
Muhammad Rusydi & Khalisuddin
Banyak yang bertanya-tanya kenapa satu desa di Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah diberinama sama dengan nama sebuah negara besar di Timur Tengah “Mesir”. Dan ternyata penamaan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan negara tempat universitas ternama Al Azhar tersebut.
Melihat secara geografis dan administrasi Mesir berada di antara dua Sarak Opat yaitu desa Bebesen dan Kebet. Sejak jaman dahulu wilayah Mesir seperti terisolir, bukan karena fasilitas ataupun tranportasi namun memang dalam wilayah Mesir hanya ada 5 rumah pada masa itu, tahun 1978.
Awal penyebutan Mesir yang berada di pucuk “Buntul” tersebut pada masa itu masjid Tue Kebet yang didirikan pada tahun 1933 tersebut menjadi salah satu tempat beribadah bagi warga sekitarnya apalagi saat bulan Ramadhan untuk shalat Tarawih. Kendati demikian Mesjid Quba Bebesen yang sempat di bakar V.O.C dan menjadi mesjid paling bersejarah ke-3 di Gayo setelah Masjid Penampa’an di Gayo Lues dan masjid Tue Kebayakan itu juga menjadi tempat favorit masyarakat Mesir yang hanya beberapa orang tersebut.
Berawal dari letaknya yang berbeda sehingga Mesir disebut berasal dari Bahasa Gayo Kalul “Mesir” atau Mupesir:Gayo Lut dan Deret, Mpesir:Gayo Belang). Dikarenakan wilayahnya yang terpisah dari dua desa namun bersatu dan dipisahkan oleh sungai kecil yang mengalir dari pucuk Tamak (Kuel, Tensaran) Bebesen. Sehingga sering disebut Mesir hingga saat ini.
Wilayah Mesir juga disebut Roda karena di daerah ini sangat terkenal dengan yang namanya mesin kopi Belanda yang masih menggunakan aliran sungai yang kecil namun memiliki arus yang deras dan sungai itu dimanfaatkan oleh masyarakat untuk sekedar mandi mencuci pakaian terawang dan kerawang serta mencari ikan-ikan kecil sebagai lauk tambahan.
“Roda”, dahulu masyarakat di luar daerah menamainya dengan Roda (warga Gayo menamai kincir air) dikarenakan terdapat roda yang lumayan besar yang menjadi pembangkit listrik dan sumber tenaga mesin kopi Belanda. Mesin kopi dan padi tersebut sangat termashur saat itu.
Persembunyian Tgk. Ilyas Leube
Munculnya kata Mesir ketika pada masa V.O.C, Agresi Militer Belanda hingga Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) ketika para ulama Aceh yang di pimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Beure’ueh mencari beberapa tokoh Gayo saat masa DI\TII bergejolak di bagian semenanjung Sumatera bagian barat hingga Aceh, setelah menemukan tokoh pejuang Gayo, Tgk Ilyas Leube dan ketika mereka menanyakan di mana tokoh yang terkenal lainnya di Takengon dahulu disebut “Takingeun” maka masyarakat menjawab “i roda” para ulama Aceh heran bagaimanakah letak Roda maka para masyarakat menjawab “mpesir (terpisah)“, dan ketika masa itu para Ulama Aceh dan Belanda mengenal daerah tersebut dengan nama “mpesir” atau “Mesir” yang hingga saat ini dikenal banyak melahirkan ulama Gayo.
Meski kehadiran masa DI\TII membuat kawasan Gayo sempat kacau akibat banyaknya pembantaian masyarakat luar Gayo namun tidak sama sekali menyurutkan semangat pejuang dan Ulama Gayo dalam mempertahankan kedamaian di bumi Reje Linge ini.
Banyak yang tidak tau baik masyarakat Gayo, VOC dan masyarakat luar Gayo ketika masa itu Ilyas Leube dimasukkan dalam daftar pecarian orang (DPO) sempat berdiam diri di Mesir.
Memang selain Mesir, Ilyas leube juga sempat berada di kampung kelahirannya di Kenawat dan Bom Takengon, namun Mesir merupakan tempat persembunyian Tgk. Ilyas Leube yang paling lama.
Di Mesir jugalah Ilyas Leube,Tengku Abu Bakar Bin Syama’un ,Tgk Hasan Muhammad Di Tiro,Tgk.Daud Ber’ueh dan para pejuang sebelum munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bergabung dan memperjuangkan Aceh dan Gayo saat itu.
Mesir sebagai Singgasana Ulama Gayo
Banyak yang tidak tahu tentang ulama besar yang ada di Gayo.beberapa ulama tersebut ternyata berasal dan berdomisili di Mesir. Beberapa ulama Gayo yang kharismatik tersebut ternyata namanya sangat tersohor di luar Gayo hingga Kuta Raja, Samalanga dan Labuhan Haji. Beberapa tokoh tersebut diantaranyaTengku Mahmud Ibrahim (Awan Kede), Tengku Harun dan Tengku Abu Bakar Syama’un.
Mahmud Ibrahim
Tokoh yang satu ini hingga saat ini masih sangat di kenal luas oleh banyak kalangan. Dengan kecintaanya pada Gayo, ia pernah menjadi sekretaris daerah Aceh Tengah. Birokrat dan juga sejarawan ini berhasil menyelesaikan dan meraih gelar Master of Arts (MA) pada Program Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dengan judul tesisnya Nilai-nilai Pendidikan dalam Adat Istiadat Gayo, tokoh masyarakat Gayo. Kepala Baitul Mal Kabupaten Aceh Tengah ini sangat dihormati oleh masyarakat sebagai ulama dan orang tua masyarakat Gayo.
Abu Bakar Bin Syama’un
Merupakan beberapa tokoh pergerakan masa di DI/TII bersama seorang ulama besar lainnya yang berasal dari Kenawat, Tgk. Ilyas Leube serta tokoh lainya sangat masyhur terdengar di telinga para pejuang jaman penjajahan hingga pada jaman konflik Aceh para pejuang kemerdekaan Aceh separatis GAM.
Beliau merupakan salah satu pencetus ideologi Pemerintahan Aceh (Membangun Demokrasi Aceh jilid 1) bersama dengan Tgk Ilyas Leube, Hasan Muhammad Di Tiro (Hasan Tiro) dan para pejuang pergerakan lainnya.
Abu Bakar Bin Syama’un adalah seorang tokoh yang di kenal oleh masyarakat Bebesen dan masyarakat bagian Danau Lut Tawar. Beliau lahir di Bebesen tahun 1933, aktif dalam pergerakan DI/TII. Bersama Tgk Ilyas Leube pernah diasingkan ke Bireuen dan dihilangkan identitasnya oleh para tokoh PKI masa itu. Hingga sekarang sahabat macan dari Takengon ini (Tgk Ilyas Leube-red) memang tidak pernah menonjolkan dirinya, namun banyak penulis yang memuat tentang dirinya.
Tgk.Harun
Generasi sekarang hampir tidak mengenal tokoh yang satu ini, Tgk Harun adalah tokoh pendidikan di dataran tinggi Gayo. Beliau merupakan salah satu ulama yang memiliki kecerdasan di antara sahabatnya, ia juga pernah menjadi salah satu tokoh yang di segani oleh para MUNA. Allah berkehendak lain, beliau wafat di usia muda, namun walau demikian banyak kontribusi yang dia salurkannya kepada generasi muda Gayo, hingga sekarang masih sedikit literatur tentang beliau, namun putranya, Ihsan Harun kini menjadi akademisi muda yang cukup berpengaruh di Aceh Tengah, khususnya di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Gajah Putih Takengon.
Dimasa sekrang kawasan Mesir sudah terbilang ramai penduduknya terlebih dengan dibangunnya jalan dua jalur masuk kota Takengon. Wakil Bupati Aceh Tengah, Drs. Khairul Asmara juga termasuk sebagai warga Mesir.[]