Kunjungan Jokowi, Posisi Gayo, dan “Kentut Kekuasaan”

oleh
Tgk.Jemarin bersama Jokowi beberapa tahun silam. (Ist)

Muhamad Hamka*

Presiden RI Joko Widodo. (sumber : Google)
Presiden RI Joko Widodo. (sumber : Google)

Setelah kurang lebih lima bulan paska dilantik, akhirnya Presiden Widodo` mengunjungi Aceh. Kehadiran Presiden Joko Widodo ini tentunya membawa harapan segar bagi hubungan Aceh dengan Jakarta yang acapkali pasang surut. Seperti dilansir oleh Harian Republika (9/3), agenda utama Presiden Joko Jokowi selama di Aceh pada 9-10 Maret 2015 adalah meresmikan ‘Gerakan Ayo Kerja 70 Tahun Indonesia Merdeka’ di titik nol, Sabang, Aceh.

Selain itu, agenda utama mantan Gubernur DKI Jakarta ini selama berada di Provinsi Aceh adalah peresmian pembangunan waduk Keureuto di Paya Bakong, Aceh Utara dan meninjau Pertagas Arun di Lhokseumawe. Kunjungan ini sedikit paradoks, karena Presiden Widodo tidak mengagendakan kunjunganya tersebut ke wilayah Gayo. Padahal, Gayo punya dua arti penting bagi Jokowi, baik secara personal maupun dalam konteks politik.

Yang pertama, secara personal. Seperti yang diketahui secara luas oleh masyarakat Gayo, Jokowi punya jejak sejarah dengan tanoh Gayo karena pernah menetap di Kabupaten Bener Meriah dalam kurun tiga tahun. Sehingga secara emosional, Presiden Widodo punya hubungan psikologis dengan Gayo, seperti jejak sejarah Obama yang bekas anak Menteng itu. Dimana Obama masih ingat dengan sekolahnya juga makanan kesukaanya saat menetap di Jakarta. Dan saya percaya, Presiden Widodo juga punya sejumlah kenangan yang masih ‘membatu’ dalam ingatan saat menghabiskan tiga tahun waktunya di Bener Meriah.

Kedua, secara politik. Pada Pemilu Presiden 2014 silam, Joko-Kalla menang signifikan di tanoh Gayo (Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues). Kemenangan tersebut tidak terlepas dari jejak emosional yang ditinggalkan oleh Presiden Widodo saat menetap di Gayo. Sehingga tak dapat disangkal, bahwa posisi Gayo sungguh sangat dekat dengan mantan Walikota Solo ini. Lalu pertanyaanya sekarang, kenapa Jokowi tidak mengagendakan Gayo dalam kunjungannya tersebut?

Dalam amatan saya ada dua alasan kenapa Presiden Widodo tidak pulang ke ‘kampung halamanya’ ini. Pertama, adalah soal kemampuan lobi Pemerintah Aceh. Memang harus diakui lobi Pemerintah Aceh tidak berdiri sendiri soal kemampuan lobinya ini, tapi juga berkelindan dengan Pemerintah Pusat yang sudah pasti punya kepentingan menjaga hubungan baik dengan Aceh, yang acapkali pasang surut.

Padahal kalau kita mau lihat secara substantif, program ‘Gerakan Ayo Kerja 70 Tahun Indonesia Merdeka’ yang dideklarasikan di Sabang itu, justru sangat tepat dan akan menjadi momentum yang menyejarah kalau dideklarasikan di Tugu Radio Rimba Raya, Bener Meriah. Karena bagaimanapun, Radio Rimba Raya, merupakan etape yang tak terpisahkan dalam jejak sejarah kemerdekaan bangsa ini. Sehingga gerakan ini tidak menjadi ahistoris tapi justru menjadi momentum untuk menyegarkan ingatan kolektif bangsa soal peran penting Gayo (Radio Rimba Raya) dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Dapat dibayangkan kalau Presiden Widodo mendeklarasikan ‘Gerakan Ayo Kerja 70 Tahun Indonesia Merdeka’ di Tugu Radio Rimba Raya. Sudah pasti semua pasang mata masyarakat Indonesia akan tertuju ke Gayo. Sehingga tak perlu mengeluarkan energi yang banyak lagi untuk mengenalkan Gayo secara luas ke publik Indonesia. Bahkan dengan kehadiran Presiden, pengetahuan sejarah warga bangsa ini akan tercerahkan, bahwa Gayo adalah etape yang tak kalah penting dalam perjalan bangsa ini. Boleh jadi, Indonesia hanya menjadi ‘artefak’ sejarah bila Radio Rimba Raya tidak mengabarkan kepada dunia bahwa Indonesia sudah menjadi Negara yang berdaulat.

Kedua, boleh jadi ini merupakan penanda ‘mandulnya’ kekuatan lobi tokoh Gayo di Jakarta. Padahal tak kurang ada empat orang wakil wilayah tengah yang menguhuni Senayan sana. Bahkan salah seorang tokoh politik Gayo di DPR RI justru satu partai dengan Presiden Widodo. Kalau saja para wakil rakyat ini bisa mengomunikasikan dan membangun lobi yang cerdas ke Presiden Widodo, maka bisa jadi salah satu agenda utama Presiden Joko Widodo adalah mengunjungi Tugu Radio Rimba Raya untuk mendeklarasikan ‘Gerakan Ayo Kerja 70 Tahun Indonesia Merdeka’ sekaligus melepas kangen dengan bekas kampung halamanya.

Melewatkan momentum

Perubahan besar tidak terlepas dari kemampuan memanfaatkan momentum, begitupun dengan Gayo. Kehadiran Presiden Widodo sesungguhnya merupakan momentum yang penting bagi Gayo untuk menjemput perubahan itu, termasuk soal pemekaran Provinsi Leuser Antara. Sehingga harus diakui bahwa Gayo sudah melewatkan momentum produktif dan bersejarah ini. Lalu apa gunanya sekarang kita mulai meramaikan soal janji Presiden Joko Widodo yang akan mengunjungi Bener Meriah bulan April. Seperti yang diberitakan oleh portal www.lintasgayo.co (10/3), Presiden Widodo mengatakan kepada anggota DPR Aceh, Ismaniar dan Adam Mukhlis Arifin bahwa ia akan mengunjungi Bener Meriah bulan April, ‘bulan April saya ke Bener Meriah ya’, demikian janji Presiden Widodo.

Saya tak begitu optimis dengan janji Presiden yang diusung oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH) ini, untuk tak mengatakan sekadar basa-basi belaka. Bahkan seorang facebookers, Fathan M Taufik dalam lapak Group Facebook Aceh Tengah justru mempertanyakan bulan April tersebut. Beliau menulis di kolom komentar ‘nggak ada yang nanya bulan april tahun berapa, 2015, 2016, 2017 atau setelah lengser nanti. Jadi tunggu saja bulan depan, tahun depan, dua tahun kedepan atau setelah kita lupa’, demikian sindiran Taufik

Yang pasti, untuk sementara Gayo hanya dapat merasakan ‘kentut kekuasaan’ Presiden Widodo yang dapat diceritakan dari hari ke hari saat ngutip kopi di kebun, setelah habis sholat di meunasah, sewaktu rewang atau saat ngobrol di warung kopi; bahwa Presiden Widodo itu pernah menetap di Gayo, bahwa mantan walikota Solo itu punya kedekatan emosional dengan Gayo, bahwa Presiden Joko Widodo itu menang di Gayo saat Pilpres tahun lalu. Tanpa kita merasakan seperti apa faedah kekuasaan yang di miliki oleh sang Presiden.

Untuk itu, kita lupakan saja sejenak soal janji Presiden Widodo itu. Mari kita nikmati secangkir kopi Gayo arabika, karena ia menawarkan nikmat yang nyata, bukan janji!.[]

*Pemerhati Masalah Sosial dan Politik

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.