, bahkan menurut Bank dunia tahun yang lalu Indonesia merupakan negara sepuluh besar kekuatan ekonominya di dunia.
Sedangkan dari sisi militer kita tidak kalah dibandingkan negara lain, ke 19 di dunia dan termasuk 5 besar di Asia. Belum lagi kemampuan Indonesia untuk membuat senjata yang juga sudah mulai diperhitungkan, seperti membuat senapan, tank, kapal laut hingga kemampuan kita membuat kapal terbang. Indonesia kini tidak lagi dianggap sebelah mata oleh dunia dengan segala kekurangannya yang tentunya masih ada seperti ketidakmerataan pembangunan, sedang mencari bentuk demokrasi ala Indonesia dan lain sebagainya.
Data Statistik Aceh dan Gayo
Jika kita melihat ke Aceh, sebagai daerah yang baru saja terlepas dari konlik berkepanjangan serta sebuah Kerajaan yang dahulu amat kita bangga-banggakan maka data BPS mengungkapkan bahwa Indeks Prestasi Manusia (IPM) Provinsi Aceh adalah peringkat ke 20 dari 33 provinsi dan masih di bawah rata-rata nasional. Khusus untuk daerah Gayo, pada tahun 2012 salah satu kabupaten pemekaran, kabupaten Gayo Lues menjadi nomor terakhir untuk peringkat IPM di Aceh, sedangkan Kabupaten Aceh Tengah berhasil menduduki peringkat ke 4, dan kabupaten lainnya seperti Aceh Tenggara dan Bener Meriah di ke 11 dan 12 dari 23 kabupaten/kota yang ada di Aceh.
Pada tahun 2012 bila dilihat dari jumlah persentase penduduk miskin Aceh masih jauh di bawah rata-rata nasional (11,6%), peringkat ke 5 tertinggi yaitu sebesar18,58% dari total penduduk. Ternyata untuk jumlah penduduk miskin tidak berbanding lurus dengan IPM. Pada bulan September 2013, tiga kabupaten/kota di Gayo ternyata masih di bawa rata-rata tingkat kemiskinan di Aceh (17,71 persen dari jumlah penduduk). Aceh Tengah peringkat ke 11 tertinggi dengan 17,76% dari jumlah seluruh penduduknya masih dalam kategori miskin, Gayo Lues sebesar 22,33% dari jumlah seluruh penduduknya masih dalam kategori miskin dan Bener Meriah sejumlah 23,47% dari jumlah seluruh penduduknya dalam kategori miskin. Hanya Aceh Tenggara yang di atas rata-rata tingkat kemiskinan di Aceh sebesar 14,39% dari jumlah penduduknya.
Terkait dengan permasalahan pendidikan, Indonesia pada umumnya sudah berhasil dalam hal aksesibilitas atau ketercapaian akses untuk SD atau yang setara dan SMP atau yang setara.Sedangkan untuk SMA atau yang setara masih belum seperti yang diharapkan. Ini akan menjadi tantangan Indonesia ke depan, terlebih lagi bila nanti wajardikdas menjadi 12 tahun, sehingga Pemerintah baik pusat maupun daerah harus segera mempersiapkan segala sesuatunya.
Pada tahun 2013,bila dilihat dari nilai APK SD maka sudah semua provinsi teraksesdengan baik atau bahkan lebih dari 100 %, kecuali Papua yang masih 85%. Sedangkan untuk APK SMP atau yang setara Aceh menjadi yang tertinggi persentasenya sebesar 94,39% dan terdapat kurang lebih 15 provinsi yang masih di bawah rata-rata nasional, yaitu 85,96%. Untuk SMA atau yang setara walau belum mencapai 100%, tapi sudah berhasil dari rata-rata nasional (66,61%) yaitu peringkat ke 10 sebesar 75,09%.
Namun, dari data BPS Aceh belum bisa ditemukan APK per kabupaten/kota hingga saat ini, khususnya untuk bidang pendidikan, ke depan kiranya ini bisa diadakan untuk mempermudah para pemegang keputusan pada bidang pendidikan untuk mengambil keputusan. Tidak hanya bidang pendidikan, akan tetapi untuk indikator lainnya juga perlu diadakan oleh BPS Aceh per kabupaten/kota dalam rangka transparansi dan pengambilan keputusan strategis oleh pemerintahan di daerah Gayo.
Atau bila perlu, kelompok cendikiawan dari Gayo melakukan sendiri sebuauh penelitian atau survey untuk menghasilkan data dan informasi seperti ini, demi kepentingan dari orang gayo itu sendiri dalam melakukan pemutusan kebijakan-kebijakan yang strategis.
Dari data-data di atas, Aceh sudah cukup berhasil pencapaiannya sebagai daerah yang baru saja terbebas dari daerah konflik dalam beberapa indikator dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, walau dibandingkan dengan potensinya belum seperti yang diharapkan.
Sedangkan dataran tinggi Gayo harus segera melakukan percepatan karena sebagai minoritas dan wilayah yang kurang baik dalam infrastruktur dan kurang strategis secara letak geografis, bila tidak dilakukan terobosan dalam berbagai bidang, khususnya akses ke Gayo dan infrastruktur pendukung berinteraksi dengan wilayah lain maka kita akan tertinggal terus tergerus oleh perputaran zaman.
Nilai-Nilai Adat Gayo
Mengetahui diri sendiri akan memudahkan kita untuk lebih mengembangkan potensi diri sendiri serta berinteraksi dengan orang lain, bahkan juga ketika akan mengenal Tuhan. Kita tidak akan pernah bisa melupakan siapa diri kita sebenarnya sebagai orang Gayo, kewajiban kita untuk mengenal lebih dekat lagi karakter dari diri kita sendiri sebagai orang Gayo.
Bila melihat Sejarah Linge dan Adat Istiadatnya, berdasarkan cerita lisan secara turun temurun mengenai keberadaan suku Gayo ini, kiranya dapat diambil beberapa nilai-nilai kebaikan dan sifat sesungguhnya atau karakter orang Gayo itu sendiri. Kali ini saya mencoba melihat sejarah Kerajaan Linge dengan merujuk kepada tulisan dari Abubakar Bintang, 1940, tentang Sejarah dan Adat Istiadat Kerajaan Linge.Maka berikut ini adalah nilai-nilai karakter yang bisa diambil dari sejarah dan adat atas kita sebagai orang Gayo.
Penguasaan terhadap ilmu pengetahuan, proses perjodohan antara Pota Marhum Mahkota dan Alam dan Puteri Raja Johor sekaligus cikal bakal dari Kerajaan Linge diawali dengan hasil pemancingannya berupa seekor ikan bersisik emas. Dari sisik-sisiknya ikan emas tersebut Pota Marhum Mahkota Alam bisa melihat segala macam rupa benda dan makhluk hidup yang ada di dunia, penulis melihat ini sebuah pesan tersirat tentang sebuah nilai begitu pentingnya penguasaan ilmu dan pengetahuan bagi orang Gayo.
Bahkan rasa hausnya itu juga tersirat dalam sebuah kisah ketika ia mengirimkan sebuah perahu yang isinya Ikan bersisik emas tersebut dengan 7 buah limau purut ke Puteri Raja Johor karena ia tidak bisa melihat Puteri Raja Johor di sisik dari ikan emas tersebut, untuk kemudian bisa menjadi jodohnya. Pota Marhum Mahkota Alam adalah seorang yang haus akan ilmu pengetahuan, seharusnya seperti ini jugalah seharusnya orang Gayo.
Malu dan janji adalah pakaian orang Gayo, nilai-nilai ini juga dapat terlihat dari sejarah Kerajaan Linge.Rasa malu menjadi pakaian terlihat ketika dalam sejarah yang melalui lisan secata turun menurun ini dikatakan bahwa pembagian wilayah oleh Pota Marhum Mahkota Alam diawali dengan rasa malu dari putra pertamanya, Alamsyah, karena tidak bisa disunatnya.Nilai yang bisa diambil disini adalah bagaimana rasa malu ini harus diberikan sebuah tebusan atau harga yang harus dibayar untuk bisa menggantikannya.
Hal ini juga tersirat, ketika terbentuknya Kejurun Bukit, meninggalnya Datu Beru di Tunyang dan berhentinya penduduk Gayo membayar pajak ke Kesultanan Aceh sebagai tanda perceraian kesatuan mereka yang juga melanggar perintah dari Pota Marhum Mahkota Alam.
Semua hal di atas merupakan tebusan atau harga yang harus dibayar karena pertikaian antara janji dari Baginda Raja Johansyah untuk tetap mempertahankan pusaka Bawarnya dari ayahandanya dengan Baginda Sultan Joharsyah yang terlanjur malu tidak bisa menepati janjinya dengan Sengeda sehingga harus melanggar janjinya dengan Abangnya Baginda Raja Johansyah.
Janji dan malu dalam karakter orang Gayo merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan, karena tanpa itu semua kegayoan kita akan dipertanyakan. Ketika janji dan malu menjadi penting maka ada harga yang harus dibayar atau menjadi gantinya bila ini dilanggar, ini semua banyak terlihat dalam cerita orang Gayo.Seperti juga dalam cerita Atu Belah, Datu Beru dan Putri Pukes.
Warisan orang Gayo adalah adat istiadat dan nilai-nilai mencari ilmu, untuk menciptakan peradaban baru dan bukan hanya kekuasaan semata, sejarah Kerajaan Linge kerap kali memperlihatkan bahwa meninggalkan pusaka dan adat demi kekuasaan akanmenghancurkan atau memecah belah orang Gayo.Jika kita lihat cerita turun babah yang selama ini diturunkan dalam beberapa generasi, Pota Marhum Mahkota Alam yang menjadi Raja di negeri Linge terjadi karena lebih kepada bakat, keterpaksaan dan sebuah keinginan untuk membangun peradaban baru dengan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam.
Kemudian Raja-raja atau Penghulu-penghulu yang berada di bawahnya kekuasaannnya pada awalnya adalah rombongan yang dibawanya dari Kerajaan Johor, terdiri dari Pengasuh, Penginang dan dayang-dayang sebagai para ahli dan pembantunya. Merekalah yang membantu Pota Marhum Mahkota Alam membangun istananya serta melebarkan kekuasaannya dengan menempatkan mereka di daerah-daerah baruguna membangun peradaban baru di daerah-daerah lainnya, kesemuanya kemudian dikenal dengan Kerajaan atau Kejurun Linge.
Si Pengasuh sering kali disebut dengan Sipitu Johor dan Sipitu Aceh dan Si Penginang seringkali disebut dengan Silapan Aceh dan Silapan Johor.Mereka semua kemudian diberi gelar seperti Raja dan Penghulu untuk kemudian membangun daerahnya masing-masing dengan berlandaskan hukum adat Kerajaan Linge di bawah kekuasaan Kejurun Linge.
Disebabkan keinginan berkuasa maka di Gayo tidak lagi hanya Kerajaan di negeri Linge pada masa selanjutnya, hal ini dibuktikan dengan timbulnya Kejurun baru selain Kejurun Linge, yaitu Kejurun Bukit dengan cerita Sengeda dan Gajahnya serta Kejurun Bebesan atau Cik Bebesan dengan Lebe Kadir dan cerita Batak 27. Akan tetapi yang menarik adalah ketiga Kejurun baru tersebut tetap menggunakan Hukum Adat Kerajaan Linge untuk menjalankan pemerintahannya.
Penulis bisa menyimpulkan bahwa di Gayo atau negeri Linge, kerajaan atau kekuasaan itu bukan didasarkan kepada darah biru saja, bahkan yang menjadi Raja atau Penghulu dahulu kala adalah seorang Pengasuh dan Penginang dari negeri Johor, atau seorang hamba sahaya seperti Sengeda dengan kepintarannya serta juga Lebe Kader dengan keahliannya berperang. Akan tetapi, selama mereka di negeri Linge maka orang-orang tersebut sebagai penduduk Gayo selalu menjujung adat istiadat mereka yang dibuat oleh Pota Marhum Mahkota Alam atau Kerajaan Linge pertama kali hingga saat itu.
Berbicara tentang hukum adat Kerajaan Linge, penulis mencoba untuk mengklasifikasikan 45 pasal dari Hukum Adat Kerajaa Linge dari tulisan Abubakar Bintang, 1940, menjadi 7 hal aturan pokok sebagai pendukung dalam hukum Islam, yaitu dasar Kerajaan Linge, dasar hukum Kerajaan Linge, kewajiban antara pemimpin dan pembantunya dengan rakyatnya serta demikian juga sebaliknya, pengangkatan dan pemberhentian pemimpin dan pembantunya, aturan perkawinan dan perceraian yang belum diatur oleh hukum Islam, aturan penggarapan tanah dan aturan dasar interaksi antar kampong.
Kesemuanya menjadi menarik untuk dikaji, karena aturan-aturan inilah yang telah membentuk karakter dari orang Gayo itu sendiri.Ada juga yang menarik untuk dikaji bahwa semua aturan yang sifatnya kewajiban atau hukuman dalam jalannya kerajaan itu bisa tergantikan dengan sejumlah materi atau uang sesuai dengan kadarnya.
Bisa disimpulkan kekuatan kita sebagai orang Gayo adalah penghormatan kita kepada leluhur melalui pelaksanaan adat istiadat.Hal ini jugalah yang telah menjaga Gayo, baik penduduknya maupun daerah kekuasaannya selama ribuan tahun, bila mengacu kepada cerita Kerajaan Linge.
Menuju Gayo Lebih Baik
Menurut wikepedia, pada luas dari provinsi Aceh yang terdiri dari 23 kabupaten/kota itu sebesar 57.956 km2 dengan jumlahpenduduk sejumlah 4.486.570 jiwa. Bila dibandingkan dengan penduduk gayo mayoritas berada di kabupaten Aceh Tengah, kabupaten Bener Meriah, kabupaten Aceh Tenggara dan kabupaten Gayo Lues, maka gabungan wilayah Gayo hanya sebesar 27% dari total keseluruhan Aceh sedangkan jumlah penduduknya hanya 12,37% dari total penduduk di Aceh (tahun 2010).
Seperti diketahui bersama dari 555 ribuan penduduk Gayo, tidak semuanya suku Gayo karena sudah bercampur dengan suku Jawa, Aceh, Batak, Padang, Cina, dan lain sebagainya atau bahkan campuran perkawinan suku-suku tersebut.
Penduduk Gayo, sebagai suku minoritas dengan penguasaan wilayah hampir seperempat dari Aceh, tanah yang subur serta potensi wisata dan sumber daya alam yang belum terolah dengan baik tentunya harus mampu mentransformasikan semangat KAA sebagai bentuk persiapan untuk menghadapi era yang semakin bersatu ini. Sekaligus menjadikan moment ini sebagai peringatan untuk mempersiapkan diri lebih awal dengan tetap mengimplementasikan nilai-nilai adat istiadat Gayo dalam kehidupan dewasa ini.
Semangat dari KAA pertama dari Bung Karno adalah upaya melepaskan diri dari rasa takut, bisa menjadi diri sendiri di dalam keberagaman dan menuju hidup yang sejahtera. Karena setiap perjuangan tanpa mensejahterakan mereka yang diperjuangkan dan kemampuan mengayomi perbedaan maka makna gerakan perjuangan tersebutakan berkurang bahkan hilang. Hal yang sama dengan semangat KAA dari Jokowi, yaitu kesejahteraan, solidaritas dan stabilitas internal dan eksternal dalam setiap-setiap bangsa yang ada di Asia Afrika.
Penulis menyarankan beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengadopsi semangat KAA tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya Gayo dalam rangka menuju Gayo yang lebih maju di masa mendatang.
Pertama, merubah cara berpikir, ke depan dengan bersatunya bangsa-bangsa Asia dan Afrika, bahkan tahun ini sudah akan di mulai dengan bersatunya bangsa-bangsa di ASEAN. Secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh kepada penduduk Gayo, maka orang Gayo sudah harus mulai berpikir secara internasional, tidak lagi selingkup Gayo atau Aceh atau Nasional.Orang Gayo sudah harus beraksi lokal dengan berpikir global dalam rangka percepatan pembangunan dalam segala bidang.
Kedua, meningkatkan mutu sumber daya manusia, di era saat ini setiap negara cenderung akan melakukan penyatuan-penyatuan berbasiskan regional, berbasiskan kepentingan militer, berbasiskan kepentingan sumber daya alam, berbasiskan kepentingan ekonomi dan lain sebagainya. Terlebih lagi dengan adanya internet sebagai alat penyatu seluruh dunia saat ini serta mempercepat pelayanan dalam berbagai bidang yang berbasiskan dengan kemudahan-kemudahan dalam penyampaian informasi.
Dengan adanya penyatuan-penyatuan ini menyebabkan kemudahan dalam berinteraksi antara penduduk pada suatu negara dengan negara lain, percampuran antara satu budaya dengan budaya lain, ini semua akan menyebabkan sebuah perubahan yang demikian cepat.
Tentunya hal ini mengakibatkan mereka yang unggul akan mempunyai daya jual yang lebih tinggi, orang Gayo sudah harus mulai memikirkan sumber daya manusianya sebelum non orang Gayo akan mengelola sumber daya alamnya sendiri, seperti membangun jiwa kewirausahaan, penguasaan TIK dan kemampuan dalam berbahasa asing.
Ketiga, mempersiapkan hasil produksi dengan standar nasional dan pemasaran secara internasional, selama ini penduduk Gayo dikenal sebagai penduduk denganprofesi sebagai petani dan birokrasi, khusus untuk bidang pertanian sudah mulai memikirkan untuk mengelola bahan mentah terlebih dahulu menjadi bahan baku atau bahan jadi karena anak memberikan nilai tambah di Gayo sendiri.
Daerah Gayo adalah daerah yang subur dan indah serta berada di dataran tinggi pulau sumatera, dari sini saja bila berhasil mengelolanya dengan baik dengan menjadi daerah perkebunan atau pertanian yang modern disertai sebagai daerah wisata maka daerah Gayo akan maju.
Keempat, meminimalisir konflik, sebagai minoritas maka bersifat mawas diri dan protektif memang harus dilakukan, akan tetapi bukan kemudian menjadikan diri kemudian inklusif. Semangat dari Konferensi Asia dan Afrika, prinsip “Live and let live” dan sebuah moto “Unity in Diversity”menjadikan bahan pemikiran kita untuk menyongsong masa depan dengan mempersiapkan SDM masyarakat Gayo lebih awal dalam era yang semakin global ini sehingga mampu mengelola SDA sendiri dan tidak terus terjebak ke dalam hal-hal yang membuat kita hanya berjalan di tempat.
Kelima, terbuka dengan tetap menjaga kekhasan, tantangan bagi penduduk Gayo saat ini adalah bagaimana menjadikan budayanya sebagai salah satu pendorong atau nilai-nilai unggul untuk menghadapi era modern saat ini, dengan melakukan transformasi pemikiran dari nilai-nilai adat Gayo agar bisa dipergunakan saat ini.Penulis meyakini ini karena sudah ribuan tahun adat-istiadat suku Gayo telah menjaga keberadaan suku ini.
Keterbukaan ini, dengan membuat program-program yang sifatnya pertukaran budaya sebagai ajang mengentaskan budaya Gayo di tingkatan nasional maupun internasional, dengan cara saling memperkenalkan budaya. Tidak hanya antara Gayo dengan Aceh, akan tetapi antara Gayo dengan Minangkabau, Gayo dengan Jawa bahkan Gayo dengan Malaysia, Gayo dengan China, Gayo dengan Fhilipina dan lain sebagainya.
Bisakah ALA Menjadi Solusi
Akhir-akhir ini berkaitan dengan ALA menjadi diskusi yang menarik dalam media online ini.Terkait dengan hal tersebut terdapat sebuah pertanyaan untuk kita semua, bila kita menghayati semangat dari Asia Afrika, sudahkah kita merasa nyaman, terayomi dan jauh dari rasa takut di Gayo sana untuk menjadi diri kita sendiri dengan peradaban kita sendiri sebagai warisan kita?
Pertanyaan selanjutnya, mampukah keberadaan ALA akan bisa mempercepat pembangunan penduduk Gayo bila dibandingkan Gayo di bawah perintah Aceh?. Disini para Sarak Opat dan seluruh penduduk Gayo harus bisa melihat secara visioner ke depan bukan hanya sepuluh atau dua puluh tahu ke depansertabukan mementingkan kepentingan golongan.Seperti halnya para leluhur kita yang berhasil mempertahankan keberadaan kita hingga saat ini.
Berdasarkan hal di atas, maka diperlukan cara berpikir yang visioner berdasarkan hasil dari analisa-analisa secara holistik dari berbagai aspek berdasarkan bukti yang ada saat ini dan masa lalu serta harapan atau prediksi bukti di masa yang akan datang.
Aspek yang dilihat bisa dari sisi politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan bisa dikaji dengan lebih matang lagi dan akibatnya di masa mendatang. Semuanya dikaji dengan sebuah tujuan, bukan tujuan sempit lainnya, yaitu mempercepat pembangunan masyarakat Gayo secara keseluruhan, bukan hanya masyarakat Aceh Tenggara, masyarakat Aceh Tengah, masyarakat Gayo Lues atau masyarakat Bener Meriah, terlebih lagi bila hanya diwakilkan oleh beberapa orang saja.
Marilah kita semua, segenap orang Gayo berpikir jauh ke depan, sebelum semua yang ada di Gayo tidak bisa dipertahankan untuk kepentingan penduduk Gayo.Mempersiapkan sumber daya kita untuk menyongsong era yang lebih kompetitif lagi di masa mendatang.
ALA bisa menjadi solusi jika memang bisa mensejahterakan penduduk Gayo di masa yang akan datang dengan segala pengorbanan yang harus diberikan, menjadikan penduduk Gayo sebagai tuan rumah di daerahnya sendiri. Inilah yang menjadi warisan dari leluhur kita semua, menjadikan kita sebagai tuan rumah serta menjaga adat istiadat kita, tanpa itu maka kita akan kehilangan jati diri kita atau karakter kita sebagai orang Gayo.
Saat ini, orang Gayo sekarang membutuhkan pemikiran ke depan dan terobosan-terobosan yang bisa memajukan dan dalam rangka melakukan percepatan terhadap peningkatan mutu dan kesejahteraan masyarakat Gayo bukan pemikiran yang selalu melongok ke belakang.
Bermimpi untuk masa yang akan datang untuk direalisasikan lebih baik dibandingkan kita mengenang masa lalu yang sudah terlewati dengan segala keindahan dan keburukannya.No pain no gain, tidak ada pencapaian tanpa rasa sakit.
*Kosasih Ali Abubakar, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan