
M.Adli Abdullah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan Anggota Permanen International Collective Support of Fishworkers
Merekat Si Damai dan Si Merdeka
PERINGATAN MoU Helsinki ke-9 tahun dan peringatan ke-69 hari kemerdekaan Republik Indonesia. Menunjukkan makna damai adalah menuju merdeka dan merdeka pada gilirannya menuju damai. Karena itu sudah menjadi keharusan bagi rakyat Aceh untuk bisa mengenang dua hari istimewa ini pada bulan Agustus. Dua peristiwa itu berusaha untuk mengakhiri pertumpahan darah.
Damai Aceh berusia 9 tahun dan merdeka Indonesia berusia 69 tahun. “Si damai” baru masuk kelas 3 SD (Sekolah Dasar) sehingga perlu dipapah dan dibimbing. “Si merdeka” yang berumur 69 tahun hampir berusia lanjut perlu dipapah pula. Jika “si damai” dan “si merdeka” hilang dalam jiwa rakyat Aceh maka Aceh kembali masuk dalam lubang kejumudannya. Inilah menurut saya peringatan damai dan kemerdekaan di Aceh penting untuk di tafsirkan.[*]

Fazlun Hasan, Ketua Umum DPP Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh
Bersatu dalam Damai
ACEH sudah kondusif, Aceh sudah aman tetapi belum nyaman. Pemerintah Indonesia sepertinya belum ikhlas melaksanakan seluruh komitmen perjanjian damai MoU Helsinki sebagai konsesus politik yang kemudian melahirkan produk Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA).
Harusnya dengan adanya UUPA ini, pemerintah pusat harus serta merta memberikan kewenangan Aceh yang hanya 6 kewenangan. Tetapi sampai saat ini, UUPA belum dapat diimplementasikan secara maksimal karena ada beberapa turunan seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) yang belum diselesaikan.
Saat bertemu presiden di ajang Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) September 2013 lalu, saya memyinggung hal ini, juga terkait bendera Aceh. Saat itu presiden menjawab lupakan masa lalu dan akan memenuhi kewajiban pemerintah untuk Aceh. Tapi sampai saat ini belum.
Saya mengimbau pemerintah Aceh dan pusat agar melihat semangat perdamaian dan kemerdekaan Indonesia secara sungguh-sungguh. Janganlah main-main dengan hajat hidup orang banyak. Dalam mengelola pemerintahan juga, jangan hanya karena ego sepihak, mengorbankan rakyat. Mari bersatu padu dalam semangat perdamaian Aceh dan Kemerdekaan Indonesia. [*]

Muhammad MTA
Muhammad MTA, Mantan Aktivis SIRA
Yang Penting Realisasi Janji Perdamaian
KITA menginginkan perayaan perdamaian itu yang substantif, di mana semua orang bersuka cita di setiap hari penting itu. Simbolis tentu perlu, tetapi pertanyaan yang paling mendasar adalah apa yang mau dirayakan?
Dalam konteks politik vertikal kita perlu melihat apakah kewajiban dan hak-hak para pihak (GAM dan RI) dari penandatanganan MoU Helsinki sudah terealisasi? Apakah RI sudah menjalankan kewajibannya yang timbul dari kesepakatan damai itu? Misalnya dalam 9 tahun perdamaian apakah pemerintah RI sudah menyempurnakan UUPA sebagaimana termaktub dalam MoU Helsinki dan berbagai turunan UUPA. Jika semua kewajiban itu tidak dilaksanakan maka perayaan perdamaian itu tidaklah menjadi hal yang dapat dibanggakan. Tapi hanya bertambahnya tahun untuk mewariskan kekecewaan Aceh terhadap RI di masa depan.
Secara horizontal, pihak mantan GAM perlu juga dipertanyakan, apakah sudah menjalankan kewajibannya sebagai komitmen menjaga dan memelihara perdamaian? Mereka telah berjanji tunduk terhadap hukum dan konstitusi RI. Sehingga mereka bisa mengontrol semua level kepemimpinan mereka. Apabila tidak maka mereka tidak menjalankan kewajiban-kewajiban mereka sebagai pihak yang telah bersepakat terhadap perdamaian.
Di sinilah berkesinambungan dengan perayaan HUT kemerdekaan RI secara nasional. Yang harus dipertanyakan adalah apakah negara telah memberikan kemerdekaan terhadap segenap rakyatnya? Dalam konteks Aceh, jika RI belum menjalankan semua kewajibannya terhadap Aceh maka saya kira belum bisa kita sambut dengan suka cita. [*]

Raihal Fajri, Direktur LSM Kata Hati Institute
Damai Juga Dimotori Elemen Sipil
YANG menarik dari 15 Agustus dan 17 Agustus adalah semangat untuk merayakannya secara ikhlas dan harapan supaya menjadi pembelajaran bagi semua elemen. Saya melihat, ini sebagai sebuah ini sebagai pembelajaran dan pengetahuan. Sudah seharusnya, semangat dan pembelajaaran itu harus terus di replikasi oleh semua rakyat Indonesia.
Peran elemen sipil dalam perjanjian damai MoU Helsinki dan kemardekaan Republik Indonesia tahun 1945 itu cukup besar. Jadi, MoU Helsinki dan kemerdekan, bukan milik golongan, tapi milik rakyat Aceh dan semua Indonesia. Sama seperti eksistensi UUPA dan UU 45 itu bukan milik golongan, melainkan milik semua rakyat.
Untuk itu, karena Mou Helsinki dan UUPA itu milik kita bersama, maka sudah seharusnya masyarakat Aceh memberi masukan dan mengawal implimentasinya. Kita tidak bisa menyalahkan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat, namun kesalahan ada di pundak kita semuanya.
Menyangkut banyak tururan UUPA yang belum selesai dan persoalan lainnya. Ini bukan tanggungjawab GAM, PA dan unsur pemerintah lainnya. Ini menurut saya adalah tanggungjawab seluruh elemen rakyat Aceh.[*]

Sayuti M Nur , Ketum Ikatan Pemuda Pelajar Aceh Utara
Perdamaian adalah Persaudaraan
BAGI kami, 9 tahun MoU Helsinki dan HUT Indonesia ke-69 merupakan landasan filosofis dalam membangun Indonesia. Tidak ada alasan bagi semua komponen rakyat Aceh untuk tidak bekerja keras mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi semua rakyat. Terutama hak dasar EKOSOB (Ekonomi, Sosial dan Politik).
MoU Helsinki dan HUT Republik Indonesia ke 69 harus menjadi titik refleksi untuk Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh untuk bertanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan ekonomi, penguatan kualitas pendidikan anak bangsa di Aceh.
Perbedaan sudut pandang harus dihilangkan, supaya hak-hak dasar rakyat Aceh dapat terpenuhi secara bijak oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh. Menurut saya, perdamaian Aceh adalah persaudaraan tanpa syarat antar bangsa anak bangsa di Aceh dan seluruh Nusantara.[*]

Sehat Ihsan Shadiqin, Mahasiswa PhD Antropologi Budaya, Universitas Milano-Biccoca, Italia
Dari Aceh untuk Dunia
MoU Helsinki bukan sekadar menghentikan perang yang terjadi antara kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Republik Indonesia. Lebih luas ia juga memberikan harapan dan cita-cita yang lebih tinggi dalam menatap kehidupan, membangun imajinasi tentang hidup, menata masa depan, dan berpikir tentang bagaimana berperan serta dalam kehidupan bersama.
MoU Helsinki memberikan kesempatan kepada masyarakat Aceh untuk berkiprah dalam konteks pergaulan yang lebih luas di seluruh dunia. Ini sangat disadari oleh orang Aceh sendiri. Setelah MoU Helsinki peran itu sedikit demi sedikit mulai diambil oleh orang Aceh dengan ikut bergabung dalam organisasi-organisasi level dunia. Saat ini banyak orang Aceh yang terlibat dalam lembaga-lembaga dunia yang menentukan arah kebijakan politik dan ekonomi global.
Pemerintah Aceh juga harus terus merencanakan dan membuat program yang mengarah pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), untuk memajukan orang Aceh sebagai masyarakat yang berperadaban, berpendidikan, serta memiliki kompetensi dalam membangun masyarakat dunia. [*]

Muhadzier M. Salda, Mahasiswa Magister Kebencanaan Universitas Syiah Kuala)
Damai Itu Sederhana
Momentum 9 tahun MoU Helsinki dan HUT RI ke 69, harus menjadi bahan evaluasi semua pihak, baik di Aceh maupun di Jakarta untuk melihat sejauhmana sudah realisasi MoU Helsinki dalam perspektif keindonesian.
Apalagi dengan semangat Hari Proklamasi Indonesia, kita harus menjaga ruh dan dan jiwa damai untuk terus hadir ditengah masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh sudah lelah hidup dalam konflik dan perseteruan. Inilah saatnya membuktikan bahwa damai itu memang hak rakyat Aceh, bukan sebaliknya.
Damai bagi rakyat Aceh itu sederhana. Perdamaian harus memberi dampak positif sebagai upaya untuk mewujudkan rakyat Aceh yang sejahtera dan bermartabat. Perdamaian dan HUT RI bagi petani, misalnya irigasi bagus dan produksi padi meningkat. Untuk itu, mari kita jaga dan rawat damai ini, karena ini bagian dari investasi untuk anak cucu kita nantinya. Kalau tidak, bencana lain akan menghantui kita.[*] adv