Monolog Edminus Anderskor “Harus Jadi Presiden”

oleh
Foto Ansar Salihin
Foto Ansar Salihin
Foto Ansar Salihin

Catatan : Ansar Salihin

Pertunjukan teater monolog Edminus Anderskor Harus Jadi Presiden tampil di Gedung Teater Arena Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang Selasa (3/6/2014). Pertunjukan ini merupakan karya/sutradara/aktor Agus Susilo, seorang Penggiat Teater Rumah Mata Medan.

Kegiatan berlangsung atas kerja sama Teater Rumah Mata dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMI) Teater ISI Padangpanjang

Foto : Ansar Salihin
Foto : Ansar Salihin

Monolog Edminus Anderskor Harus Jadi Presiden merupakan pertunjukan teater berangkat dari realita masyarakat yang memiliki hasrat untuk menguasai. Pertunjukan yang dimainkan Agus sangat menegangkan mulai dari awal pertunjukan sampai habis. Aksi yang dimainkan oleh aktor sangat menjiwai peran dalam monolog tersebut, ditambah lagi dengan artistik menggambarkan tempat pembuangan sampah dan tumpukan kursi-kursi bekas.

Seorang pemulung sampah menderita lumpuh bagian kedua kakinya, sehingga dalam kehidupan sehari-hari ia berjalan sambil merangkak menggunakan kekuatan tangannya. Hal itu tidak membuat ia putus asa, dengan kondisi yang demikian ia tetap berusaha sambil merangkak mengumpulkan sampah-sampah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta sang anak.

Sebut saja nama anaknya Minus sekolah dibangku SD, sehari-hari selain sekolah ia bekerja mambantu bapaknya mengumpulkan sampah-sampah. Minus memiliki kekurangan dalam hidupnya sejak lahir tidak dapat berbicara (bisu). Oleh sebab itu ayahnya sangat kecewa terhadap dirinya yang lumpuh dan mempunyai anak bisu. Namun ia selalu berharap kepada minus bercita-cita untuk menjadi presiden.

Cuplikan Monolognya “….Minus tidak bisu…… Minus tidak Bisu…….Minus anak ku orang Hebat….. Minus harus jadi presiden…..”

Kata-kata itu terus diulang-ulang dengan perasaan kesal dan marah sambil memukul kursi dan juga tubuhnya menggunakan kayu dan palu. Meski ia menderita penyakit, akan tetapi keinginannya sangat kuat supaya anaknya suatu hari menjadi presiden di negara ini. Tampa ia sadari anaknya (Minus) tidak mampu berbicara, namun ia tidak dapat menerima kalau minus cacat.

Foto : Ansar Salihin
Foto : Ansar Salihin

Petikan monolognya “…Minus, kehormatan negeri ini ada ditangan kita, kamu harus menjadi presiden Minus. Supaya tidak ada lagi pengusaha menggarap tanah, air dan hutan untuk kepentingannya, agar tidak ada lagi orang kaya menginjak-nginjak orang miskin dan tidak ada seorang ibu menjual diri untuk sekolah anaknya…”. Tapi apalah kenyataanya, Minus dikeluarkan dari sekolah oleh gurunya karena menderita cacat dan disuruh pindah ke sekolah lain. Mendengar kenyataan itu ia sangat marah kepada guru “Anak ku tidak cacat” seharusnya diperlakukan sama dengan siswa yang lain.

Pertunjukan tersebut memberikan pesan moral, dipandang dari sifat seorang ayah, meski ia mengalami penyakit juga anak yang cacat namun mempunyai hasrat dan cita-cita yang tinggi untuk anaknya. Sehingga ia selalu berusaha dengan merangkak untuk sekolah anaknya. Kemudian dari sisi lain memberikan keritikan kepada negeri ini, tidak adanya lagi keadilan yang sebenarnya adil. Orang miskin semakin diinjak-injak oleh orang kaya dan penguasa, tidak ada lagi kepedulian pemimpin kepada masyarakat kecil. Semoga dengan monolog tersebut memberikan kesadaran kepada manusia dengan sebenar-benarnya sadar.[]

*Wartawan LintasGayo.co di Padangpanjang

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.