Oleh : Qien Mattane Lao*
Sudah lama aku ingin mendaki gunung, soalnya kelihatannya asyik, menantang dan seru, sebagaimana sering aku baca di juga di komik kesukaanku ‘Nathalie’ karya Sergio Salma serta kisah-kisah para traveler.
Bukan kebetulan ayahku juga seorang anggota pecinta alam yang bergabung di UKM PA Leuser Unsyiah. Ayahku termasuk dalam tim pendaki pertama yang berhasil mencapai puncak Gunung Leuser melalui jalur selatan dengan titik awal pendakian desa Peulumat di Aceh Selatan, yang ditempuh selama 22 hari. Jadi aku sangat sering mendengarkan kisah pendakian.
Hari Kamis tanggal 9 April 2015 kemarin, akhirnya kesempatan yang sangat kutunggu-tunggu itu datang. Ayahku yang kebetulan mendapat tugas pekerjaan ke Banyuwangi menelepon untuk mengajakku serta dan aku dijanjikan untuk diajak mendaki ke puncak kawah Ijen. Gunung yang sebelumnya hanya aku lihat di berbagai acara petualangan di TV dan juga pelajaran IPS dan PPKN.
Masalahnya hari Jum’at aku punya acara di sekolah, ada acara menghias telur. Waktu ayahku menelepon aku baru saja selesai membeli perlengkapannya. Tapi kupikir kesempatan mendaki gunung seperti ini adalah kesempatan langka yang tidak tahu lagi kapan akan ada. Jadi aku pun langsung mengiyakan ajakan ayahku dan ayahku sendiri yang menelpon guruku ke sekolah untuk minta izin tidak masuk pada hari jum’at. Guruku mengizinkan dengan syarat aku harus menuliskan kisah perjalanan ini untuk dimuat di majalah sekolah, yang dulu aku usulkan untuk dibuat.
Sebenarnya, sebelumnya aku sudah pernah ke gunung, pertama ke Bur Gayo yang terletak di belakang rumahku di Dedalu, Takengen. Lalu aku juga pernah ke Mount Titlis di Luzern, Swiss dan juga Gunung Fuji di Jepang. Tapi waktu ke Bur Gayo, untuk sampai ke puncaknya aku naik mobil, di Mont Titlis aku naik kereta gantung dan di Gunung Fuji naik bis, itupun cuma sampai di kakinya.
Karena itulah aku semangat sekali waktu menerima ajakan ayahku ini. Aku segera bergegas pulang, menyiapkan perlengkapanku. Mulai dari sepatu gunung, jacket, ransel, sarung tangan, syal, masker, perlengkapan mandi dan pakaian ganti yang semuanya aku masukkan ke dalam koperku. Rasanya aku tidak sabar menunggu pagi.
Jum’at tanggal 10 April 2015, pukul 6.30 pagi kami berangkat dari rumah dengan mobil yang disopiri Om Kadek. Kami melewati jalur selatan pulau Bali, dari Tabanan lalu melintasi Negara, ibukota Kabupaten Jembrana. Aku sudah mengunjungi hampir seluruh bagian pulau Bali, tapi baru pertama kali melewati daerah ini.
Di Jembrana kami berhenti di Pura Rambut Siwi. Om Kadek yang menyopiri mobil kami, sebagaimana semua penganut Hindu yang akan menyeberang ke pulau Jawa, singgah untuk sembahyang dan berdo’a di Pura Rambut Siwi salah satu dari 7 pura di tepi pantai yang dibangun oleh Pendeta Agung Bali, Dang Hyang Nirartha sebagai penopang dan penolak bala dan bencana yang datang dari laut yang akan menghantam pulau Bali. Konon Pura ini dinamai demikian karena di Pura ini, sang Pendeta Agung meninggalkan rambutnya.
Pura Rambut Siwi yang di bagian barat Pulau Bali ini adalah Pura besar terakhir yang bisa ditemui di pulau Bali sebelum kita menyeberang ke Pulau Jawa.

Tidak berapa lama kemudian kami sampai di pelabuhan penyeberangan Gilimanuk. Banyak sekali kapal penyeberangan di sana. Seumur hidup aku belum pernah melihat kapal sebanyak ini. Sebelumnya aku cuma melihat kapal di Pelabuhan Benoa dan pelabuhan Sunda Kelapa, tapi bentuknya tidak seperti ini.
Mobil kami langsung masuk ke perut Kapal, tapi penumpang tidak boleh berada di dalam mobil. Jadi kami semua turun dan oleh ayahku, aku diajak naik ke anjungan. Bagian lantai kapal yang paling tinggi. Dari sini aku bisa melihat kapal-kapal yang lalu lalang, pantai taman Nasional Bali Barat yang berpasir putih dan dilindungi.
Pulau Jawa terlihat sangat dekat, rasanya dengan berenang saja bisa sampai di sana.

Di bagian Pulau Jawa aku melihat ada gunung berapi yang menjulang, kata ayahku itu adalah puncak Gunung Merapi , tempat kawah Ijen berada. Namanya sama dengan Gunung Merapi yang ada di Jogja. Di kanan kirinya ada Gunung berapi yang lain, Gunung Raung dan Gunung Rante. Di kejauhan di bagian utara Pulau tampak Gunung Api Baluran, yang sering ditampilkan di acara-acara petualangan di TV karena pemandangannya yang unik, mirip padang rumput di Afrika.
Tidak lama setelah kami naik, kapal yang kami tumpangi bergerak membelah Selat Bali untuk menyeberang ke Pulau Jawa. Ini adalah pengalaman pertamaku naik kapal laut. Memang sebelumnya aku pernah naik kapal penyeberangan di Danau Toba, saat menyeberang dari Prapat ke Tomok dan Ambarita di Pulau Samosir, tapi di sana kapalnya terbuat dari kayu dan tidak sebesar ini. Saat kami menyeberang air lautnya tenang dan tidak bergelombang, jadi kapalnya juga tidak bergoyang. Berbeda sekali dengan kapal yang menyeberangkan kami di Danau Toba, yang bergoyang-goyang dihantam ombak dan membuatku mual.
Waktu yang dibutuhkan untuk menyeberang dari pulau Bali ke Jawa, hanya 30 menit. Yang lama justru kapal berhenti menunggu jatah merapat. Sebab karena begitu banyaknya kapal, dermaga yang ada di pelabuhan Ketapang tidak mampu menampung semua kapal dalam sekali waktu.
Setelah hampir sejam menunggu giliran akhirnya kami merapat ke pelabuhan Ketapang di Banyuwangi. Banyuwangi meskipun sangat dekat dengan Bali, tapi sangat berbeda. Di Banyuwangi tak ada pura, tak ada rumah dengan arsitektur khas Bali dengan Candi Bentar dan Kori. Sebaliknya, mesjid ada di mana-mana.
Dari Ketapang, kami langsung menuju Penginapan Ijen Resort, yang terletak di desa Randu Agung, kecamatan Licin. Jaraknya 45 menit perjalanan dari pelabuhan Ketapang. Di perjalanan kami mampir dulu di supermarket untuk membeli Pisang Sale khas Banyuwangi, kesukaan dua adik kembarku. Oleh-oleh yang sangat mereka wanti-wanti untuk kubawa.
Ijen Resort adalah sebuah Resort yang sangat Indah terletak di tengah persawahan desa Randu Agung yang menyatu dengan alam sekitarnya.


Setelah menaruh barang, ayahku mengajakku berjalan-jalan melintasi persawahan di sekitar resort. Lalu masuk ke hutan pinus, keluar di Hutan bambu, masuk ke perkebunan dan tempat penyadapan Nira dan kemudian melewati desa Rembang.
Di desa Rembang, ayahku mengajakku untuk melihat pembuatan Gula Aren di rumah seorang warga. Aku sempat mencicipi segarnya air nira, atau pango dalam bahasa Gayonya.
Suasana desa Rembang ini, sangat khas pedesaan Jawa. Di setiap rumah warga memelihara kambing sebagai tabungan. Rumah-rumah mereka juga sangat sederhana, sebagian hanya berlantai tanah dan berdinding anyaman bambu. Tapi meski sangat sederhana, penduduknya sangat ramah, hampir tiap rumah yang kami lewati mengajak kami mampir. Lalu kami mampir di sebuah rumah, kami disuguhi beragam buah-buahan, mulai dari Nangka, rambutan sampai durian.
Menjelang sore kami kembali ke penginapan, makan malam dan langsung tidur, karena besok pagi jam 5 kami sudah harus berangkat ke kawah Ijen. Kami harus berangkat pagi-pagi sekali karena kata ayahku kalau naik terlalu siang, Ijen sering berkabut sehingga kita tidak bisa melihat kawahnya.

*Penulis adalah putri Gayo asal Kute Rayang, Isak, kelahiran Desember 2004