Oleh Muhamad Ramadhan, S. Pd. I. MA
Menguasai puncak kekuasaan adalah cita-cita terbesar yang dimiliki oleh semua politisi dibelahan dunia manapun, namun mewujudkan kemashlahatan untuk ummat belum tentu menjadi tujuan akhir dari semua politisi, hanya segelintir politisi yang benar-benar berjuang untuk memperbaiki kehidupan ummat (rakyat) selebihnya hanya para pecundang dan pengibul serta penipu yang senantiasa berbicara atas nama rakyat namun tujuan akhir yang ingin dicapai adalah memperkaya diri dan beberapa orang yang dianggapnya pantas untuk hidup dengan kualitas yang lebih baik.
Dalam perkembangannya dari sedikit politisi yang benar-benar berjuang untuk memperbaiki kehidupan ummat, mereka harus melewati dan menaklukkan berbagai arus “Godaan” yang mempunyai semangat untuk menghancurkan ummat dan memperkaya diri, baik semangat itu muncul karena politisi itu sendiri yang tergoda oleh kekayaan dan fasilitas mewah yang dia bisa dapatkan selama menjabat sehingga melupakan visi awalnya untuk memperbaiki rakyat, ataupun bahkan dorongan itu datang dalam bentuk tekanan dari orang-orang disekitarnya yang ingin meluluh lantakkan idealismenya yang sudah dibangun dan dirintis sejak lama untuk membangun kehidupan ummat.
Tekan atau pressur bukanlah hal yang asing dalam kehidupan politisi, bahkan keadaan ini hampir bisa dipastikan pernah dihadapi oleh semua politisi yang pernah dan sedang berada dalam pemerintahan, baik di eksekutif maupun di legeslatif, setidaknya saya pernah mendengar ini dari beberapa politisi yang berani buka mulut soal tersebut, terakhir saya mendengar itu dari pengakuan salah satu politisi muda paling potensial yang ada di Partai Aceh yaitu Kautsar Atjeh yang dikenal punya kemampuan dan cara berfikir yang luar biasa, dalam sebuah status Facebook miliknya Kautsar menuliskan “Sebagai anggota DPRA, saya kerap dimintai memperjuangkan aspirasi masyarakat tentang program pembangunan. Permintaan tersebut lisan mahupun tulisan dalam bentuk proposal. Saya senantiasa berupaya memperjuangkannya. Perjuangan itu ada yang berhasil dan ada yang belum. Pada tahap kedua kelompok pejuang aspirasi yang berhasil kita golkan melanjutkan perjuangannya dengan meminta saya mampu memenangkan tender pengerjaan pelaksanaan program pembangunan tersebut. Tahapan ini selalu menjadi sangat rumit karena si pejuang aspirasi tak bisa memahami kalau anggota DPRA tak memiliki kemampuan memenangkan tender.Untuk jangka panjang, desakan masyarakat supaya anggota DPRA “terlibat” dalam pelelangan-pelelangan tender akan punya implikasi tidak baik terhadap negeri ini.” Demikian Tulis Kausar dalam Akun Fbnya (Kautsar Atjeh)
Dari tulisan tersebut saya menangkap bahwa adalah sebuah realitas yang dihadapi oleh hampir semua politisi yang berhasil melangkah ke DPRA apalagi yang didukung oleh Timses yang punya power lebih besar daripada power politisi terkait, pada akhirnya desakan-desakan itu menjadi “beban” atau “tekanan”, jika bisa dikelola dengan baik dan bijak maka ini akan menjadi dorongan yang bagus untuk terus menggerakkan sebuah perubahan ke arah yang lebih baik, namun jika gagal dikelola maka power timses itu akan menjadi “bom” yang siap meledakkan “dapur” politisi terkait.
Ketika berhadapan dengan tekanan seperti ini sepertinya tidak banyak politisi yang punya kemampuan untuk tetap mengkonversi semua tekanan agar tetap bergerak ke arah yang lebih konstruktif untuk Aceh yang lebih baik dari hari ini.
Dalam keadaan yang dilematis seperti ini opsi yang tersedia tidak banyak, hanya tersedia dua opsi, perjuangkan atau tinggalkan salah satu, beranikah Politisi terkait meninggalkan permintaan timses tentunya dengan pertaruhan dan butuh nyali yang sangat besar serta komitmen yang sangat kuat terhadap idealism yang telah lama diperjuangkannya atau lebih memilih meninggalkan visi perubahan yang telah diperjuangkan puluhan tahun dari Jalanan, gunung hingga ke Kursi DPRA.
Saya yakin tekanan seperti ini diawali dari perbedaan visi antara politisi dengan teamses, perkuat pagar atau besarkan tanaman, sudah seharusnya kita berfikir memperkuat pagar untuk menyelamatkan tanaman bukan membesarkan pagar yang makan tanaman.
Semoga kedepan Aceh lebih baik!
*Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Pendidikan di Banda Aceh