Salman Yoga S*
Masuknya agama Islam secara bertahap ke tanah Gayo sejak akhir abad ke-11 dan pertengahan abad ke-12, sejumlah muballigh bukan saja berperan dan mengusung misi mulia untuk membumikan rahmatan lil ‘alamin-nya ajaran agama Islam. Tetapi juga merubah kebudayaan yang ada secara perlahan dengan cara bersoasialisasi dan berinteraksi langsung dalam bidang ekonomi dan kepemerintahan. Tidak jarang di antara mubaligh itu ada yang tinggal menetap dan berkeluarga dengan penduduk pribumi.
Metode pengembangan Islam pada masa-masa awal ini para muballigh juga tidak menggunakan dan menerapkan metode dakwah secara menyeluruh, layaknya berdakwah kepada pemeluk fanatik. Mereka memanfaatkan kultur yang ada sebagai bagian untuk memasukkan nilai-nilai Islam dalam sendi-sendi kehidupan sosial dan budaya masyarakat.
Dari itu tidak heran jika pada abad-abad tersebut para ulama yang masuk ke Aceh dan Gayo selain sebagai muballigh juga adalah seniman. Peran sekaligus fungsi ini selanjutnya berlanjut dan dilanjutkan oleh para ulama dan tokoh pribumi, terutama yang muncul pada abad ke-18, abab ke-19 dan seterusnya. Sebagain kecil dari sejumlah nama yang dapat disebut di antaranya adalah Abdurahman Daudy alias Mude Kala, Tgk Yahya, Banta Aman Faridah, Tgk. M. Ali Asni serta masih banyak lagi.
Tgk. M. Ali Asni adalah seorang ulama yang bersahaja, rendah hati dan dikenal oleh banyak kalangan. Selain sebagai seorang ulama kharismatik, ia juga adalah seorang guru pendidikan formal dan non formal. Lebih dari itu Tgk. M. Ali Asni yang akrap dipanggil dengan nama Tgk. Ali Aman Enun ini adalah seorang seniman dengan karya dalam bentuk syair Gayo dan nyanyian/lagu-lagu Gayo yang masih populer hingga saat ini.
Ia lahir di Kampung Asir Asir Atas Kecamatan Lut Tawar, sebuah kampung tua yang berbatasan langsung dengan sungai Pesangan yang berhulu di Danau Lut Tawar, gunung (bur) Gerunte dan gunung (bur) Utem Siku pada Tanggal 31 Desember 1929. Ibunya bernama Aisyah dari keturunan Kayani yang masih berkaitan dengan rumpun keluarga besar Reje Meluem alias Empu Numak. Ayahnya bernama Insan bin Burhanuddin yang biasa dipanggil dengan sebutan Tgk. Cemuk, sebuah nama yang melekat menjadi nama sebuah gunung (bur) yang membentengi Kampung Asir Asir bagian selatan dengan nama Rukah bur Cemuk.
Tgk. Ali Asni Aman Enun merupakan anak ke- dua dari enam bersaudara. Di antara saudara kandungnya itu adalah Sairah, Zainab, Asiyah, Safwan S.Pd dan Nur Cahya yang kesemuanya sudah almarhum dan almarhumah.
Selain mendapatkan pendidikan non formal melalui keluarga dan ayahnya Insan, Tgk. M. Ali Asni juga menempuh dan mendapat pengajaran melalui pendidikan formal. Riwayat pendidikan yang ia tempuh mulai dari Sekolah Rakyat Islam (SRI), lalu melanjutkan ke Pesantren Tanah Merah Matang Gelumpang Dua. Selesai di Pesantern tanah Merah Tgk. Ali Asli kemudian melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Islam (SMI). Pendidikan terakhirnya diselesaaikan di Pendidikan Guru Agama (PGA).
Dengan bekal ilmu yang didapat setelah selesai sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) maka Tgk. Ali Asni langsung mengamal-baktikan ilmunya dengan mengajar di Sekolah Rakyat Islam (SRI) yang terletak di Kampung Bum Takengon. Tahun 1958 ia kemudian dimutasikan mengajar di almamaternya di sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) Kampung Belangkolak Dua, sampai akhirnya menjabat sebagai Kepala Sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) No. I Bum hingga pensiun.
Di antara sahabat dan teman akrap Tgk. M. Ali Asni saat masa kanak, sekolah dan hingga usia senjanya adalah Tgk. Abu Bakar Bangkit, Tgk. H. M. Ali Jadun, H. Banta Syam Asry, Tgk. H. Abubakar Mahmude, Tgk. H. Ali Sarwani, Tgk. Abdussalam dan lain-lain.
Pada tahun 1951 Tgk. M. Ali Asni menikahi seorang gadis idamannya asal Kampung Tan Saril yang bernama Siti Aisyah. Dari pernikahan ini ia dikarunia tujuh orang anak, tiga di antaranya perempuan dan empat laki-laki. Masing-masing anaknya adalah Ainal Mardiyah S.Pd, Umar Ali, Ainidar Ali, BA, Hairun Nasir, Ir. Wen Jamal, Rahmah dan Abdullah Ali, SE.
Tgk. M. Ali Asni selain sebagai seorang guru dalam lembaga pendidikan formal, ia juga adalah seorang guru sekaligus ustadz di tengah masyarakat. Ia mengusai dua bahasa asing sekaligus Arab dan Inggris. Kemampuan bahasa Arab-nya ia dapatkan dalam pendidikan pesantren, sementara kemampuannya dalam bahasa Inggris ia peroleh secara otodidak. Dari kemampuan ini Tgk. M. Ali Asni dalam pendidikan formal mengajar hampir semua mata pelajaran. Mulai dari ilmu matematika, bahasa Arab-Inggris, seni lukis dan kaligrafi, seni suara hingga mata pelajaran Aqidah-Akhlak, ilmu Fiqih, Al-Qur’an dan Hadist.
Profesinya sebagai guru tidak hanya di sekolah, ia bahkan tetap mengajar pengajian di masjid, mersah desa Asir-asir pasca pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil. Kegiatan ini terus belangsung selama beberapa tahun hingga kesehatannya sudah tidak memungkinkan. Dalam kondisi fisik dan kesehatannya yang menurun, ia juga tetap mengajar di rumah. Masyarakat dan para murid-muridnya yang datang ia beri petuah dan ceramah-ceramah mencerdaskan, meski disampaikan sambil berbaring dari tempat tidurnya. Aktivitasnya ini berlangsung sampai akhir hayatnya.
Murid-muridnyapun sangat variatif, mulai dari anak-anak, beru-bujang, kaum ibu juga bapak-bapak. Dari yang putus sekolah sampai yang sudah sarjana.
Dalam kehidupan sosial ia tidak hanya dikenal sebagai ulama dan guru, tapi juga dikenal sebagai seorang seniman multi kemampuan. Baik seni lukis dalam bidang seni khat-kaligrafi, syaer serta lagu-lagu yang syarat dengan makna. Keseluruhan dari karya-karyanya mempunyai asbabun nujul tersendiri, dengan muatan nilai humanisme, romantis, filosofis adat budaya Gayo, kritik sosial-politik dan tentu nilai-nilai ke-Islam-an. Hingga zaman modren ini sebagian besar dari lagu-lagu ciptaan Tgk. M. Ali Asni masih digemari oleh masyarakat. Sebagiannya lagi telah dialbumkan dalam bentuk kaset tape, compac dist serta fail digital. Beberapa karyannya dijadikan sebagai latar pengiring tarian Gayo dan sebagiannya lagi telah di-arensemen oleh (Alm) AR. Moese dalam beberapa album.
Sejumlah seniman Gayo yang juga pernah menjadi anak didik dan mempopulerkan lagu-lagu Tgk. M. Ali Asni adalah Sri Murni, Mahlil, Ceh Ali Yacob Arias (Alm), Ramlah dan Sakdiyah. Selain kelima nama tersebut masih banyak seniman Gayo lainnya yang pada fase berikutnya turut mewarnai kesenian Gayo. Di antaranya adalah Ibrahim Bencek yang sejak tahun 1970-an telah berperan mendokumentasikan musik gambus Gayo dalam bentuk album kaset vita, yang menjadi cikal bakal dan berkembangnya seni musik Gayo modren.
Dalam dokumentasi penulis setidaknya ada delapan belas judul lagu berikut syair-syairnya, meski tanpa partitur. Selebihnya masih tersimpan dalam bentuk catatan dan tulisan tangan asli Tgk. M. Ali Asni yang disimpan oleh putri sulungnya Ainal Mardiyah S.Pd, Inen Lena yang menetap di Banda Aceh, sebagiannya lagi dikoleksi oleh para mantan murid-muridnya. Di antara judul lagu ciptaannya adalah “Cincimpala”, “Lut Tawar”, “Pesangan”, “Kemaro”, “Munoling (Raom Ilang)”, “Ampa Layang”, “Uyem”, “Bur Lintang”, “Kesume”, “Tajuk Enang Enang”, “Atas Lao Timang”, “Maulid Nabi”, “Bunge Jerang Belanga”, “Masyumi”, “Renggali”, “Parmusi”, “Ka’bah”.
Sebagai ulama Tgk. M. Ali Asni berdakwah bukan saja melalui lisan dan tutur katanya yang lembut, penuh metafor, filsafat Gayo dan analogi-analogi kisah yang menyentuh. Tetapi juga berdakwah dengan hal (amal) dan hikmah yang dilakukan dalam kehidupan kesehariannya. Dialah salah seorang ulama Gayo yang santun, yang membantah sekaligus menolak sesuatu faham yang bertentangan dengan keimanan dan ajaran Islam tidak dengan tak tulen teridah usi.
Untuk menyampaikan kebenaran dan menyatakan kebenaran tentang suatu amaliah, syariah, aqidah bahkan terkait khilafiah ia selalu menganalogikan dengan sesuatu yang dapat dicerna, yang bagi kalangan tertentu tidak dapat difahami dalam waktu seketika. Tidak jarang para jamaah, murid bahkan kolega dan sahabatnya baru menyadari makna dan maksud yang disampaikan Tgk. M. Ali Asni ketika sudah berselang hari atau bahkan minggu.
Inilah karakteristik kepribadian Tgk. M. Ali Asni yang melekat dan terus hidup dalam alam pikiran murid-muridnya. Nilai humanis dan estetikanya dalam memberi nasehat, ceramah dan petuah seperti sebuah lukisan yang terpahat dipermukaan batu. Prof. Dr. H. Al-yasa’ Abu Bakar, MA dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry beberapa tahun silam, menyampaikan sambutan dan kenangan khususnya kepada Tgk. M. Ali Asni, meski sang guru saat itu sudah almarhum.
Tgk. M. Ali Asni yang dalam hidupnya pernah menjabat sebagai Imem Kampung selama beberapa priode, dan belum sempat menunaikan ibadah haji ini adalah orang yang sangat getol memurnikan ajaran Islam di seputaran kota Takengon, terutama di Kampung Asir Asir. Ia menentang segala bentuk khurafat dan segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam tanpa membuat mad’u-nya tersinggung. Dakwah bil-hikmah yang ia lakukan adalah bagian dari hidupnya dan berlangsung sepanjang hayatnya.
Inilah dedikasi dan karakter khas Tgk. M. Ali Asni yang rendah hati, humanis dan seniman tulen itu. Sepanjang hidupnya tidak pernah mengenakan pakaian lebih dari satu warna. Putih, ya putih. Itulah warna satu-satunya yang melekat pada badannya dengan jenis dan merek pakaian apapun. Persis seperti tiga helai kain kafan yang menyelimutinya ketika disemayamkan di perkuburan umum Uning Kirip Asir Asir pada pertengahan bulan Mei tahun 2006 silam. Allahumagfirlahu, warhamhu, wa’afihi wa’fuanhu.
* Mantan murid dan tetangga (Alm) Tgk. M. Ali Asni.
Disarikan dari naskah panjang (draf) buku “Ensiklopedi Ulama Gayo” The Gayo Institute (TGI) Takengon. Tulisan ini telah diterbitkan di tabloid LintasGAYO edisi 9 (22 Mei 2014).