Diceritakan kembali oleh : Yusuf Alfoba Kenawat dan Win Wan Nur
Cerita ini adalah sebuah cerita rakyat yang banyak diceritakan di daerah Gayo, sebuah wilayah dataran tinggi yang terletak di bagian utara pulau Sumatera. Dulu sebelum ada televisi seperti sekarang, anak-anak di Gayo punya kebiasaan ‘berkekeberen’ (mendengarkan dongeng) sebelum tidur. Biasanya, yang mendongeng adalah kakek, nenek atau bibi dan anak-anak mendengarkan. Begitulah cerita ini diturunkan dari generasi ke generasi.
Alkisah, di lereng gunung Meurah Mulie yang di daerah Uber-Uber yang saat ini merupakan wilayah administratif kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, tinggallah seorang pemuda yang sehari-hari bekerja bercocok tanam dan memelihara kerbau.
Pemuda ini bernama Paga, umurnya menjelang 25 tahun. Paga adalah seorang pemuda yang baik serta rajin bekerja. Sejak masih berusia belasan dia sudah hidup sebatang kara. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Ibunya meninggal ketika melahirkannya, sedangkan ayahnya meninggal diserang harimau saat sedang dalam perjalanan pulang menjual kerbau dari pesisir.
Ketika ayahnya meninggal, Paga mewarisi kerbau yang lumayan banyak jumlahnya. Dan sejak itu pula, Paga tinggal seorang diri di sebuah gubuk kecil berpara di tengah belang peruweren (uwer = kandang kerbau dalam bahasa Gayo), sebuah padang rumput luas yang tempat menggembalakan kerbau, yang juga ditumbuhi pohon pinus dan jemblang yaitu sejenis pohon yang menghasilkan buah seukuran ujung telunjuk, yang kalau sudah matang berwarna hitam dan berasa manis agak sepat.
Tetangga terdekat dari gubuknya, tinggal di Uwer lain berjarak 5 kilometer jauhnya. Paling mereka hanya bertemu saat pergi berburu atau sengaja datang untuk bertamu saja. Hampir tidak ada interaksi antar tetangga.
Setiap pagi, Paga melepaskan kerbau-kerbau miliknya untuk merumput, dan sore hari menjelang maghrib kerbau-kerbau miliknya pulang dan Paga memberi mereka garam. Kerbau adalah hewan ternak yang sangat menyukai garam, karena itulah dengan rakus kerbau-kerbau itu saling berebutan menjilati garam langsung dari tangan Paga. Karena tahu sore harinya akan diberi garam, ketiga pagi hari dilepaskan untuk merumput, sore hari kerbau-kerbau ini selalu ingat pulang ke kandang.
Sebenarnya kalau ditilik dari usia. Paga si pemuda desa ini sudah sangat pantas untuk menikah, harta dia punya, badannya tegap dan kekar, ciri khas orang yang suka bekerja. Wajahnya juga tidak jelek-jelek amat. Tapi karena tempat tinggalnya yang terpencil, Paga jarang sekali bertemu dan berkenalan dengan perempuan. Dia juga tidak memiliki sanak keluarga yang bisa mencarikannya pendamping hidup. Dalam kebiasaan di Gayo, seorang pemuda yang sudah merasa siap untuk menikah, biasanya berbicara kepada bibinya. Lalu si bibi lah yang nantinya akan berbicara kepada keluarga besar, atau mencarikan jodoh untuk keponakannya. Tapi karena Paga hanya hidup sebatang kara. Sehingga begitulah hidup kesehariannya sepanjang hari, minggu, bulan dan tahun. Menghabiskan waktu dalam kesendirian. Memelihara kerbau, sembari bercocok tanam untuk keperluannya sehari-hari dan kalau berlebih dia menjualnya ke pasar. Kadang dia berburu rusa dan menangkap ikan.
Pada hari-hari tertentu, Paga turun ke kota untuk membeli segala kebutuhannya, garam untuk kerbau-kerbaunya dan juga menjual hasil panen dari kegiatan bercocok tanamnya, seperti cabai, terong belanda, sayur-sayuran dan juga ikan hasil tangkapannya di sungai.
Kota terdekat dari tempat tinggal Paga bernama Redelong (sekarang Ibukota Kabupaten Bener Meriah). Perjalanan pulang pergi dari tempat tinggal Paga di Uber-Uber ke Redelong membutuhkan waktu satu hari penuh. Dia berangkat ketika fajar baru merekah dan kembali sebelum matahari terbenam. Pengaturan waktu berpergian ini sangat penting, karena sangat berbahaya kalau ketika hari sudah mulai gelap, orang masih berada di jalanan. Sebab ketika hari mulai gelap, para harimau yang banyak menghuni hutan dan padang rumput Uber-Uber akan mulai keluar mencari mangsa.
Begitulah, pada suatu ketika, Paga pemuda sebatang kara ini berangkat ke Redelong untuk menjual hasil panen, ikan hasil tangkapannya serta daging rusa hasil perburuannya yang semuanya sudah dia keringkan.
Malam hari sebelum berangkat, Paga sudah menyiapkan semua barang yang akan dia bawa dalam sebuah keranjang rotan yang dia panggul di punggung. Tidak lupa Paga menyiapkan tombak dan parang sebagai senjata yang akan digunakan seandainya ada bahaya mengancam di jalan. Tombak yang bergagang ‘Mano’, sejenis rotan berukuran besar ini juga digunakan oleh Paga sebagai tongkat yang membantunya saat melewati jalur menanjak.
Sebagaimana biasa dia lakukan, tiap kali akan turun ke kota. Ketika fajar baru menyinsing dan langit mulai memerah, Paga sudah bersiap-siap untuk berangkat. Keranjang yang berisi hasil bumi dan ikan hasil tangkapannya semua sudah disiapkan pada malam harinya. Demikian pula dengan senjata, berupa tombak yang juga berfungsi sebagai tongkat. Parang pun sudah terselip di pinggang.
Tidak ada hal istimewa dalam perjalanan Paga menuju Redelong. Demikian pula ketika dia sampai di kota. Dia menemui tengkulak langganannya, membeli hasil buminya dengan harga pantas. Dengan uang yang dia dapatkan, Paga membeli segala keperluannya. Garam adalah barang paling penting yang ada dalam daftar belanjaannya, karena selain untuk memasak, Paga memerlukan banyak garam untuk diberikan kepada kerbau-kerbau gembalaannya setiap sore saat kerbaunya kembali ke kandang. Sisa uang setelah membeli garam, dugunakan oleh Paga untuk membeli tembakau, ikan asin, minyak, gula dan bumbu-bumbu.
Di kota Redelong yang terbilang ramai, ada banyak gadis muda yang menarik perhatian Paga, tapi pemuda desa yang lugu ini terlalu pemalu dan minder untuk bisa berkenalan dengan gadis-gadis yang dia temui. Di samping karena minder dengan keadaannya, rata-rata gadis kota yang dia temui, memang memandang remeh dan memandang sebelah mata pada pemuda yang berasal dari pelosok, seperti dirinya. Dari bahasa tubuhnya, seolah mereka sudah mengatakan. Tidak pantas bagi seorang pemuda dusun untuk menjadi pendamping gadis kota yang cantik seperti mereka.
Selesai berbelanja, pemuda ini memasukkan semua barang yang dia beli ke dalam keranjang rotannya, memanggulnya lalu dia pun langsung bergegas pulang, supaya tidak kemalaman di jalan. Cuaca hari itu sedang panas panasnya, panas menyebabkan pemandangan di kejauhan seperti berair dan debu berterbangan tiap Paga menjejakkan langkahnya di jalan. Baru beberapa waktu berjalan, keringat sudah mulai mengucur dari dahi dan punggungnya.
Setelah berjalan kira-kira setengah perjalanan menuju tempat tinggalnya. Paga mulai merasa lapar. Dia pun mencari sebatang pohon untuk berteduh di bawah rindangnya dedaunan untuk menikmati makan siang.
Saat dia bersiap membuka bekal makan siangnya, pemuda ini mendengar suara lemah seperti berbisik meminta tolong. Mendengar itu Paga melihat ke kanan dan ke kiri, mencari sumber suara yang didengarnya. Dia tidak menemukan siapa-siapa, dia satu-satunya manusia yang ada di tempat itu. Tapi suara itu terus terdengar, meminta tolong dengan suara yang semakin melemah. Tanpa sadar bulu kuduk Paga mulai meremang “Apakah ada hantu di tempat ini”, pikirnya.
Secara refleks dia mencengkeram erat tombak di tangannya, sementara tangannya yang lain memegang gagang parang yang terselip di pinggangnya.
Setelah senyap beberapa lama itu, suara tadi kembali terdengar “tolong….tolong”, begitu bunyi suara itu. Paga, si pemuda desa ini semakin penasaran, tapi dia tetap tidak melihat satupun manusia. Di sekelilingnya hanya rumput dan pohon yang tumbuh jarang-jarang. Lalu kembali senyap.
Ketika suara itu kembali terdengar, dengan mengumpulkan segenap keberaniannya. Paga bangkit, mencengkeram tombaknya dan mencari asal suara tersebut. Saat sedang mencari-cari, tanpa sengaja Paga melihat ke bawah. Dia melihat seekor burung ‘Titok Meragi’, yang sayapnya terluka, terkapar tidak bisa terbang dan sedang tergolek lemah di atas tanah.
Mata Paga tanpa sengaja menatap ke arah mata burung ‘Titok Meragi’ yang sedang tergolek lemah ini. Matanya terlihat begitu sayu, tampaknya sudah cukup lama burung ini tergolek di tempat itu, kelaparan dan haus terpanggang cahaya matahari. Melihat itu, pemuda ini tiba-tiba merasa iba dan langsung mengambil burung tersebut. Dia tidak lagi peduli pada suara yang dia dengar tadi.
Melihat burung ini sudah begitu lemah, Paga memberinya minum dalam wadah daun. Burung itu minum dengan susah payah dan Paga dengan sabar membantunya. Paga kemudian memberikan nasi dan pisang yang juga dimakan burung itu dengan susah payah dan perlahan
Setelah burung itu kenyang, baru Paga mulai merawat luka yang diderita burung itu.
Karena tidak punya kain apapun yang bisa digunakan untuk membalut luka burung yang dia temukan. Paga merobek sarungnya memotong dengan goloknya, secukupnya, lalu dengan penuh kehati-hatian, pemuda ini mengikat luka di sayap burung itu. Saat Paga sedang membalut lukanya, burung itu memperhatikan pemuda ini dengan matanya yang sayu seolah mengatakan terima kasih.
Selesai membalut sayap burung ini, sang pemuda dengan hati-hati meletakkan burung ‘Titok Meragi’ yang sedang terluka ini di tempat paling empuk di dalam keranjangnya. Paga kemudian meneruskan makannya.
Selesai makan, Paga bergegas, dia harus buru-buru melanjutkan perjalanan. Jangan sampai kemalaman di jalan. Dia sudah kehilangan cukup banyak waktu di tempat ini.
Paga terus berjalan, melewati padang rumput dan hutan. Matahari sudah condong ke barat dan tidak lama lagi akan tenggelam. Paga masih berada di hutan Pinus. Biasanya, pada waktu seperti ini Paga sudah sampai di rumah.
Beberapa waktu kemudian, matahari pun tenggelam, Paga masih di perjalanan. Paga menyalakan obor dari kayu pinus tua bergetah yang dia bawa. Suara auman harimau mulai terdengar sayup-sayup di kejauhan. Paga mempercepat langkahnya, burung ‘Titok Meragi’ meringkuk di dalam keranjangnya. Suara auman harimau terdengar semakin jelas, Paga mencengkeram tombaknya semakin erat, berjaga-jaga kalau ada yang tiba-tiba menyerang.
Bulan sudah mulai menerangi jalan, ketika Paga sampai di jalan setapak yang sangat dikenalnya, jalan setapak menuju Uwer-nya. Suara harimau masih terdengar dan semakin dekat. Mungkin sang harimau mencium bau mangsa.
Rumah dan kandang kerbau Paga, gelap gulita karena dia terlambat tiba, tidak ada yang menyalakan lampu dan juga api untuk kerbau-kerbaunya. Paga berjalan cepat setengah berlari, tak lama berselang dia pun tiba di rumah. Paga menyalakan lampu, dilihatnya burung ‘Titok Meragi’ di keranjang. Dia lihat burung itu baik-baik saja, Paga mengambil burung itu dengan hati-hati dan meletakkannya di atas meja.
Hari pun berlalu, Paga si pemuda desa ini kembali ke kesehariannya. Burung ‘Titok Meragi’ yang dia temukan di jalan, perlahan mulai membaik keadaannya. Paga merasa semakin sayang pada burung ini. Paga membuatkannya sangkar yang sangat besar seperti sebuah kamar untuk manusia. Paga membuat sangkar sebesar itu, karena dia berpikir seandainya sayap burung ini sudah benar-benar sembuh, dia bisa belajar terbang di dalam sangkarnya yang besar.
Seperti biasa, setiap pagi pemuda ini meninggalkan rumah karena harus mengurus ternak dan tanaman. Sang burung dibiarkannya sendiri di dalam sangkar. Siang, Paga pulang ke rumah, menanak nasi, memasak sayur dan ikan untuk makan. Paga terbiasa melakukannya sendiri, karena memang dia tidak memiliki siapapun untuk membantunya.
Selesai makan, dia kembali lagi ke kebun dan kadang masuk ke hutan dan padang rumput mengawasi kerbau-kerbau peliharaannya yang sedang mencari makan. Tidak lupa sebelum pergi, dia menyuapi dengan penuh kasih sayang, burung ‘titok meragi’ yang masih saja belum bisa terbang.
Pada suatu waktu, ketika dia pulang ke rumah siang hari, seperti biasa dia langsung ke tempat penyimpanan beras bersiap untuk memasak. Tapi hari ini ketika dia akan memasak, dia begitu kaget. Semua makanan sudah tersedia, terhidang di meja. Peralatan masak, semuanya sudah bersih dicuci dan diletakkan dengan rapi di tempatnya. Rumahnya juga begitu bersih dan tertata rapi. Sejak lahir dan ditinggal ibunya, belum pernah dia merasakan rumahnya serapih dan senyaman ini.
Paga bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan yang melakukan ini semua.
Selain nasi, Paga melihat ada masakan ikan kering hasil tangkapannya yang dimasak dengan bumbu ‘masam jing’, yang dimasak bersama dengan sayur daun pucuk labu. Dia mencoba mencicipi masakan yang ada di meja. Paga terpana, rasanya benar-benar lezat dan istimewa. Seumur hidupnya,Paga sang pemuda desa belum pernah merasakan masakan selezat ini. Kelezatan makanan ini bahkan mengalahkan makanan paling lezat yang pernah dia cicipi di kota.
Malam harinya, Paga tidur dengan membawa rasa penasaran. Siapa gerangan yang memasak dan membersihkan gubuknya.
Hari demi hari, kejadian itu terus terulang. Setiap hari, masakan yang disiapkan selalu berganti-ganti. Hari ini ‘masam jing’, besok ‘pengat’, kadang ikan panggang. Apapun bahan makanan yang disiapkan Paga di rumah, saat dia pulang sudah berubah menjadi makanan yang luar biasa lezat.
Gubuk mungil milik Paga juga semakin terlihat bersinar dan semakin nyaman untuk ditinggali, tak ada lagi sarang laba-laba di langit-langit. Tak ada lagi pakaian yang berserak sembarangan. Semua tertata rapi, bahkan pakaian kotor milik Paga yang biasanya dia cuci seminggu sekali. Sekarang selalu dalam keadaan bersih ketika dia pulang.
Anehnya, tidak ada satupun manusia yang ada di sana, benar-benar misterius. Burung ‘Titok Meragi’ yang diselamatkannya tetap berada di dalam sangkar besar yang dia buatkan. Dan meski sudah sehat, tampaknya masih belum bisa terbang. Paga tetap dengan penuh kasih mencurahkan perhatian dan memberinya makan.
Diliputi rasa penasaran, suatu hari Paga membuat rencana, untuk mengetahui, siapa sebenarnya yang melakukan semua ini untuknya.
Pada suatu pagi, Paga berangkat ke ladang seperti biasa. Dia membawa cangkul, parang dan peralatan lainnya. Tapi, kali ini Paga tidak benar-benar pergi bekerja, dia hanya pergi tidak jauh dari gubuknya yang dikelilingi semak belukar.
Kira-kira matahari naik sepenggalahan, Paga melihat ada seberkas cahaya berpendar di dalam gubuknya. Dengan mengendap-endap, melangkah dengan sangat hati-hati, Paga kembali ke gubuknya. Dari sela-sela papan gubuknya dia mengintip untuk melihat apa gerangan yang terjadi sebenarnya.
Jantung Paga berdegup kencang, ketika dia melihat seorang perempuan muda yang sangat cantik seperti bidadari dengan rambut hitam sepinggang, sedang mengambil beras di dalam tempat penyimpanan, mencuci dan mulai menanaknya. Paga menahan nafas, dia masih belum bereaksi. Dia masih penasaran, apalagi yang akan dilakukan oleh perempuan yang luar biasa cantik ini.
Selesai menanak nasi, perempuan ini keluar dari gubuk memetik daun labu, mencucinya dan memasaknya bersama dengan ikan hasil tangkapan Paga. Kemudian dia membersihkan rumah, mencuci semua peralatan. Selesai melakukan itu, perempuan ini mengambil pakaian milik Paga memasukkannya ke dalam keranjang dan bersiap pergi ke sumur untuk mencuci.
Saat perempuan cantik ini akan melangkah keluar dari gubuk, saat itulah Paga datang menampakkan diri. Perempuan jelita nan misterius yang tepat berada di hadapannya, kaget luar biasa, keranjang cucian yang dia bawa terjatuh dan pakaian yang ada di dalamnya pun jatuh berserakan di tanah.
Dia menatap Paga dengan matanya yang jernih, bersinar bak bintang kejora tanpa bisa mengeluarkan kata-kata. Ketika jarak mereka begitu dekat, Paga bisa merasakan harum bau rambutnya dan semerbak nafasnya. Dari jarak sedekat itu, Paga bisa melihat dengan jelas betapa indahnya kulit perempuan ini, putih bersih bak pualam. Paga dengan jelas merasakan nafas gadis ini memburu dengan dada yang naik turun karena kaget. Mereka begitu dekat.
Paga terpana, diam dan kehilangan kata-kata, bahkan gadis paling cantik yang pernah dia lihat di kota pun tidak ada apa-apanya, terlalu jauh bedanya untuk bisa dibandingkan dengan kecantikan gadis misterius yang tepat berada di hadapannya, kurang sejengkal dari wajahnya. Mustahil rasanya perempuan sejelita ini berasal dari dusun di sekitar peruweran Uber-Uber.
Setelah terdiam dan senyap beberapa lama, dengan gugup bercampur rasa penasaran, Paga bertanya “Ssss siapa kamu sebenarnya?”.
Perempuan jelita di depannya menunduk, pipinya memerah. Merona karena malu. Paga kembali mengulangi pertanyaannya “Siapa kamu, tolong ceritakan, kenapa kamu melakukan ini semua untukku”, tanya Paga lagi. Kini dia sudah lebih bisa menguasai diri.
Masih menundukkan wajahnya, gadis yang luar biasa cantik yang berdiri di hadapannya ini menjawab dengan suaranya yang halus dan bening, sebening mata air yang keluar dari bebatuan di tengah hutan“Aku, sebenarnya burung ‘Titok Meragi’ yang kamu selamatkan”
Paga terdiam, tidak bisa berkata-kata. Jantungnya berdetak semakin kencang, tidak dapat dia pungkiri kalau dia telah jatuh cinta pada perempuan secantik bidadari yang kini berdiri dihadapannya, sejak dia pertama kali melihatnya tadi.
“Sejak aku kamu selamatkan, dan kamu merawatku dengan penuh kasih dan perhatian. Setiap hari aku berdo’a kepada Tuhan, untuk mengubahku menjadi manusia dan bisa mengabdikan diriku untuk melayani kamu dengan sepenuh jiwaku, sepanjang hidupku”, lanjut gadis jelita ini kamudian, setitik air menetes dari matanya yang indah bak bintang kejora yang memancarkan sinar cemerlang di langit malam.
“Aku mencintai kamu, melebihi cintaku pada diriku sendiri”, lanjutnya lagi.
Mendengar itu, Paga tidak dapat berkata-kata. Apa yang baru dia dengar dan lihat terlalu luar biasa. Jauh melebihi imajinasinya yang paling liar sekalipun. Dia menatap wajah gadis jelita yang ada di hadapannya itu. Tanpa menunggu waktu lama, hari itu juga Paga mengajaknya menemui tetua desa untuk melakukan upacara pernikahan.
Mereka menikah pada hari itu juga, dan hidup bahagia sampai ke anak cucu.[]