“Giok” Indah dari Gayo

oleh
Para tamu yang ingin melihat dan membeli batu mulia di rumah Surya Aman Hamdan. (LGco_Kha A Zaghlul)

Catatan perjalan ke kota dingin part 2 (habis)

Catatan Nasril*

Para tamu yang ingin melihat dan membeli batu mulia di rumah Surya Aman Hamdan. (LGco_Kha A Zaghlul)
Para tamu yang ingin melihat dan membeli batu mulia di rumah Surya Aman Hamdan. (LGco_Kha A Zaghlul)

Masih seputar perjalanan ke kota dingin, perjalanan kali ini betul-betul “Rehlah Sa’edah:” begitu berkesan bagi saya, disana saya berjumpa dengan seorang senior di sekolah dulu, proses jumpanya juga sedikit unik, padahal selama ini beberapa kali saya ingin menjumpai beliau yang sedang S3 di Belanda, lumayan sulit untuk dijumpai, tapi akhirnya seorang kawan mengabari saya bahwa senior saya itu sedang berada di kota dingin.

Akhirnya kami janjian untuk ngopi bareng, pagi itu pada saat kedei kopi belum banyak yang buka di kota dingin ini, mungkin karena suasana suhu yang sangat dingin. Sejenak bernostalgia dengan beliau, kembali mengenang masa-masa di sekolah dulu dan cerita perjalanan studi masing-masing.

Sedang asyik menikmati nikmatnya kopi Gayo, tiba-tiba kawan saya mengajak untuk Rehlah (rekreasi) ke Jagong Jeget, sebuah tempat di pedalaman Aceh Tengah, sebelumnya tidak terbayang bagaimana daerah itu, bahkan sempat mengira sulitnya medan yang ditempuh kesana, lebih kurang satu jam perjalanan dari kota Takengon menuju kesana.

Setelah berkemas-kemas, kami menikmati perjalalanan penuh canda tawa dan tukar informasi sepanjang perjalanan, suasana hujan rintik-rintik membuat perjalanan ini terasa lebih indah, sepanjang perjalanan tampak keindahan alam yang masih orginal, pohon pohon hijau berlambai-lambai, para petani yang tampak dari jauh sedang asyik dengan kopi dan tanaman mareka, menggais rejeki untuk sehari-hari dan pendidikan anak-anak mereka.

Sampai di puncak gunung, semakin tampak betapa indahnya ciptaan Allah, Subhanallah!!. Perjalanan pertama ke Jagong ini tidak terasa sudah sampai ditempat tujuan, padahal perjalanan kami sangat santai, tidak buru-buru karena kami menikmati perjalanan, tidak seperti dugaan awal, sepanjang perjalanan kesana jalannya sangat bagus hanya saja ada beberapa titik yang harus segera diperbaiki oleh pihak yang berwenang.

Setiba disana, tentram, nyaman dan indah, itulah kesan pertama disebuah Kampung di pedalaman Aceh Tengah Kecamatan Jagong tempat tujuan kami kunjungi, disana ada seorang teman yang menetap disini. Ada hal menarik di desa ini, sejak awal kami bertamu ke rumah teman ini, kawan-kawan asyik membahasa tentang Giok, terpasang dijari jari mereka giok indah bahkan lebih dari satu, diantara rombongan kami yang berjumlah 5 orang, saya satu-satunya yang tidak bergiok.

Awalnya, saya cuek, tidak terlalu tertarik dengan Giok, tidak open bahkan ketika diganggu “masa yang menyarankan mahar giok tidak pakai giok”, ya, benar saya menganjurkan giok untuk mahar dalam pernikahan di Aceh dan sudah seharusnya giok menjadi pengganti emas, tapi secara nyata saya belum pernah melihat giok-giok indah dan banyak.

Dalam suasana hujan kami diajak oleh teman yang tinggal di kampung ini ke suatu tempat, katanya tempat orang-orang dari luar Aceh Tengah bahkan luar Aceh yang ingin membeli bongkahan giok semua menuju kesini.

Kami lewati gang-gang kecil ditemani hujan yang semakin deras, akhirnya kami tiba di sebuah rumah di dusun Wih Sufi, saya terkjut, heran, takjub, waw, Gioknya sangat banyak dan tersedia bermacam jenis.

Rupanya sebelum kami sampai di tempat ini sudah ada dua mobil lain yang sedang melihat dan memilih giok, sehingga penuhlah rumah Giok ini dengan kehadiran kami, ada bongkahan besar dan ada bongkahan kecil. Kami langsung berbaur dalam rumah yang sudah dipenuhi dengan giok, semua asyik melihat lihat macam-macam batu mulia ini, kesempatan langka ini saya manfaatkan juga untuk mengbadikan dengan berfoto-foto. Rasa tak cukup waktu untuk melihat semua Giok Gayo ini.

Saya mencari informasi tentang usaha giok ini, rupanya tidak hanya disini saja, hanya selang beberapa rumah dari sini masih terdapat banyak lagi tempat penampung giok.

Bang, yuk kita lihat disana, ada giok juga, solar juga bagus-bagus, ajak salah seorang masyarakat disana, karena waktu tidak cukup, hanya tempat itu dari luar tidak masuk lagi ke dalam. Saya mulai bermimpi, seandainya pemerintah mendukung dan mau membantu sedikit modal usaha untuk mereka, ini akan menjadi hal yang fantastis, karena hasil-hasil yang sudah di olah akan beda jauh dari harganya, kasihan masyarakat kalau mereka menjual batu mulia ini hanya karena untuk bisa membeli beras dan makan sehari-hari padahal mereka masih bias mendapatkan lebih.

Dari cerita masyarakat disana, giok yang melimpah di kampung itu, belum mampu meningkatakan ekonomi masyarakat secara merata. Selama ini gencar diberitakan Aceh Demam Giok, Giok Aceh nomor dua dan lain lainnya tentang giok, tak disangka rupanya disini merupakan salah satu penyumbang saham mengangkat nama Aceh. Sudah seharusnya pemerintah benar-benar peduli terhadap usaha ini. Tidak menutup kemungkinan kalau bongkahan mulia ini membantu perokonomian masyarakat.

Menariknya lagi, ada diantara pengrajin Giok ini yang menanyakan tentang zakat Giok, apakah dihitung dalam zakat tijarah (Jual Beli) atau zakat Ma’din (tambang), pertanyaan ini membuat saya terharu, kesadaran masayarakat dalam membayar zakat tinggi.

Tapi sayang, sampai saat ini mungkin belum ada pihak yang berwenang secara resmi mengeluarkan fatwa tentang zakat giok ini. Ada satu pengalaman teman saya Ust. Mahbub yang menceritakan kepada saya tentang warga yang ingin membayar zakat dari Giok ini, Ust. Mahbub walaupun selalu menyarankan kepada mereka untuk menyisihkan sedikit dari hasil Giok ini untuk Zakat, Shadaqah dan infak. Masyarakat sangat merespon dengan ajakan ini sehingga mereka tentu sangat menunggu fatwa dari ulama yang menguasai dibidang ini.

Entah kapan pemerintah akan turun tangan, saya tidak tau, semoga secepatnya, yang penting tidak dipersulit, berikan kemudahan dan bantulah mereka, kelak mereka mendapat penghasilan dan peningkatan ekonomi masyarakat, sehingga mengurangi pengangguran.

Giok Gayo betul-betul indah, masyarakat juga tidak asal menjual bongkahan-bongkahan itu keluar begitu saja. Semoga mimpi saya tadi nyata. Menjelang sore, hujan semakin deras, kami pamit kembali ke ibu kota Aceh tengah, kami mendapat oleh-oleh giok dari perajin giok tadi, begitu juga teman kami yang tinggal disana juga memberikan sedikit gioknya kepada kami, Alhamdulillah selalu ada berkah dibalik silaturrahim. Sampai di kota Takengon langsung meunju terminal, kawan-kawan mengantar saya untuk kembali ke Kreung Geukuh pada malam itu juga (Minggu, 21 Desember 2014). Dua hari dikota dingin tanpa direncanakan sebelumnya begitu berkesan bagi saya, terimakasih untuk teman dan sahabat yang telah menemani dan menjamu saya dengan Mumtaz. Jazakumullah …. []

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.