
Takengon-LintasGayo.co : Ketua Majlis Adat Aceh, H. Badruzzaman, SH, M.Hum mengingatkan jika perbedaan suku bangsa itu adalah rahmat Allah SWT bagi manusia, termasuk keberagaman suku di Provinsi Aceh.
Pernyataan ini diutarakan dalam sosialisasi pelestarian adat oleh MAA dihadapan masyarakat kampung Kalang atau Rawe Timur Kecamatan Lut Tawar Aceh Tengah, Rabu 14 Mei 2014 lalu.
“Perbedaan itu rahmat seperti halnya di Aceh, dan mesti bersama-sama berjuang untuk meningkatkan harkat martabat kita orang-orang yang ada di Aceh baik di pesisir, Alas, Gayo dan lain-lain. Adat masing-masing adalah sunnatullah yang mempersatukan kita untuk membangun silaturrahmi, lita’arafu,” kata Ketua MAA.
Contoh kerjasama dan saling ketergantungan dicontohkan di Aceh Tengah ada kentang dan sebaliknya dari pesisir ada ikan laut. Mesti saling bekerjasama untuk hidup. “Perbedaan, termasuk bahasa adalah kekayaan yang diberikan Allah kepada kita,” ujarnya.
Ketua MAA sejak 2013 ini juga menegaskan salah satu kunci kemajuan suatu bangsa adalah seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat Al A’raf ayat 10, “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur”.
“Bangsa lain non muslim yang malah berpedoman pada Al Qur’an dalam membangun bangsanya, dan mereka berhasil. Aceh Tengah dan juga bagian dari Indonesia lainnya adalah negeri yang subur, semua tumbuh, alamnya indah. Namun kita seperti tidak menyadari yang diberikan Allah tersebut,” ujar pengagum kekayaan alam dan budaya Gayo ini.
Dia mengajak warga Gayo untuk menggali kembali simbul-simbul adat yang salahsatu tujuannya adalah untuk meningkatkan ekonomi dari sektor budaya dan wisata.
Lebih jauh dikatakan, jalan masuk untuk mengawal pembangunan adalah dengan mengoptimalkan fungsi adat istiadat pusaka nenek moyang telah disadari oleh Negara yang dituangkan dalam UUD 1945 pasal 18b ayat 2 yang menyatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
“Mari bersama-sama untuk mencari tau kembali sejarah, adat istiadat dan budaya dan beritahukan kepada anak cucu agar mereka mewarisinya,” ajak Badruzzaman.
Negara-negara maju, diungkapkan Badruzzaman, ternyata membangun bangsanya atas dasar pilar adat budayanya sendiri. “Kita bangsa yang suka meniru, padahal modal adat budaya kita sangat kuat untuk membangun bangsa ini jauh lebih baik,” kata dia.
Potensi lokal Gayo harus di gali lagi dan dikembangkan, tentu dengan kemasan yang dimoderenisasi atau distandarkan agar menarik perhatian orang luar.
Contohnya, kata Badruzzaman, penganan khas Gayo seperti gegaluh, lepat, temping, dan lain-lain mesti dimoderenisasi dengan kemasan yang menarik dan beri informasi yang jelas diluar kemasannya.
Langkah selanjutnya menurut dia, adalah promosi. “Saya turut bangga promosi kopi Gayo sudah sangat luar biasa akhir-akhir ini, Kopi Gayo sudah mendunia yang tentu diikuti dengan peningkatan ekonomi masyarakat.
“Hari ini adalah masa lalu sudah hancur. Mari kita tata kembali kedepannya. Khususnya soal adat istiadat dan budaya, termasuk dalam kaitannya dengan persoalan lingkungan,” katanya.
Terkait kearifan lokal tentang pelestarian hutan, dia menyindir kepintaran orang sekarang yang diibaratkan dengan istilah “jual sapi beli engkong”.
“Entah kita sekarang sudah sangat pintar sehingga seperti jual sapi beli monyet dalam mengurus hutan,” kata dia.
Dulu, ungkap Badruzzaman, ada Pang Uten dan masyarakat patuh atas segala aturan yang dibuat dalam melestarikan hutan. “Ada aturan yang jelas dalam mengambil kekayaan hutan, namun sekarang jikapun ada aturan dilanggar,” ujar Ketua MAA Badruzzaman. (Kha A Zaghlul)