Paya Ilang yang Hilang

oleh

Oleh : Munawardi

“….bango paya ilang gere ne mu umah…, nge meh cabang… kusi die musilu….”

Bangunan Terminal Terpadu di tengah bekas kawasan ekosistem Paya Ilang (LG.co | Muna)
Bangunan Terminal Terpadu di tengah bekas kawasan ekosistem Paya Ilang (LG.co | Muna)

Demikian sepenggal alunan bait syair dalam sebuah lagu Gayo, dilantunkan oleh seorang vokalis lagu Gayo terkenal Kandar. SA dalam album Tanoh Gayo oleh group musik Gayo legendaris, Saba Group.

Sebuah kawasan lahan basah berupa hamparan rawa air tawar yang terletak disebelah barat laut kota Takengon, membentang dari timur ke barat tepatnya dari kampung Kemili hingga Kampung Tan Saril, memisahkan Kampung Blang Kolak Dua dengan Kampung Lemah Burbana, nama Paya Ilang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Takengon, Aceh Tengah.

Sekira puluhan hektar luasnya, Paya Ilang dikenal sebagai kawasan yang memiliki ciri khas dengan flora dan faunanya, terdapat banyak jenis burung, reptil, ikan dan aneka ragam jenis tumbuhan.

Beberapa jenis tumbuhan yang terdapat dikawasan ini ada dimanfaatkan masyarakat sekitar kawasan untuk berbagai keperluan, diantaranya untuk keperluan pertanian, peternakan, kerajinan tangan, perlengkapan rumah tangga dan masih banyak lagi kebutuhan lain yang memanfaatkan tumbuhan yang hidup di kawasan Paya Ilang ini sebagai bahan baku. Begitu juga dengan hewannya, banyak jenis ikan dan burung terdapat di ekosistem ini.

Sebagai sebuah ekosistem lahan basah, Paya Ilang berperan sangat penting untuk menjaga keseimbangan lingkungan hidup.

Paya Ilang sebagai daerah resapan air, demikian mungkin kalangan ekolog menyebut salah satu fungsi ekologis sebuah ekosistem lahan basah seperti ini. Peran ini sangat penting bagi keseimbangan lingkungan hidup, karena Paya Ilang sebagai salah satu sumber air, memiliki banyak fungsi bagi kehidupan makhluk disekitarnya.

Secara tofografi Paya Ilang berada pada daerah cekungan, sebagai muara alur-alur air dari daerah sekeliling yang merupakan pemukiman, lahan pertanian dan sawah. Paya Ilang dulunya sebagai sumber air bagi beberapa daerah persawahan di bagian sebelah timur yaitu di Kampung Kemili dan sekitarnya, juga sebelah baratnya di Kampung Tan Saril.

Konon pada masa penjajahan Belanda, Paya Ilang pernah dijadikan sebagai reservoir besar yang berfungsi sebagai penyedia air bagi persawahan masyarakat yang tersebar luas di wilayah Takengon tepatnya dikawasan Kemili dan kawasan Terminal Kota Takengon, yang kini sudah berubah menjelma menjadi pemukiman dan perkotaan.

Mungkin melihat pentingnya fungsi Paya Ilang sebagai sumber air untuk persawahan masyarakat, pada masa itu pemerintah Belanda sempat menunjuk petugas yang khusus menjaga kawasan outlet (saluran keluar) Paya Ilang dibagian sebelah timur yang kemudian dikenal dengan sebutan Pengulu Kemili.

Peran Paya Ilang sebagai kawasan penyangga (zona buffer) terhadap ekosistem lainnya terutama ekosistem Danau Lut Tawar juga sangat penting artinya.

Ketika volume air didaratan meningkat, khususnya pada saat musim penghujan maka yang berperan menampung dan menyimpan genangan air akibat limpasan air hujan tersebut adalah kawasan lahan basah atau rawa yang tersebar di sekeliling kawasan Danau Lut Tawar, termasuk Paya Ilang, Paya Tumpi, Paya Reje dan daerah rawa lainnya yang terlebih dahulu menahan volume air permukaan sebelum akhirnya bermuara ke Danau Lut Tawar.

Sehingga dengan demikian kawasan rawa ini ibarat sebuah bak tampung sementara berisi spons yang berfungsi memfilter dan sebagai regulating weir untuk mengatur jumlah volume air masuk ke danau.

Sangat wajarlah jika pada sekarang ini kualitas air danau Lut Tawar lebih buruk dibandingkan dengan dulunya, karena tidak adalagi penyaring air permukaan yang masuk ke Danau Lut Tawar.

Indikasi tingginya laju sedimentasi di perairan Danau Lut Tawar sehingga mengakibatkan terjadinya pendangkalan dan penurunan kualitas air, dan juga pencemaran sudah tampak nyata di perairan Danau Lut Tawar walaupun belum tergolong tercemar berat, demikian pengakuan beberapa kalangan pemerhat lingkungan perairan Danau Lut Tawar.

Beberapa ahli lingkungan mengatakan, bahwa laju sedimentasi diperairan sangat erat kaitannya dengan proses erosi dan keterbukaan lahan dikawasan hulu, sehingga ketika musim penghujan tiba, material tanah dan serasah berikut sampah pada lahan yang terbuka akan terbawa oleh air hujan menuju badan perairan seperti Danau Lut Tawar. Peristiwa ini terjadi terus menerus sehingga tanpa disadari badan perairan semakin padat, menyempit dan dangkal sehingga tidak mampu lagi menampung genangan air akibat hujan, akhirnya mengakibatkan banjir dan luapan air ke daratan bahkan merendam kawasan pemukiman, yang biasa disebut oleh masyarakat sekitar dengan istilah “Lemo” atau “Nyang Lemo”.

Paya Ilang kini dengan fasilitas bangunan permanen di tengahnya. (LG.co | Muna)
Paya Ilang kini dengan fasilitas bangunan permanen di tengahnya. (LG.co | Muna)

Kembali kita ke ekosistem Paya Ilang, yang keberadaannya kini telah sirna ditelan kemarukan zaman dan keserakahan masa, seharusnya kita malu kapada bangsa Belanda, kaum penjajah dan kafir seperti mereka saja masih memiliki rasa peduli akan pentingnya fungsi ekologis dan hidrologis Paya Ilang, toh kenapa kita sekarang tidak memperdulikan itu, padahal Islam sangat menekankan dan mengajarkan perlunya menjaga keseimbangan lingkungan hidup.

Sebuah konvensi Internasional yang dinamai Konvensi Ramsar,  merupakan perjanjian Internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan. Nama resmi konvensi ini adalah The Convention on Wetlands of International Importance, especially as Waterfowl Habitat. Konvensi Ramsar disusun dan disetujui negara-negara peserta sidang termasuk Indonesia sebagai anggotanya, di Ramsar, Iran pada tanggal 2 Februari 1971 dan mulai berlaku 21 Desember 1975.

Di Indonesia hasil Konvensi Ramsar telah diratifikasi pemerintah Indonesia pada tahun 1991 melalui Keputusan Presiden RI No. 48 tahun 1991, sebagai dasar hukum pelaksanaan konservasi terhadap lahan basah yang masuk kedalam daftar situs konservasi Ramsar tersebut.

Adapun situs lahan basah di Indonesia yang termasuk situs konservasi konvensi Ramsar adalah ekosistem Taman Nasional Danau Sentarum di Kalimantan dan Taman Nasional Wasur di Papua.

Begitu pentingya peran lahan basah terhadap kehidupan, sehingga banyak pihak ingin melindungi ekosistem tersebut untuk kelangsungan lingkungan hidup manusia dan alam sekitarnya, sehingga negara pun membuat aturan tentang pentingnya menjaga ekosistem lahan basah.

Paya Ilang memang tidak termasuk kedalam daftar situs Ramsar, namun setidaknya masyarakat sadar akan fungsi ekologisnya, labih khusus lagi pemerintah yang memiliki wewenang untuk mengelola lingkungan hidup secara berkelanjutan dan lestari.

Bagaimana kondisi Paya Ilang sekarang, sebuah pertanyaan yang tidak bisa dijawab ketika yang dimaksudkan dengan Paya Ilang dengan fungsi alaminya, bukan yang dimaksud dengan alih fungsinya menjadi areal pemukiman, terminal dan pasar.

Pembangunan dan pengembangan kota memang kebutuhan yang sangat mendesak dan sangat perlu dilakukan, namun alangkah bijaknya kita selaku khalifah dimuka bumi ini tidak mengesampingkan fungsi lingkungan hidup akan tetapi turut memeliharanya dari kerusakan.

Melihat ekosistem Paya Ilang tempo dulu adalah melihat sebuah dinamika jejaring kehidupan yang tidak kalah hebatnya dari tayangan acara kehidupan alam liar di saluran media national geographic.

Sebagai habitat berbagai jenis biota, baik jenis tumbuhan maupun hewan. Masyarakat Takengon dan Aceh Tengah umumnya tentu ingat dengan sebutan “Bango Paya Ilang”, “Pelu Paya Ilang” atau “Kertan Paya Ilang” dan sebutan lain yang selalu diikuti nama “Paya Ilang” dibelakang katanya. Ini tentu menunjukkan betapa Paya Ilang sangat kaya dengan keanekaragaman hayatinya dan sangat penting keberadaannya bagi kehidupan masyarakat.

 Paya Ilang dengan tumbuhan khasnya (Beldem) yang tersisa. (LG.co | Muna)
Paya Ilang dengan tumbuhan khasnya (Beldem) yang tersisa. (LG.co | Muna)

Wajah Paya Ilang yang dulunya hijau, sumber repleksi suburnya tumbuhan khas pelu, kertan dan cikee,  dihiasi tebaran putih bercampur warna-warni bangau dan jongok jenis burung khas, kini telah berubah menjadi hamparan rumput liar yang tidak lagi berair. Saat musim hujan genangan airpun meluap ke ruas jalan yang telah dibangun membelah sisi utara kawasan Paya Ilang ini.

Tidak ada lagi kerumunan rombongan bangau di pagi hari dan saat petang melintas diatas kota Kota Takengon. Mungkin karena sudah enggan dengan semakin padatnya pemukiman dan perumahan yang hadir disekeliling kawasan ini.

Salah satu bangunan kokoh tampak berdiri tegak dan megah, sedikit yang menyadari di lokasi ini dulunya banyak ditumbuhi tanaman pelu tempat bertenggernya bangau putih, berteriak, berkejaran satu dengan yang lain.

Namun kini dibangunan tersebut bertulis sebuah nama, Nama tersebut pasti dapat mengingatkan orang yang pernah hidup diseputaran Takengon dan sekitarnya pada era tahun delapan puluhan hingga sembilan puluhan, akan teringat sebuah ekosistem yang banyak menyimpan kehidupan. Nama itu adalah Paya Ilang.

Paya Ilang hanyalah nama sebuah fasilitas yang dibangun pemerintah dengan alasan kemajuan, untuk peningkatan taraf ekonomi masyarakat. Sungguh miris memang, belum banyak yang mendokumenkan keberadaannya.

Alas kertan, tetopang, sentong belintem cikee, kerajinan khas Gayo, sudah tidak adalagi yang peduli, seiring dengan lenyapnya Paya Ilang.

…Paya Ilang ragamu kini sudah menghilang…

* Pemerhati Lingkungan dan Redaktur Foto Lintas GAYO.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.