Oleh. Drs. JamhuriUngel, MA[*]
Moral dalam bahasa agama disebut dengan akhlak yang memiliki arti prilaku, sikap, tata karma atau juga sopan santun. Idealnya akhlak berbarengan dengan ilmu, artinya semakin banyak ilmu yang dimiliki seseorang maka moralnya akan menjadi semakin baik namun faktanya kita lihat tidak seperti itu. Orang yang memiliki ilmu yang tinggi ada juga yang tidak memiliki moral yang bagus dan ada juga mereka yang tidak memilik ibanyak ilmu memiliki moral yang bagus.Tapi kita tidak bisa napikan kalau mereka yang memiliki ilmu yang banyak memiliki moral yang baik dan mereka yang tidak memiliki ilmu ada juga yang tidak memiliki moral yang baik. Yang jelas mereka yang memiliki ilmu yang tidak bermoral sama dengan mereka yang tidak memiliki ilmu dan tidak bemoral, keduanya adalah orang yang tidak bermanfaat untuk orang lain bahkan merugikan orang lain.
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
Artinya : Aku diutus untuk menyempurnakan aklak shalih.
Banyak kita berpahaman bahwa dalam memaknai hadis tersebut dimana orang-orang jahiliyah sebelum datangnya Nabi adalah orang-orang bodoh yaitu orang yang tidak tau apa-apa. Padahal kalau kita pelajari sejarah kita ketahui bahwa bangsa Arab pada saat itu adalah orang-orang yang pinter, memiliki ilmu yang banyak, mengetahui syair-syair yang tinggi, sehingga al-Qur’an juga diturunkan mempunyai sastra yang tinggi guna menandingi sastra yang dimiliki oleh orang Arab pada saa titu. Kalaulah al-Qur’an tidak mempunyai sastra yang tinggi tentu orang Arab pada saat tidak akan percaya kalau al-Qur’an itu firman Allah dan mereka akan meyakini bahwa al-Qur’an adalah ucapan dan hasil pemikiran Muhammas SAW. Tapi karena al-Qu’an memiliki sastra yang bisa mengalahkan karya manusia maka mereka akhirnya yakin bahwa al-Qur’an adalah firman Allah.
Itu salah satu bukti bahwa orang Arab jahiliyah adalah orang pinter dan memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, lalu apa alasan sehingga Nabi mengatakan bahwa ia diutus oleh Allah bertugas untuk menyempurnakan akhlak yang shalih. Untuk itu perlu kita ketahui bahwa akhlak dan ilmu punya kaitan yang sangat dekat dan hampir tidak bisa dipisahkan, hanya saja kalau kita berupaya untuk memisahkannya juga bias dengan cara, bahwa kalau ilmu lebih banyak pada tingkatan ide dan kalau akhlak merupakan jelmaan ilmu kealam pragmatis.
Muhammad al-Ghazali berkata :
و لو قرأتَ العلمَ مائة سنة وجمعتَ الفَ كتاب لا تكون مستعدَّا لرحمة الله اٍلاّ بالعمل
Artinya :“Meskipun kamu telah belajar ilmu selama seratus tahun dan sudah mengumpulkan {mengarang} sebanyak seribu kitab itupun kamu masih belum di katakan orang yang mengharap rahmat Allah kecuali dengan mengamalkannya”
Ungkapan Muhammad al-Ghazali memberi makna sebanyak apapun ilmu yang dimiliki seseorang tidak punya arti kalau tidak diamalkan, jadi sedikit lebih bermanfaat bagi seseorang apabila diamalkan. Namun ungkapan ini tidak berarti mengatakan bahwa orang yang tidak bependidikan itu lebih baik dari mereka yang berpendidikan, karena ada ungkapan lain di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa mereka yang memiliki ilmu derajatnya lebih tinggi dari mereka yang tidak mempunya ilmu. Itulah pentingnya amalan diri bagi seseorang.
Syeikh Muhammad Amin al-Kudry berkata :
لو كِلتَ اَلفى رِطل خَمرٍ لم تكن # لِتَصيرَ نَشوانًا إذا لم تشربْ
Artinya : “Meskipun engkau telah mngumpulkan sebanyak seribu botol khamar tidak akan mabuk jika tidak meminumnya”
Ungkapan ini mempunyai maksud yang sama dengan ungkapan Muhammad al-Ghazali di atas, bahwa perbuatan itu penting karena dapat member manfaat kepada diri sendiri dan mempunyai mamfaat juga untuk orang lain, dan dari perbuatan kita bias mengetahui apakah seseorang itu baik moralnya atau tidak tidak, jujur atau tidak, apakah seseorang hanya bermanfaat untuk dirinya atau juga bermanfaat untuk orang lain.
Dari uraian di atas kita dapat mengetahui bahwa akhlaq sebenarnya adalah mengamalkan apa yang diketahui sesuai dengan kaedah ilmu pengetahuan dan juga tidak bertentangan dengan kaedah umum yang berlaku. Jadi kalau ada sebuah pertanyaan yang diajukan oleh orang kepada kita, kenapa ketika ilmu semakin tinggi seolah tidak adatara dan teknologi semakin maju seolah tanpa batas, namun moral semakin rusak ? maka dengan uraian singkat di atas kita telah bias menjawabnya, bahwa mereka yang tidak memiliki moral adalah mengamalkan kebalikan dari apa yang diaketahui. Kalau dalam ilmu mereka mengatakan bahwa hak orang lain tidak boleh diambil maka dengan berbagai dalih mereka mengambilnya, ilmu mereka mengatakan bahwa berzina itu tidak baik maka dengan mencari berbagai alas an dan mengatakan bahwa pelarangan zina itu sangat erat kaitannya dengan penghapusan nasab, karena itu bila zina dilakukan tanpa berakhir dengan adanya anak berarti tujuan dari zina itu tidak tercapai.
Di sisi lain banyak perbuatan yang merusak moral adalah ketika seseorang memisahkan antara urusan dunia dan urusan agama, seakan masalah dunia bukan menjadi urusan agama, urusan pemerintah bukan urusan ulama. Seperti pendapat yang banyak dikembangkan sehubungan dengan legalisasi pernikahan sirri dengan alasan bahwa pernikahan itu telah memenuhi syarat dan rukun sebagaimana ditetapkan agama (ulama) kendati menurut Negara ketentuan syarat dan rukun yang telah ditetapkan tidak memadai lagi dengan kehidupan sekarang ini. Demikian juga dengan aturan-aturan lain yang dibuat oleh pemerintah atau masyarakat secara umum yang walaupun betul belum dianggap sebagai kebenaran agama. Itulah diantara misi datangnya Rasul kedunia ini yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang shalih atau baik, Karena banyak sekali orang-orang yang berbuat tidak sesuai dengan pengetahuannya, yang dalam istilah lain disebutkan mereka yang berbuat tidak sama dengan apa yang dia ketahui sama dengan orang gila.