Melirik Dunia Pendidikan di Gayo

oleh

(dari Usia Dini hingga Pendidikan Tinggi)

 Oleh : Dr. Al Misry, MA

Dunia pendidikan adalah urusan kehidupan seluruh umat manusia, dasarnya seperti makna hadits “waktu menuntut ilmu sejak ayunan sampai ke liang lahat” (education of life’s), pendidikan melibatkan semua orang, pendidikan ada dimana-mana dan kapan saja, pendidikan dalam bentuknya ada formal dan nonformal, pendidikan yang dikenal di Indonesia memiliki tingkatan yang berbeda, tingkatan yang ada yakni pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

Pendidikan Dasar yang dimaksud adalah satuan tingkat pendidikan yang dikelola oleh Pemerintah, masyarakat dalam bentuk yayasan dan perseorangan. Pendidikan dasar yang terlihat di sekitar kita antara lain : Play Group, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-Kanak meliputi Taman Kanak (TK lazim/biasa), Raudlatul Athfal di bawah Kemenag, Bustanul Athfal dibawah Aisyiah/Muhammadiyah, Taman Kanak-kanak Al-Qur’an (TKA) di bawah Badan Kontak Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) dan balai pengajian anak serta privat di rumah. Seterusnya pendidikan usia sekolah setingkat Sekolah Dasar (SD) di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang perpanjangannya di daerah adalah Dinas Pendidikan dan Kebuadayaan, Madrasah Ibtidaiyah (MI) di bawah naungan Kementerian Agama sebagai lembaga vertikal (pusat) dan Pengajian di balai-balai yang diselenggarakan oleh masyarakat, termasuk dalam kategori ini adalah Taman Pendidikan Al-Qur’an yang induknya pada BKPRMI.

Pendidikan Menengah dalam tulisan ini diberi batasan sebagai lembaga pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat, contoh pendidikan ini sangat mudah ditemukan yakni Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) baik negeri maupun swasta yang tunduk pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di daerah. Sementara pendidikan menengah yang tunduk pada Kementerian Agama adalah Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) baik negeri maupun swasta. Beberapa tahun yang lalu pernah dicanangkan oleh pemerintah Indonesia akan adanya wajib pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun yang dihitung adalah masa pendidikan SD/MI 6 tahun ditambah SMP/MTs 3 tahun, tidak masuk PAUD/TK/RA/BA/TKA, artinya seluruh rakyat Indonesia wajib mengenyam pendidikan minimal tamat SMP/MTs.

Pendidikan Tinggi adalah lembaga pendidikan yang peserta didiknya adalah lulusan menengah atas, kejuruan dan aliyah dan memiliki jenjang Diploma, strata 1, strata 2, dan strata 3, memiliki keterikatan Tri Dharma Perguruan Tinggi serta menekuni bidang tertentu, sehingga dari segi penamaan dikenal beberapa nama seperti Akademi, Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas sesuai dengan kreteria dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akademi hanya menyelenggarakan pendidikan dalam bidang tertentu ilmu dan masa pendidikan hanya maksimal 3 tahun, sekolah tinggi menyelenggarakan pendidikan sarjana dan dalam bidang keilmuan tertentu, diatasnya disebut institut yang memiliki fakultas yang melaksankan beberapa disiflin ilmu dalam rumpun yang sama. Universitas adalah lembaga pendidikan tinggi yang mengayomi beberapa cabang keilmuan atas syarat minimal 6 (enam) prodi ilmu eksakta dan minimal 4 (empat) cabang keilmuan sosial.

 Gayo adalah nama sebuah suku yang ada di pedalaman (bagian tengah) Aceh, dalam tulisan ini Gayo dimaksud adalah masyarakat secara keseluruhan yang mendiami kawasan tengah Aceh, meliputi Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan kemungkinan masuk wilayah timur Aceh Tenggara, wilayah timur Aceh Tamiang dan wilayah selatan dan timur dari Kabupaten Aceh Timur. Dengan demikian pendidikan dasar dan menengah di Gayo adalah keberadaan seluruh sekolah negeri dan swasta yang ada mulai dari PAUD sampai pada tingkat Sekolah Menengah Atas/Kejuruan/Aliyah (SMA/SMK/MA) dan seterusnya pendidikan tinggi ada yang bernama Akademi, Sekolah Tinggi dan Universitas, sedangkan Institut belum ada di kawasan tengah Serambi Aceh ini.

Secara longgar masing-masing tingkat pendidikan, PAUD adanya pada setiap lingkungan penduduk, TK ada pada setiap dusun, SD atau MI ada pada setiap kampung, SMP atau MTs terdapat 1 dalam 3-5 kampung, SMA/SMK atau MA idealnya ada pada setiap kecamatan dan pendidikan tinggi minimal ada pada setiap ibukota kabupaten. Khusus untuk lembaga pendidikan tinggi di kawasan tengah Aceh yang dianggap legal (tidak kelas jauh) telah ada, yakni :

  1. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Gajah Putih Takengon Aceh di Takengon
  2. Universitas Gajah Putih (UGP)  di Takengon
  3. Universitas Gunung Louser (UGL) di Kotacane
  4. Sekolah Tinggi Agama Islam Sepakat Segenep (STAISES)    di Kotacane
  5. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Aceh Tengah (STIHMAT) di Takengon
  6. Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan Muhammadiyah Aceh Tengah (STKIPMAT) di Takengon
  7. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nurul Arifin Pondok Sayur Bener Meriah.
  8. Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) syech Saman Al-Hasan Blang Kejeren Gayo Lues
  9. Untuk Akademi Kesehatan dan Kebidanan masing-masing kabupaten telah ada.

Dunia pendidikan harus di dukung oleh beberapa komponen yang lebih dikenal  dengan “Tri Pusat Pendidikan” yakni :

1. Pendidikan Informal
Informal logikanya proses pendidikan yang terjadi dalam rumah tangga, pendidikan pertama berlangsung dalam keluarga, proses ini bahkan menurut Prof. Baihaqi AK telah diawali sejak anak dalam kandungan, setiap anak dekat dengan orangtuanya sampai usia sekolah, anak akan mencontoh prilaku dan kebiasaan orang tuanya, jika pendidikan formal ini berlangsung baik, dan orang tua memiliki tanggung jawab pebuh terhadap seluruh proses pendidikan informal, maka hasilnya dipastikan akan positif.

Aflikasi informal diperluas, artinya tanggung jawab orang tua  bukan hanya ketika anak berada di rumah, tetapi ketika anakpun sudah berada dalam lingkungan sekolah formal, orang tua harus memantau, melihat secara dekat proses yang ada, ke sekolah perlu dicari informasi bagaimana keseharian anak mengikuti pelajaran,  pergaulan dan prilaku lainnya, termasuk memenuhi kebutuhan anak dalam keperluan pendidikan, seperti membeli pakaian sekolah, buku-buku pelajaran pendukung dan seterusnya. Adanya kepedulian rang tua yang langsung berkomunikasi dengan pihak sekolah suatu  indikasi adanya kerjasama informal dengan formal untuk keberhasilan anak dalam meraih keberhasilan pendidikan bagi anak.

Apabila proses kerjasama antara guru di sekolah dengan orang tua di rumah, maka komponen masyarakat akan kebal dari hukum, tidak perlu ada Undang-undang tentang Perlindungan Anak (UUPA), sebab jika guru yang menghukum anak didiknya harus ditanggapi orang tua secara positif dan sebagai proses dalam pendidikan, bagian dari tanggung jawab guru dan bukti kasih saying guru kepada anak didiknya, kendatipun guru memukul, menempeleng sang anak didik. Kebal hukum yang dimaksud adalah tidak adanya orang yang melapor kekerasan guru terhadap anak didik pada aparat polisi atau ke NGO/LSM yang kadang kala menjadi oknum untuk mencari rupiah.

2. Pendidikan Formal
Pendidikan ini logikanya dikaitkan dengan pemerintah, karena pemerintah bertanggung jawab terhadap pendidikan seperti yang diisyaratkan oleh UUD 1945. Akibat itu pemerintah harus membangun sarana prasarana sekolah, menyiapkan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Implikasi dari tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan, dibuktikan pengangkatan guru dan dosen sebagai tenaga pendidik, mengangkat para tenaga adminstrasi, laboran dan lain-lain sebagai tenaga pendukung. Lebih dari itu pendidikan yang dilaksanakan secara formal oleh pemerintah, maka secara penuh diurus oleh kementerian khusus yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama, setiap waktu dan tempat diharuskan untuk adanya koordinasi dan kerjasama dengan pendidikan informal dan non formal. Kendati diberi kelonggaran bagi tenaga khusus menurut bidang tertentu, sehingga ada beberapa lembaga dapat melaksanakan pendidikan tersendiri seperti Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia.

3. Pendidikan Nonformal
Tanggung jawab pendidikan bukan hanya terletak pada informal (keluarga) dan formal (pemerintah), tetapi tanggung jawab pendidikan juga harus melibatkan masyarakat sehingga inilah yang disebut nonformal. Secara universal tinjauan nonformal ini dalam pendidikan tercermin dari hal-hal :
a. Setiap keluarga saling melengkapi, saling membutuhkan, sehingga mereka adalah bagian dari anggota masyarakat, sebagai bagian masyarakat, tentu putra-putri merekalah yang mengenyam pendidikan.
b. Sarana prasarana  yang dibangun oleh pemerintah berada di tengah-tengah masyarakat, maka mendukung, menjaga, mengawasi lembaga pendidikan adalah tugas masyarakat dan kerjasama yang baik.
c. Orang perorangan yang terlibat dalam pendidikan seperti tenaga pendidik, tenaga kependidikan yang mendukung proses pendidikan adalah bagian dari anggota masyarakat. Sehingga memerlukan kerjasama dalam ranah Tri Pusat Pendidikan.

Ada fenomena yang tidak cantik mencuat kepermukaan terkait dengan dunia pendidikan, umpamanya guru sebagai tenaga pendidik digaji oleh Negara termasuk menerima tunjangan Sertifikasi Guru dan tunjangan lainnya, kurang melaksanakan profesi gurunya untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional “merubah watak, perilaku, karakter anak didik kea rah yang lebih baik atau kearah ketaqwaan kepada Tuhan”, kurang memiliki rasa tanggung jawab untuk mencerdaskan anak didiknya, tetapi para guru lebih berorientasi setiap bulan dapat gaji. Mengajar sekedar melaksanakan kewajiban untuk memperoleh hak. Guru-guru banyak yang telah diracuni undang-undang Perlindungan Anak, sehingga takut memberi hukuman kepada anak, minimalnya rasa memiliki terhadap anak didik seperti memperlakukan anaknya sendiri. Gejala ini hampir menyeluruh bagi guru-guru di semua tingkatan pendidikan, idealisme seorang guru menjadi tercemar.

Terakhir ini ada lagi muncul issu negatif, yakni ada perguruan tinggi negeri yang mengembalikan calon mahasiswa yang berasal dari Gayo untuk jalur prestasi, karena pihak sekolah disinyalir melakukan “CUCI RAPORT” (memperbaiki nilai raport yang telah pernah diterima siswa). Gejala lain kayaknya seperti budaya sekaligus rahasia umum yakni “Target kelulusan sekolah” bermuara pada target kelulusan kabupaten dan kelulusan provinsi. Dengan adanya system target kelulusan, maka pihak sekolah harus berupaya mengejar target, upaya mengejar target tidak terjadi jauh sebelum pelaksanaan ujian, tapi justru terjadi saat ujian berlangsung dengan cara mengajarkan peserta ujian, memberi langsung jawaban benar kepada anak didiknya, dengan harapan agar target kelulusan sekolah tercapai. Dampaknya, muncul image bagi anak didik, untuk apa belajar sungguh-sungguh, toch pada akhirnya nanti guru kita akan memberi kunci jawaban ketika ujian.

Untuk mengatasi “issu miring” di atas, ada tawaran solusi bagi institusi yang bertanggung jawab dalam semua tingkatan pendidikan, agar tujuan pendidikan dapat tercapai, antara lain :

  1. Semua personal dalam jajaran pendidikan wajib membaca, memahami, menjalankan aktifitas, menjalankan professi, bertugas sesuai Undang-Undang dan peraturan yang berlaku yang berkaitan dengan keadaan diri. Karena konsep atau karakter yang baik adalah sesuai dengan aturan.
  2. Untuk pendidikan dasar perlunya ditinjau kembali jumlah mata pelajaran yang diajar, materi pelajaran lebih pokus pada 4 bidang studi : Menulis dan Membaca, berhitung dengan sasaran mampu tambah kurang kali bagi (+,-,x,:), al-Qur’an serta aqidah-akhlaq
  3. Untuk pendidikan menengah, tingkat SMP/MTs mungkin kurikulum saat ini memadai, hanya saja memperluasnya penyesuaian lingkungan (karakter, budaya, bahasa) yang bermuatan lokal. Tetapi untuk tingkat SMA/MA/SMK lebih mengarah pada penyesuaian bakat dan minat anak didik untuk dipasilitasi seperlunya.
  4. Untuk pendidikan tinggi terus melekat dengan Tri Dharma-nya, jangan diabaikan adanya kegiatan ekstrakurikuler berbasis “interprenuership” dalam hal kewira-usahaan, hal ini terkait pembacaan masa depan, tidak mungkin lagi semua produk pendidikan tinggi berpeluang menjadi PNS, hindari sejak awal sarjana pengangguran yang pencari kerja, tapi orientasi saat ini sarjana yang dihasilkan adalah orang yang mampu membuat lapangan pekerjaan  baru.
  5. Kepada mahasiswa kiranya hindari sikap gengsi kuliah di daerah, tapi orientasi adalah mencari ilmu, dimanapun boleh kuliah asal rajin membaca, membeli buku, kuasai bahasa Inggeris, pertajam analisis, posisikan diri sebagai penerus negeri ini.

Fastabiqul khairaat, Wallahu ‘alam

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.