Dahaga Gayo *
Tuk: Salman Yoga S
Kau ketuk pintu-pintu purba
Terbuka hamparan kopi
Berkah dataran tinggi Gayo
Seperti berkah Tuhan yang meleleh dari kepala ke janggut
Muhammad Aman Gayo,
Kau memetik satu biji kopi dari ribuan bahkan berhektar
Kopi menghijau
Karena seperti yang kau yakini dalam hitamnya
Ada candu kenikmatan
Sebiji kopi yang kau petik tadi
Kau jemur di telapak tangan kananmu
Menopang matahari
Kopi tak perlu gonseng
Kopi tak perlu dilebur
Telah halus siap disedu
Cuma sebiji kopi, tapi harumnya telah jadi candu
Siap diseruput
Sekarang … sesudah kopi dari sebiji kopi Gayo
Mengepul dari sebuah sendok
Pada langit Jakarta malam itu
Disebuah caffe besar dengan ratusan pengunjung
Aku terkesima ketika semua penghuni caffe
Membaui aroma itu
Udara telah berbau kopi
Orang-orang beringsek ingin benar merasakan candumu
Mereka dahaga, histeris !
Juga aku !
Sesendok kopi dari biji kopimu
Masih terus mengepul
Orang-orang masih terus dahaga
Orang-orang masih terus histeris
Aroma kopi telah memerdekakan waktu
Mengalahkan berbagai aroma farpum mahal
Di etalase-etalasi elit
Aku tarik lenganmu dari kerumunan pengunjung caffe
Aku hanya menginginkan seseduh kopi dalam sendok itu
Hanya milikku
Kamu tidak menatapku
Tanganmu masih kau tancapkan ke udara
Menjaga kepulan kopimu dalam sendok itu
Aku merajuk dan terus merajuk
Laksana Reje mude yang terperangkap dalam pesona
Hikmatnya kopi gadis santun Aminah
Kau Aminah sekaraang
Akhirnya kau menatapku
Matamu mengisahkan peristiwa Juli 1994
Tidak hanya Aman Gayo
Ada juga kisah Win Gayoni Tegerdi
Juga kisah sebuah kota kecil seperti tai lalat
Didong bidadari jelita
GAM dan TNI
Sudah selesaikah kisahmu ?
Kau mengangguk
“ini kopi terbaik yang kau miliki, cuma sebiji ?”
Kau mengangguk lebih pas
Harapan agar akupun cuma boleh menghirup aromanya
Janganlah diteguk
Tapi aku tak peduli
Aku bahkan terus merajuk
Akhirnya tak ada pilihan lain
Kau ketuk pintu-pintu masa kini
Belukar-belukar
Dan hutanmu
Menghampar hutan-hutan kopi
Berkah dahaga dataran tinggi Gayo
Seperti berkah Tuhan yang meleleh disetiap sudut jalan Takengon
Kucoba mengulum kota itu
Seperti Aman Gayo
Siapa tau bisa melupakan sesendok kopi dari sebiji kopimu
Sesendok kopi dari biji kopi
Seduhanmu penyatu nafas
Terakhir dari hutan-hutan kopimu
Aku pun nestapa !
Jakarta, 19-21 Maret 2014
- Naskah asli puisi esai ini adalah tulis tangan Mezra E. Pellondou di atas kertas bloknot sebanyak tujuh halaman, terinspirasi dari interaksi dengan penyair asal Kota Takengon dan puisi esai “Panglima Muda dan Kopi Ganja”.

Mezra E. Pellondo adalah penyair nasional asal Kota Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT), lahir pada tanggal 21 Oktober 1969. Selain sebagai seorang tenaga pendidik di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Kupang juga dosen di Universitas PGRI Kupang. Dalam kesehariannya Mezra E. Pellondou adalah penyair perempuan penting Nusa Tenggara Timur (NTT) yang produktif sebagai penulis puisi. Sejumlah karyanya terangkum dalam puluhan buku antologi puisi bersama dan sejumlah jurnal terbitan pusat dan daerah. Ia juga adalah bagian dari penyair perempuan yang dimiliki Indonesia.