- [10 Hari Menjelajah Eropa (bag 9)]
Oleh : Qien Mattane Lao*

Dari Amsterdam, kami semua berangkat ke “Desa Wisata” Zaanse Schans. Sebuah desa tua di Belanda yang berada di tepi sungai yang sangat lebar, hampir seperti danau
Suasana kampung ini aroma dan angin yang bertiup sepoi-sepoi mengingatkanku pada kampung Bale Nosar, sebuah desa yang sejuk di tepi danau Laut Tawar tempat Ibi ku pernah menjadi Bidan Desa.
Tapi yang sangat menarik, rumah yang ditinggali oleh warga Zaanse Schans adalah rumah-rumah tua khas Belanda yang terbuat dari kayu yang dicat berwarna warni. Rumah-rumah ini bebas untuk didatangi tanpa perlu membayar, beberapa rumah malah menuliskan “Come in, we’re open” di pintu pagarnya.
Kelihatannya warga di sini sangat sadar kalau rumah mereka sangat indah dan menarik dan mereka benar-benar menjaganya. Sehingga kita, turis-turis yang datang ke tempat ini benar-benar merasa senang.
Hampir semua penduduk yang tinggal di Zaanse Schans adalah petani. Mereka menanam gandum dan memelihara sapi.

Di desa ini ada padang rumput luas yang dipenuhi sapi-sapi hitam putih. Waktu berada di padang rumput ini rasanya seperti sedang berada di dalam gambar-gambar yang ada

di bungkus susu.
Selain sapi, seperti umumnya desa. Di sini juga banyak binatang-binatang ternak yang lain seperti ayam dan bebek. Bebek di Zaanse Schans penampilannya sama seperti bebek di Indonesia, sangat lucu. Bedanya, bebek di Zansee Schans sangat bersih dan kelihatan jinak.
Karena kelihatan jinak, aku mencoba menangkap bebek-bebek itu, tapi ternyata meskipun jinak bebek-bebek itu sangat sulit untuk ditangkap.

Sapi-sapi yang menghasilkan susu ini, ketika sudah tidak produktif lagi akan dipotong. Dagingnya dimakan dan kulitnya disamak untuk membuat berbagai produk berbahan kulit. Di Zaanse Schans, banyak sekali rumah-rumah yang mengeringkan kulit-kulit sapi ini untuk kemudian nantinya dijual ke perusahaan penyamakan kulit.
Seperti di Volendam di sini juga banyak sekali kincir angin. Orang Belanda menyebutnya “De Bleeke Dood MeelMoelen”, fungsinya untuk untuk membuat tepung. Kincir angin ini boleh dimasuki, tapi harus membayar. Untuk anak-anak seperti aku, bayarannya 1,5 Euro. Dengan kurs waktu itu, sekitar 25 ribu.

Seperti umumnya tempat-tempat di Belanda, desa ini juga sangat bersih. Sehingga aku sangat betah berlama-lama di sini.
Setelah puas berkeliling desa, kami diajak untuk mengunjungi tempat pembuatan klompen, sepatu kayu khas Belanda. Di sana kami ditunjukkan cara membuat klompen dari mulai berbentuk balok kayu sampai menjadi sepatu. Di praktekkan oleh seorang pekerja dengan menggunakan mesin-mesin sederhana. Aku memfilmkannya.
Dari tempat pembuatan klompen, kami kemudian pergi ke sebuah rumah di sana yang menjual jasa pemotretan dengan kostum khas Belanda.
Di sini aku berfoto dengan beberapa kostum Belanda. Waktu foto ini kutunjukkan pada ayahku, katanya aku terlihat seperti foto di kaleng susu cap nona.
*Penulis adalah putri Gayo asal Kute Rayang, Isak, kelahiran Desember 2004

