[Resensi Buku]
Salman Yoga S
Pemanfaatan tumbuhan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Gayo sudah ada sejak lama, bahkan mungkin seusia dengan peradaban manusia Gayo itu sendiri. Bukan saja sebagai bahan bangunan untuk tempat tinggal, tetapi juga sebagai ramuan sekaligus sebagai obat-obatan penawar berbagai penyakit, simbol filosofi adat, senjata serta bumbu masakan hingga nama tempat (kampung), wilayah (teritorial), penyangga mata air dan lain sebagainya.
Celala, Batang Teguh, Sesampe dan berbagai jenis tetumbuhan lainnya adalah contoh terdekat bagaimana filosofi pemanfaatan kekayaan flora yang digunakan dalam adat dan budaya Gayo sebagai media “tepung tawar” dalam berbagai moment dan peruntukannya. Irisan buah labu sebagai penanggkal sakit kepala, tembakau “sugi” sebagai pencegah gigitan pacat-lintah, lasun putih sebagai anti biotik kuman pada gigi, Asam Pepok sebagai param bagi ibu yang baru melahirkan hingga ganja sebagai pelunak masakan daging adalah bagian dari local geunius Gayo yang pernah ada.
Buku “Nama-nama kayu, kerpe dan tumbuhan yang dapat dimakan dalam budaya Gayo” karya Tgk. Sali Tan yang terbit pada tahun 2005, adalah sebuah hasil interaksi, kontemplasi dan emprisme sang penulis sepanjang usianya sejak 1930. Kehidupan sang penulis yang masih turunan Ceh Raden dan Penggulu Kebet ini ternyata terekam jelas dalam ingatannya. Interaksi serta kedekatannya dengan alam lingkungan kehidupan telah memberinya kearifan sekaligus manfaat melebihi dari mujarab dan paten-nya obat-obatan modren.
Kearifan dan ingatan itulah yang dituangkan oleh Tgk. Sali Tan dalam bukunya tersebut. Berbagai jenis dan nama-nama kayu, rerumputan hingga berbagai spesies flora lainnya ia abadikan sebagai bentuk lain dari keintelektualitasannya dalam mengapresiasi kekayaan alam dan mentransformasikannya kepada masyarakat luas. Sungguh Tgk. Sali Tan adalah orang tua bijak diantara jutaan orang tua Gayo lainnya yang mengakrapi dan mengenali lingkungan alam sekitarnya dengan baik. Mensyukuri sekaligus mengapresiasinya. Tidak cukup sampai disitu, juga menuliskannya.
Dalam literatur akademik, buku Tgk. Sali Tan yang alumnus Pesantren Pulo Kitun ini dapat digolongkan kepada penulisan Etnobotani. Yaitu suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan timbal-balik secara menyeluruh antara masyarakat lokal dan alam lingkungannya, meliputi sistem pengetahuan tentang sumber daya alam dan tumbuhan. Seperti kajian keanekaragaman Flora Tau Taa Wana Bulang hutan lindung di Kabupaten Tojo Una-una, Banggai dan Morowali Sulawesi Tengah.

Seperti dalam pengantarnya, Tgk. Sali Tan menyatakan ide kepenulisan ini lahir setelah ia memandang seberkas fajar merekah dari dari ujung Danau Lut Tawar, Bintang hingga negeri Serule yang membentang belantara hijau, dipenuhi dengan plasma nutfah terhampar di antara bukit dan lembah Dataran Tinggi Gayo mengelilingi lembah Bernung Burbiah.
Buku sederhana dengan “kemewahan” kandungan ini tipis saja, hanya 31 halaman. Tetapi isi dan muatannya seratus kali lipat lebih tebal dalam konteks local geunius Gayo. Disajikan dengan sangat sederhana, juga dengan ukuran fond huruf yang kecil. Materi nama pohon dan tetumbuhan, tempat hidup dan ukurannya, manfaat berikut dengan keterangan singkatnya ditampilkan dalam bentul tabel lima kolom. Dalam kesederhanaannya, saya sebutkan buku ini sangat luar biasa dalam mengeksplorasi kekayaan alam lingkungan Gayo, meski tanpa International Series Book Number (ISBN). Hal ini dapat dimaklumi disaat usia senja dan pengetahuan Tgk. Sali Tan tentang pentingnya sebuah “lesensi” dalam dunia perbukuan.
Lebih disayangkan lagi buku dengan objek kajian yang langka dengan kekayaan flora Gayo ini tidak ditangani dengan baik dan serius dalam proses layout, cetak serta pencantuman nama penerbitnya. Sehingga tampilan ukuran serta cover buku tidak demikian “empowered to sell” dan menarik sebagai sebuah refrensi berharga dalam mengaktualisasikan dan mendokumentasikan hazanah local wisdom kekayaan budaya Gayo. Tgk. Sali Tan Aman Seberdi tentu hanya sebatas menyiapkan materi isi buku. Produksi dan penggandaannya tentu sangat bergantung pada nominal anggaran yang dialokasikan dan disahkan oleh dua pimpinan daerah yang turut memberi pengantar di dalamnya. Yaitu Ketua DPRK dan Bupati Aceh Tengah saat itu. Selayaknya kualitas buku jauh lebih lux, karena dipengantari oleh dua pucuk pimpinan daerah yang juga dengan sumber anggaran dari APBD. Terlepas dari itu, Tgk. Sali Tan jauh lebih bijak dalam hal ini dari sekedar jabatan publik sebagai pengambil kebijakan.[]