Ziarah Mistis Menjelang Pesta Demokrasi

oleh

[Cerpen]

Irama Br Sinaga

Akhir Maret, menjelang pesta demokrasi aku sering merasa aneh. Perjalanan menuju tempat kelahiran aku menemukan tiga binatang. Pertama menjumpai ular, kedua kala jengking dan ketiga aku menemukan kucing mati. Awalnya aku tak pernah berfikir akan hal itu, saat kukatakan pada kawan ia menyarankan agar lebih berhati-hati.

Perjalanan kami sangat jauh, butuh waktu lima jam untuk tiba ditujuan. Suara Robin (perahu mesin) dan percikan air mengingatkan ku 19 tahun yang lalu. Robin yang muatan 20 orang diarahkan oleh Abangku yang nomor empat. Dia memang tidak sepintar BJ.Habibie namun bila di kampung ada pesawat maka dia mampu mengendarai. Salut dan takjubku melihat abang yang satu ini, tak pintar membaca, tak pandai menulis, namun dia punya skill yang luar biasa.

Hari ini adalah hari yang direncanakan Ayah untuk berziarah ke kuburan nenek dan kakek. Samardua adalah tanah kelahiranku, enam tahun aku hidup disana dan telah kutinggalkan selama 19 tahun. Kini tinggal hutan belantara. Sesampai di kuburan kakek dan nenek dari Ayah, kami membersihkan kuburan dan membaca surah Yasin.

Setelah itu kami pun beranjak ke Teluk. Teluk adalah sebuah kampung yang didiami ratusan kepala keluarga, Kampung Teluk jauh dari perkotaan butuh 3 jam naik Robin dan 2 jam lewat darat baru tiba ke kota. Kehidupan masyarakat seperti desa-desa lain, mereka bertani, nelayan dan usaha kayu. Kampung Teluk ini dikelilingi sungai yang lebar dan dalam. Selain jauh dari kota listrik pun tidak ada, mereka hidup dengan adat dan persaudaraan yang kental. Kampungnya juga memiliki aparatur desa dan aturan-aturan.

Pada zaman dahulu Kampung Teluk ini sangat ramai dan damai. Namun Teluk akan mengalami banjir ketika hujan turun hingga tiga hari. Pada tahun 1995 penduduk Teluk berpindah ke dataran yang lebih tinggi dan mereka mencari kehidupan baru. Sedikit demi sedikit penduduknya pun tinggal beberapa lagi sehingga pada tahun 2004 saat Tsunami di Aceh mereka semua pindah ke gunung karena tanah Teluk retak dan sungai semakin lebar.

Di sana kami juga ziarah di kuburan Nenek dari Umak. Sesampai di kuburan Nenek aku takjub karena kuburannya bersih dan mudah ditemukan, tidak seperti kuburan Kakek kami harus mencari yang sudah dikelilingi pohon tinggi. Kami bersihkan kuburan Nenek dengan semangat aku mencium batu nisannya, aku rindukan sosok Nenek. Nenek meninggal dunia saat umak berusia sembilan tahun. Aku tak mengenal wajahnya sama sekali kata orang-orang Nenek mirip Umak-ku.

Tak sengaja, aku membaca batu nisan yang bertulisan Arab Melayu. Aku menanyakan pada Umak

“Mak, nama Adong (Nenek) siapa?”.

“Kenapa?”, Umak enggan menyebutkan nama ibunya.

Gak da, ini saya baca namanya Maryam”. Dulu aku pernah mendengar nama Adong tapi bukan Maryam.

“Hah, yang benar?”, Umak terkejut

“Iya Mak, ini tulisan Arab Melayu, namanya Maryam”, Jawabku menyakinkan Umak

“Kalau begitu ini bukan kuburan Adong mu”, jawab Umak bingung

“Jadi..”, aku heran

“Tapi ngak mungkin kita salah kubur, memang nama Adong mu bukan Maryam tapi  ini kuburan Adong mu, waktu ziarah kemarin kami disini juga”.

Sewindu lalu keluarga berziarah ke kuburan Adong namun pada saat itu aku sedang menuntut ilmu di daerah orang.

“Jadi siapa nama Adong mak tapi ini namanya Maryam?”.

“Nama Adong mu Umi Kalsum”, jawabnya cepat

“Berarti kita salah kubur donk Mak”, jawab abang. Dia juga belum pernah ikut ziarah

“Kalau begitu kita cari kuburan Adong”, jawabku cepat

Setelah lama mencari akhirnya kutemukan batu nisan yang terbuat dari semen bertuliskan nama Umi Kalsum Binti Usman. Abang langsung berkata

Tenang ko dong, bekhsih ku wain kubukh mu en, enda odak ne salah en, nata tekhuk kubukh na dos bage umak tekhuk na, untung lot kempu mu sekolah di Akhab, mula odak kin ia ikut dong, kubukhen kalak kami bekhsihi menekhus, aitah adong en kasakin odak doken mu bangku en kubukh mu (Tenang Nek, kuburanmu kubersihkan, ini ngak salah lagi, sebab kuburannya pendek persis seperti Umak, untung ada cucumu sekolah di Arab Nek, kalau dia tidak ikut, kuburan orang yang terus menerus kami bersihkan, kenapa Nenek ngak bilang samaku kalau ini kuburan Nenek)”, mengoceh sambil membersihkan kuburan Nenek.

Yah untung mo si Rama, mula odak lalam kita, kubukhen kalak bekhsih, kubukh  Adong mu mekhikap (Yah untunglah si Rama, kalau ngak kita nyasar, kuburan orang bersih, kuburan nenek mu kotor)”, jawab Bibik adik Ayah

Imo penting na sekolah, asa dibetoh khatana, kona khoh hangke mu sekolah khuni (Itulah pentingnya sekolah, biar tau semua, dulu kamu malas sekolah)”, Paman menegaskan pada abang bahwa sekolah itu penting

Khoh hangke ku getuk gukhu buncit ku, bekhnit da membekhu, ise no sekel i (Malas aku, di cubit guru buncit ku, sakit paman, siapa mau tu)”, jawab abang menyalahkan gurunya yang dulu pernah mencubit buncitnya

Saking jahat mu ngi (karena kamu bandel tu)”, jawab paman sambil tertawa

Abang memang bandel sehingga Sekolah Dasar pun tidak tamat. Aku hanya tersenyum dengan kejadian ini, aku ikut membersihkan kuburan Nenek. Setelah itu kami juga mengirimkan doa.

Setelah berziarah, kami sempatkan bersilaturahim ke sebuah gubuk yang didiami oleh seorang laki-laki tua. Lelaki tua itu dulu sering disapa Pi’i, dia lebih memilih tinggal di Teluk dari pada pindah ke gunung. lelaki tua ini tinggal sebatang kara, dia hidup ditengah-tengah hutan belantara. Tak sedikitpun rasa takut dan ngeri dengan keadaan. Jauh dari perkotaan dan hidup sendirian bersama seekor anjing putih bersih dan berbulu tebal.

Istrinya telah meninggal dunia dan memiliki 2 orang anak dan anaknya lebih memilih hidup di gunung daripada dengan ayahnya, sekali-kali anaknya menjenguk dan mengantarkan makanan.

Lelaki tua itu tidak punya skil pekerjaan lain selain mengambil ikan sehingga dia lebih memilih hidup di Teluk dari pada di gunung. Rumahya kecil dan tidak memiliki tenda yang kuat, jika petani maka itu dinamakan gubuk tempat persinggahan ketika lelah namun lelaki tua itu hidup dan bertahan dengan keadaan rumahnya yang sangat memperhatinkan.

Lelaki tua ini memiliki perahu kecil tanpa mesin, ketika dia punya ikan, dia pergi ke kota untuk menjual ikan-ikannya. Pekerjaannya yang membuat dia tetap bertahan dan saat kami mampir kerumahnya, kami melihat di pekarangannya ada beberapa bibit pohon sawit. Saat itu Ayah menyapa “Kune Kabakh mu senina (Bagaimana kabar mu saudaraku)?”, Kakek ini adalah teman Ayah dulu saat kami tinggal di Teluk.

Sehat mang en, dike nai ke (sehat juga ne, darimana kalian)?”.
Kami jakhah dai, lot mang ikan (Kami ziarah tadi, ada juga ikan)?”

Oh, mula sekel ke ikan, tulusi ke wak jakhing ade, makden ku amet waren (Oh, kalau kalian mau ikan, cari dijaring itu, hari ini belum aku ambil)”. Kakek itu menyuruh kami mengambil ikan yang masih berada di jaring, karena cuaca tidak mendukung maka kami pamit dan tak lupa mengabadikan pertemuan itu.

Perjalanan pulang aku sangat memanfaatkan suasana dengan mengabadikan pemandangan alam yang begitu indah diciptakan Allah. Karena berlawanan arah Robin berdayun lambat, kali ini Robin diarahkan Ayah. Makan adalah pekerjaan yang sangat asik saat perjalanan itu. Aku berkeinginan jika terpilih menjadi Anggota Legislatif maka aku akan bersihkan kuburan masyarakat tanah kelahiranku dan membantu lelaki tua teman sejawat Ayahku. [SY]

Irama Br Sinaga, lahir di  Samardua Singkil pada Tanggal 11 Juli 1991. Mempunyai hoby membaca dan traveling, motto hidupnya  La takhof, Innaka Antal a’la (jangan takut, sesungguhnya engkau yang paling unggul).

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.