Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA
Masyarakat agraris adalah masyarakat yang penduduknya hidup dari bertani, mereka mencari nafkah dari berkebun, bersawah, bertanam palawija serta mencari pohon dan rotan dari hutan-hutan. Kehidupan yang mereka jalani dari hari kehari adalah menanam, membersihkan rumput merawat dan memanen hasil pertanian untuk selanjutnya mereka jual dengan harga yang tidak mereka yang tentukan berapa.
Dalam masyarakat bertani tidak pernah jelas pembagian kerja antara laki-laki dan perempaun, semua mereka mengerjakan apa yang bisa mereka kerjakan, standar yang digunakan juga adalah kesanggupan untuk bekerja dan saling membantu untuk semua jenis pekerjaan. Namun bila dilihat secara teliti dan detail di semua pekerjaan seolah sudah tertentu mana pekerjaan laki-laki dan mana pekerjaan perempuan. Karena pekerjaan dilandasi oleh kesanggupan maka tentu ada pekerjaan yang hanya khusus dilakukan laki-laki dan juga ada pekerjaan yang cukup dikerjakan perempuan.
Ketika seorang laki-laki bekerja di kebun pasti diikuti oleh perempuan, karena mereka selalu bersama setiap hari untuk mencari nafkah dan mereka juga bekerja bersama dengan tanpa membedakan pekerjaan. Ketika kebun baru dibuka dan pohon-pohon besar belum ditebang maka laki karena kekuatan pisiknya menebang pohon besar tetapi perempuan juga tidak tinggal diam, mereka mengerjakan pekerjaan memotong ranting pohon untuk selanjunya dibakar dan membersikan lahan untuk ditanami sayur-sayuran hal itu dikerjakan secara bersama dalam waktu yang lama. Ketika pohon-pohon yang besar telah ditebang, ranting-ranting telah dibersihkan laki-laki dan perempuan juga bersama-sama menanam tanaman yang cepat nendapatkan hasil, seperti tembakau, ubi, kacang merah dan lain-lain.
Setelah mereka panen dan kebutuhan sehari-hari mulai terpenuhi dari tanaman yang ada mereka mulai menggali tanah dan menanam kopi didalamnya ini dikakukan secara bersama dan saling membantu karena pekerjaan ini sanggup dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.
Ada diantara mereka yang membuat rumah secara sederhana di lahan perkebunan, menanam tanaman sambil menjaganya dari binatang yang sering merusak tanaman mereka, seperti babi, monyet, beruang dan lain-lainnya. Mereka tidak takut dengan semua binatang ini, karena walaupun mereka menebang hutan hanya mereka gunakan untuk mencari nafkah, mereka tidak pernah mengganggu habitat yang ada dihutan.
Para petani tidak perlah melanggar aturan hutan yang walaupun tidak tertulis, yang mengetahui aturan hutan dan mampu berkomnikasi dengan hutan dan penghuninya di dalam masyarakat Gayo dikenal dengan sebutan pawang.
Mereka yang tinggal diperkebunan atau lahan yang baru digarap biasanya sementara, mereka pulang ke kampung atau rumah biasanya pada hari kamis untuk shalat jum’at keesokan harinya dan hari jum’at ini juga digunakan untuk menjual hasil tanaman dan digunakan untuk membeli keperluan seminggu ke depan – seminggu dalam bahasa Gayo lebih sering digunakan dengan nama sejemat, hitungan dimulai dari hari jum’at sampai ke kari jum’at guna kebutuhan shalat jum’at dan untuk berbelanja kebutuhan.
Dalam membawa hasil-hasil dari tanaman yang mereka tanam laki-laki dan perempuan membawanya secara bersama-sama, laki-laki membawanya denga cara meletakkan barang di atas kepala (bejujung) dan perempuan membawanya dengan badan di bagian belakang (bejangkat), mereka membawa barang tetap sesuai degan kemampuan mereka.
Ketidakadilan dalam pembagian kerja pada saat itu tidak begitu nampak karena semua pekerjaan selalu dikerjakan secara bersama-sama, namun bila kita ingin mengangkat ketidak adlilan pembagian kerja itu ada pada lamanya bekerja, artinya pada pelaksanaan perkerjaan diluar rumah laki-laki dan perempuan sama tetapi ketika di dalam rumah pekerjaan semuanya dilakukan oleh perempaun, memasak nasi menyiapkan sayur dan memasak kopi itu semua dikerjakan oleh perempuan dan pekerjaan ini dilakukan di luar jadwal pekerjaan di kebun atau di sawah kecuali manyiapkan makan siang, ini biasa dilakukan ketika laki-laki sedang keja di kebun dan isteri memasak makan siang di rumah kebun atau sawah. Mereka yang bekerja di sawah dan kebun biasa mencuci pakaian ketika selesai bekerja sambil mandi sore sehingga mencuci pakaian bukanlah pekerjaan perempuan.
Ada hal yang juga menarik sebenarnya dalam tradisi masyarakat bertani dimana antara laki-laki dan perempuan saling melayani dalam pekerjaan, yaitu ketika berhubungan dengan pekerjaan di dalam rumah perempuan melayani laki-laki, seperti perempuan menyiapkan makan, minum kopi dan makanan ringan kalau ada. Sebaliknya laki-laki melayani perempuan ketika berhubungan dengan pekerjaan di luar rumah, seperti suami menyiapkan alat yang kan digunakan untuk bekerja. Suami menguatkan gagag parang, mengasah parang, memperbaiki gagang cangkul dan mengasahnya dan ketika sedang kerja dan beristirahat perempuan menyiapkan minum untuk laki-laki dan laki-laki mengasak kembali alat-alat yang digunakan.
Tradisi ini berubah dengan berubahnya pola hidup masyarakat dan ini anak dilanjutkan dalam tulisan selanjutnya…
*Dosen pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh





