Oleh : Fathan Muhammad Taufiq*
BEBERAPA hari terakhir, hampir seluruh energi bangsa Indonesia seakan terserap oleh permasalahan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang telah diumumkan pemerintah pada tanggal 17 Nopember 2014 lalu. Reaksi pro dan kontra terus bermunculan, sehingga sedikit banyak ikut mempengaruhi stabilitas Negara. Gelombang protes dan demontrasi timbul dimana-mana, menimbulkan gejolah social yang membutuhkan penanganan dan solusi yang bijaksana, agar tidak menimbulkan dampak buruk yang tidak diinginkan. Namun dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas lebih jauh tentang permasalahan sosial yang menjadi trending topic baik di media maupun di jejaring sosial selama beberapa hari ini, karena ini bukanlah domain penulis. Dalam tulisan ini, penulis hanya ingin menelisik sisi lain dari permasalahan ini, yaitu menarik “benang merah” antara kenaikan harga bahan bakar minyak dengan Ketahanan Pangan Masyarakat .
Banyak orang yang berasumsi bahwa Ktahanan Pangan itu sama dengan Swa Sembada Pangan, padahal keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Swa sembada pangan mengandung pengertian “kemampuan suatu negara atau daerah dalam menyedikan kebutuhan pangan pokok”.
Sementara Ketahanan Pangan (Fod Scurity) memiliki beberapa definisi antara lain :
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, mendefinisikan bahwa ktahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga atau masyarakat yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
- Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia, FAO (Food and Agricultural Organisation) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai: situasi dimana semua rumah tangga atau kelompok masyarakat mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.
- NGO Internasional Mercy Corps (2007) memberikan definisi ketahanan pangan sebagai : keadaan ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap terhadap kecukupan pangan, aman dan bergizi untuk kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat.
Berdasarkan definisi tersebut penulis dapat menarik kesimpulan bahwa ada 3 (tiga) komponen utama dalam ketahanan pangan yaitu :
a. Ketersediaan Pangan.
b. Distribusi Pangan.
c. Akses untuk mendapatkan Pangan.
Penulis akan coba “mengkaji” ketiga komponen tersebut dan kaitannya dengan kenaikan Bahan Bakar Minyak.
Komponen pertama Ketersediaan Pangan, meliputi aspek produksi baik di tingkat usaha tani maupun pengolahan hasil pangan. Kegiatan usaha tani di bidang pangan (padi, palawija dan hortikultura) terkait erat dengan production cost yang meliputi pengolahan lahan, penyediaan bibit/benih tanaman, pemeliharaan, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakait tanaman. Semua komponen biaya produksi tersebut sangat tergantung dengan “harga pasar” dari komponen biaya tersebut, secara kasat mata dapat kita lihat bahwa kenaikan harga BBM akan berpengaruh langsung terhadap kenaikan ongkos atau biaya pengolalahan lahan, harga bibit/benih, harga pupuk dan pestisida, hal itu akan menyebabkan keniakan biaya produksi di tingkat usaha tani pangan dan dapat mengganggu ketersediaan pangan manakala para pelaku usaha tani tidak sanggup lagi memikul biaya produksi sehingga menghentikan atau mengurangi kegiatan usaha tani mereka. Demikian juga dalam usaha pengolahan hasil pangan yang akan menyediakan produk-produk pangan olahan. Proses pengolahan hasil juga membutuhkan biaya produksi berupa penyediaan sarana/prasarana, peralatan produksi, bahan baku dan bahan pendukung. Kenaikan harga BBM juga berpengaruh terhadap kenaikan harga sarana/prasarana produksi, peralatan produksi, bahan baku dan bahan pendukung lainnya yang akan mengakibatkan kenaikan biaya produksi. Hal tersebut apada akhirnya akan dapat menyeabkan terganggunya proses produksi yang mengakibatkan berkurangnya ketersediaan produk pangan olahan. Jika kondisi ini berlarut, maka dapat diprediksi ketersediaan pangan akan menjadi langka dan mahal.
Komponen kedua Distribusi Pangan, merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari ketahanan pangan. Untuk sampai ke tangan konsumen, suatu produk pangan harus melalui proses distribusi dari tingkat produsen sampai ke tingkat konsumen. Luasnya wilayah Indonesia dengan topografi dan kondisi infrastruktur yang berbeda-beda, menyebabkan cost untuk proses distribusi pangan ini bervariasi. Namaun terlepas dari perbedaan biaya distribusi tersebut, kenaikan harga BBM akan berpengaruh langsung terhadap proses distribusi pangan ini. Naiknya biaya transportasi dan jasa pengangkutan akan erpengaruh terhadap harga pangan itu sendiri.
Komponen ketiga Akses Pangan atau tingkat daya beli masayarakat terhadap produk-produk pangan, baik bahan pangan mentah maupun pangan olahan yang aman, sehat dan bergizi. Kenaikan harga BBM akan berpengaruh langsung terhadap daya beli masayarakat terhadap produk-produk pangan khususnya pada kalangan masyarakat dengan penghasilan rendah yang saat ini jumlahnya hampir mencapai 40% dari keseluruhan penduduk Indonesia. Disisi lain kenaikan harga pangan akibat kenaikan biaya produksi dan biaya distribusi tidak dapat terelakkan. Naiknya hamper semua harga produk pangan utama seperti beras, minyak, gula, terigu, ikan, sayur-sayuran, buah-buahan, telur dan daging ditengah menurunnya daya beli masyarakat, dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap asupan gizi, sehingga tidak menutup kemungkina kan terjadinya wabah gizi buruk pada masyarakat yang berakibat juga pada menurunnya kualitas sumerdaya manusia.
Dari “analisa” diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan masyarakat. Dan ini menjadi permasalahan urgen yang harus segera dicarikan solusinya oleh semua komponen anak bangsa. Penulis mencoba memberikan beberapa alternatif masukan yang (mudah-mudahan) bisa sedikit membantu dalam mengatasi permasalahan tersebut di atas.
Pertama, Pemerintah memberikan stimulant dalam bentuk insetif kepada para pelaku usaha tani terutama dari kalangan kurang mampu berupa bantuan langsung bibit/benih, pupuk dan pestisida serta sarana dan prasarana mekanisasi pertanian, sehingga para pelaku usaha tani dapat menekan biaya produksi mereka, Sistem insentif ini haruss dilakukan secara selektif dengan proses yang sederhana, sehingga manfaatnya dapat langsung di rasakan oleh para pelaku usaha tani. Dengan dapat ditekannya biaya produksi, maka harga produk pangan yang mereka hasilkan juga kan dapat dijangkau oleh masyarakat luas dan ketersediaan pangan dapat tersedia setiap saat.
Kedua, pemerintah memberikan insentif kepada para pelaku usaha pengolahan hasil pangan khususnya yang ada pada skala industry rumah tangga berupa bantuan peralatan produksi dan penyediaan bahan baku, sehingga dapat menekan biaya produksi, sehingga produk pangan olahan yang dihasilkan dapat dijual dengan harga yang wajar.
Ketiga, pememerintah mengerahkan semua potensi sumberdaya yang ada ( seperti PT Bulog, PT KAI, dan BUMN terkait lainnya ) untuk membatu pendistribusian pangan agar biaya distribusi pangan dapat ditekan sehingga biaya distribusi tidak mengakibatkan kenaikan harga pangan yang signifikan.
Keempat, dalam kondisi darurat yaitu ketika harga pangan di pasaran mulai “tidak terkendali”. Pemerintah harus siap setiap saat (dengan anggaran dan manajemennya) untuk melakukan intervensi melalui “operasi pasar” untuk melindungi masyarakat dari “amukan” harga pasar.
Akhirnya, penulis hanya berharap semoga “catatan kecil” ini bermanfaat.
*Pemerhati sosial ekonomi, tinggal di Takengon
