Radot, Penyelam Legendaris Lut Tawar

oleh
Almarhum M. Rasyid alias Radot. (Refro : Khalis)
Almarhum M. Rasyid Ahmad alias Radot. (Refro : Khalis)

Oleh Kha A Zaghlul

Nama Radot sudah tidak asing lagi ditelinga warga dataran tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah hingga tahun 1980-an. Sosok almarhum Radot yang bernama asli M. Rasyid Ahmad kerap diminta melakukan penyelaman (besenom-Gayo:red) mencari korban tenggelam di Danau Lut Tawar yang konon berpenghuni makhluk bernama [highlight]Lembide[/highlight].

Tercatat sejak tahun 1952 hingga 1983 sedikitnya 14 korban meninggal dunia akibat tenggelam di danau Lut Tawar dengan pencarian Radot dan atas izin Yang Maha Kuasa berhasil ditemukan jasadnya. Warga kampung Boom Kecamatan Lut Tawar ini dikenal luas sebagai penyelam tradisional, artinya tanpa menggunakan alat selam sama sekali.

Ayah dari enam anak yang dilahirkan di kampung Jongok Kebayakan pada tahun 1921 ini mencatat sejarah tersendiri bagi warga Gayo, terkhususnya para keluarga korban tenggelam. Dari kisah yang berkembang, oleh Yang Maha Pencipta, Radot diberi kemampuan menyelam lebih lama dari orang biasa.

Dari pengalaman langsung Sadri, putra ketiga dan sebagai anak kesayangan yang paling sering bersama Radot dalam berbagai evakuasi korban, pernah satu waktu saat Sadri masih berusia sekitar 12 tahun bersama ayahnya, mengayuh perahu persis di tengah danau di kawasan Kelitu dan Ujung Baro, perahu mereka terbalik dan seluruh perlengkapan yang ada di perahu tenggelam termasuk sebuah kampak yang dipinjam dari orang lain.

Karena rasa tanggung jawab atas kapak milik orang lain yang dipinjamnya. Radot mencarinya ke dasar danau yang diperkirakan berkedalaman lebih 50 meter. Sadri takjub, kapak tersebut berhasil ditemukan kembali oleh ayahnya.

Salah seorang warga Takengon yang mengaku kenal baik dengan Radot semasa hidupnya, Abu Bakar yang dikenal dengan panggilan AS. Kobat mengaku pernah menyaksikan sendiri Radot mencari korban tenggelam di Lut Tawar puluhan tahun silam. “Pernah seorang siswi tenggelam di kawasan wisata Ujung Nunang, Radot menyelam sekitar setengah jam dan berhasil menemukan jasadnya, saya menyaksikannya bersama beberapa orang lainnya,” kata AS Kobat.

Kelebihan lain dari Radot diceritakan istrinya, Selamah. Radot biasa menangkap ikan tanpa alat bantu sama sekali. Dan tangkapan yang paling luar biasa adalah ikan Denung (sidat) selebar dan sepanjang papan yang lebih kurang berukuran 0,25 x 4 meter. Kejadian ini terjadi di kawasan Otong-Otong Kelitu.

Ikan-ikan tangkapan PNS di jajaran Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah ini tidak pernah diuangkan, tapi hanya dikonsumsi sendiri oleh keluarga Radot dan dibagikan pada tetangganya.

Tak hanya di Lut Tawar, di laut lepas, Radot juga mampu menyelam dengan baik, cerita Selamah. Ditahun 1991 Radot pernah diminta mencari sepucuk pistol milik Wakapolres Aceh Timur yang jatuh diperairan laut Aceh Timur. Pistol tersebut berhasil ditemukan, pemiliknya sangat berterima kasih dan berhutang jasa terhadap Radot sampai-sampai setelah meninggal dunia Wakapolres tersebut mengirimkan batu nisan untuk makam almarhum Radot.

Penyelam legendaris ini meninggal dunia di bulan Oktober 1997 karena sakit dan dikebumikan di Sukajadi Kecamatan Kute Panang Aceh Tengah.

Pihak keluarganya tidak ingat lagi kapan Radot mulai menyelam. Tapi setidaknya selama tidak kurang dari 30 tahun menyelam menentang bahaya di kedalaman danau Lut Tawar mencari jasad korban tenggelam di danau yang masih penuh misteri baik sisi ilmiah maupun mistisnya. Dan dari 14 orang korban yang pernah dicari Radot, 8 korban merupakan anak-anak.

Lalu apa arti nama Radot?, ternyata panggilan ini tidak ada hubungannya dengan keahlian menyelam. Saat Radot kecil, dia tidak bisa mengucapkan Ranot yang dslam bahasa Gayo maksudnya bau kambing yang khas.

“Saat ayah masih kecil, Kakek kami beternak kambing, ayah tidak fasih menyebut Ranot (sebutan untuk bau kambing-Gayo:red), dia selalu menyebut Radot. Akhirnya ini jadi nama panggilan ayah hingga akhir hayatnya,” ujar Sadri.

Sepeninggal Radot, hingga tahun 2005 tercatat ada 3 orang korban meninggal tenggelam di Lut Tawar. Anak-anak Radot diantaranya Mitra, Hazarul Aswadi dan Sadri, terpanggil penuhi tugas yang biasa diemban ayahnya. Ketiganya tak sepenuhnya mewarisi kelebihan ayahnya namun berusaha memenuhi permintaan untuk turut membantu mencari korban tenggelam.

Para Penerus Radot
Hingga tahun 2006, Radot sudah belasan tahun tiada, usaha pencarian korban tenggelam di Lut Tawar tidak pernah memakai alat modern sampai saat Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menetapkan Kabupaten Aceh Tengah sebagai tuan rumah PORDA X barulah perlengkapan selam SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Aparatus) dikenalkan secara luas di Danau Lut Tawar.

Sejak saat itu bermunculan atlit-atlit selam di Aceh Tengah, salah satunya Munawardi, S.St.Pi sebagai salah seorang atlit sekaligus pelatih di Pengurus Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) Aceh Tengah.

Belakangan, Munawardi dan adiknya Mude Angkasa, serta rekan-rekannya Usmar Effendi, Putra dan lain-lain termasuk putra Radot, Sadri dan Hazarul Aswadi kerap dipanggil untuk melakukan penyelaman mencari korban tenggelam atau keperluan lainnya di Lut Tawar.

Pada bulan Februari 2008, Munawardi dan kawan-kawan membentuk sebuah klub selam dengan nama Gayo Diving Club (GDC) dan kini di tahun 2014 sudah puluhan anggota yang bergabung dan beberapa diantaranya sudah mengantongi sertifikat selam dan sejak GDC berdiri sudah beberapa kali melakukan pencarian dan mengevakuasi korban tenggelam di Danau Lut Tawar juga di sungai.

Untuk mengurangi kesan mistis danau Lut Tawar yang katanya tiap tahun meminta korban, secara teknis GDC terus mengkampanyekan perlunya menguasai olahraga renang. Dalam seminggunya anggota club dengan berbagai tingkatan umur secara rutin melakukan latihan berenang dan menyelam di sejumlah lokasi di Danau Lut Tawar.

Mereka juga pernah berenang melintasi (Swim Crossing) di Danau Lut Tawar bertepatan dengan hari air sedunia (World Water Day) tahun 2010 silam. Belasan atlit berenang sejauh 4 kilometer dari selatan hingga utara Danau tersebut.

Di tahun 2014, rekor berenang 4 kilometer itu mereka pecahkan, sebanyak 6 orang atlit dengan 2 diantaranya putri berhasil berenang di danau Lut Tawar sejauh 17 kilometer dari Pante Menye Bintang hingga Ujung Baro kecamatan Lut Tawar.

Misi penyelaman untuk keperluan penelitian juga mereka lakukan seperti penelitian ikan Depik serta penelitian Arkeologis oleh Balai Arkeologi Medan Sumatera Utara. Selain itu mereka juga  melakukan penyelaman ke dasar danau mendampingi tim liputan televisi swasta nasional.

Penyelam GDC juga digodok sebagai pecinta lingkungan mereka kerap memungut sampah-sampah anorganik dari danau Lut Tawar seperti plastik sampah rumah tangga serta jaring-jaring (Doran:Gayo-red) milik nelayan yang menjadi Ghost Net membunuh ikan-ikan danau tanpa dikonsumsi oleh manusia.[]

Link terkait :
[highlight]Legenda Lembide “Si Penunggu Lut Tawar”[/highlight]

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.