[Cerpen]
Irama Br Sinaga
Siang itu seorang lelaki muda yang memiliki lesung pipit serta berkulit langsat membawa jualan eceran. Melihat wajahnya lelaki ini masih masih sekolah atau sedang kuliah. Dari kejauhan kami memanggilnya dengan lambaian tangan. Remaja itupun menghampiri.
“Dik, ini apa isinya?”, aku menanyakan bungkusan kecil yang di keranjang jualannya
“Ini mie goreng kak”. Jawabnya cepat
“O, adik ini manis ya he?”. Sambil melihat jualannya aku sedikit merayu
Dia hanya tersenyum, lesung pipitnya seperti lubang sumur membuat senyumannya bertambah manis.
“Dik mie goreng ini rasanya manis ya?”.
“Ah kakak ini”. Dia tersipu malu
“Manis seperti penjualnya”. Ha ha kami tertawa
“Dek, mie ini berapa satu bungkus?”. Tanyaku lagi
“Tiga ribu kak”.
“Mahal kali kok dik, ambil 4 bungkus kami bayar sepuluh ribu ya? Boleh?”, menawar memang jagoannya aku.
“He he boleh lah kak”, sang remaja itu pasrah aja
Kami ambil empat bungkus dan membeli jajan lain, setelah itu sang remaja ini pamitan bentar mau beli air minum diseberang dan menitipkan barang dagangannya.
Aku pun berinisiatif ingin mengetes mental, bisakah aku seperti dia. Aku yang baru aja merasakan bagaimana sebenarnya hidup di tengah-tengah masyarakat militan. Bila kemarin aku menjualkan ide dan sekarang aku ingin menjual makanan. Ide yang kujual tak mampu membeli satu kursi dewan. Mungkin dengan menjual makanan aku mampu membeli mental kehidupan.
Aku bawa jualannya dan teman-teman ku berkata
“Coba sob, berani ngak”, mereka menantangku
“Berani, siapa takut”, jawabku dengan semangat dan membayangkan bagaimana aku mensosialisakan diriku pada masyarakat di kampung.
“Ayo Ra, aku abadikan kerjamu hari ini”, kata Nuni
“Boleh, biar dunia tahu bahwa aku ingin menantang mental ku hari ini”.
“Tah ya tu”. Sahabat ku Lida, sepertinya kurang yakin dengan gayaku
“Semangat Ra, kamu pasti bisa”. Sahabat ku ozi memberikan semangat dan penuh keyakinan bahwa aku bisa menjalaninya. Dalam diam ku berkata “Bila menjadi Calon Legislatif Saja aku bisa mengapa dengan jualan eceran saja aku tak bisa”.
“Ok Ok, sekarang aku mau jalan”. Aku mulai berjalan tak lupa mengucapkan Bismillah, apapun yang terjadi aku harus kuat dan mampu menerima kenyataan.
Aku melihat kiri dan kanan, aku mengintip dimanakah orang yang sedang membutuhkan jajanan ini. Aku mulai melangkah arah barat, kumelihat dua gadis manis sedang duduk santai di bawah pohon rindang dan mereka sedang bercakap-cakap. Sedikit rasa deg-degan dan berusaha menyimpan rasa malu. Aku menghampiri
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam”
“Adik mau beli?”, sembari menyodorkan jualan ku
“Apaan tu kak”.
“Ini ada mie goreng, ada permen, ada telor puyuh dan lain-lain”. Sembari menunjukkan barangnya dan merayu “Adek mau??, inikan sedang duduk-duduk enaknya ngemil kan?”.
“Kami mau mie goreng kak, tapi kami gak ada air”. Jawabnya polos
Ternyata dijualan Remaja tadi tidak ada air mineral, aku berusaha menyakinkan pelanggan supaya mau membeli jualan ku
“Hmm airnya sudah habis pula ni dik, bagaimana kalau permen atau telur puyuh aja”.
“Kalau permen itu berapa kak satu bungkus?”.
Permennya sudah dibungkus kecil-kecil dan isinya ada empat permen. Aku tidak tahu harga permen dan aku jawab
“Seribu dik”.
“Oh, aku beli 2 bungkus kak, kalau telur puyuh berapa kak?”
Semua harga jualannya aku belum tahu hanya mie goreng yang tiga ribu satu bungkus.
“Kalau telur ini Tiga Ribu dek?”. Karena isinya tiga maka dengan yakin aku menjawab Tiga Ribu
“Satu bungkuslah kak”. Gadis itu minta satu bungkus
Mereka memberikan uang besar dan aku tidak punya uang pecah.
“Aduh dek, kakak gak da uang pecah, ada gak uang kecil?”.
“Oh, yaudah pakek uang ini aja”. Kawannya yang satu lagi memberikan uang pas
“Makasih ya dek”. Aku tersenyum bahagia ternyata jualan ku laku juga.
Aku melangkah lagi, saat ingin menghampiri yang lain Remaja itupun kembali dan aku minta maaf
“Dik, minta maaf ya, jualannya kakak bawa tadi”. Aku sadar bahwa tindakan ku itu tidak boleh karena membawa jualan tanpa ijin pemiliknya.
“Ya gak apa kak, makasih udah mau bantu”, jawabnya tersenyum
“Ohya, permenya berapa satu bungkus?”.
“Dua ribu kak”.
“Hah, dua ribu..??”, aku terkejut, dalam hati “Tumpurlah aku”……
“Kalau telur puyuh berapa dik?”.
“Dua ribu kak”.
“Wah, gitu pula”, berarti aku nombok seribu deh…
“Kenapa kak?”, remaja bertanya
“Itulah kakak dik, jualan gak tau harga he”, kami ketawa semua
Sesulit apapun hidup bila kita sering bersadaqah maka Allah tak pernah berhenti memberikan kita rezeki. Dengan sulitnya hidup pahala lebih banyak ketika kita bersadaqah dibandingkan dengan orang kaya yang memberikan sadaqah. Setelah kejadian itu kami pun asik tertawa dan cerita-cerita, tak lupa kejadian ini kami abadikan dan menjadi pengalaman dan kenangan saat masih Remaja.
Terkadang hidup ini harus memiliki mental yang kuat, aku tak pernah berfikir bahwa jualan seperti itu butuh tenaga dan mental serta kesabaran. Mereka berjalan keliling, menelusuri seluruh jalan dan menawarkan jualannya pada siapapun yang mereka lihat.
Malu dan sedih ketika jualan tak laku, namun itulah peroses hidup. Butuh pengorbanan dan perjuangan agar dapat hidup ditengah-tengah masyarakat. Seandainya saja wakil Rakyat merasakan hal itu, bagaimana susahnya untuk makan dan melangsungkan hidup mungkin mereka akan membagikan uang aspirasi kepada yang berhak dan membuka lapangan kerja untuk mereka yang membutuhkan. Bukankah setiap orang mempunyai wakil dipemerintahan yang memperjuangkan hak hidupnya.
Salut ketika aku melihat perjuangan para penjualan eceran yang ada di kota. Mereka siap lahir batin menjalaninya. Tak mengeluh, mereka tetap semangat melangkah meski terik matahari mengintai tubuhnya. Saat hujan melanda mereka tetap merekahkan bibirnya, tersenyum menerima rahmat Allah tak sedikitpun menyalahkan takdir.[SY]
Irama Br Sinaga, lahir di Samardua Singkil pada Tanggal 11 Juli 1991. Mempunyai hoby membaca dan traveling, motto hidupnya La takhof, Innaka Antal a’la (jangan takut, sesungguhnya engkau yang paling unggul).