
PEMENTASAN kolaborasi antara wayang dan pembacaan puisi esai dalam peluncuran buku karya 23 penyair Indonesia di Taman Ismail Marzuki pada Rabu, 19/3 silam, sungguh menghibur pengunjung. Pasalnya perpaduan antara seni tradisi berupa wayang dengan pembacaan puisi esai modren baru kali ini tersajikan dengan alur yang mengalir.
Sujiwo Tejo yang meramu konsep pementasan tersebut terlihat enjoy. Disela-sela alur cerita perwayangan dengan lakon ‘Sastra Jendra Hayuningrat’, ia menyebut dan memanggil satu persatu nama penyair untuk tampil membacakan petikan puisi esainya. Tak terkecuali aku, semua sahabat dan kawan penyair yang datang dari berbagai daerahpun turut tampil dengan karakter dan teknik pembacaan masing-masing.
Suguhan acara peluncuran lima buku antologi puisi itu terasa sebagai sebuah satu kesatuan pementasan dalam naskah teater yang dilahir begitu saja.
Sijiwo Tejo dengan kru pemain musiknya menjadi penghantar sekaligus pengiring setiap para penyair membacakan puisinya. Sesekali ia bangkit dari tempat duduk dalang lalu menyanyi dan menari mengitari panggung, kekocakan gerakan dengan dialog khas Sujiwo Tejo tak jarang membuat penonton tertawa. Demikian juga dengan puisi-puisi sindiran dan lagu-lagu kocak Sujiwo Tejo seolah membuat katarsis tersendiri bagi penonton yang menyesaki ketiga lantai gedung teater Taman Ismail Marzuki (TIM) itu.
Satu persatu para penyair yang disebut dan dipanggil Sujiwo Tejo memasuki panggung dan mendekati mikrofon. Mulai dari penampilan Fatin Hamama sebagai pembaca puisi esai pertama hingga penampilan D Zawawi Imron sebagai penyair pembaca puisi esai terakhir. Tidak jarang di antara penyair yang dipersilakan tampil terlibat dialog dengan sang dalang, menyanyi atau malah mengomentari daerah asal serta ciri khas masing-masing penyair.
Di tengah pertunjukan yang menyatu itu darahku terasa sedikit berdesir, nyanyian dan nada yang mengalun terasa lembut dan penuh improvisasi yang berestetik. Ada nada dan alunan tradisi disana, melodi syahdu dan tangga nada sexsefon yang memancing imajinasi. Seorang Perempuan Sunyi dari Aceh melafalkan sajaknya:
Di babah pinto sue meu alon
Dara meupanton ngon hate luka
Wahe Cut Abang pakon tinggai lon
Cut Abang neutron ulon han neuba
Udep dua udep dua bahagia geutanyoe
Dalam sejahtra
Di depan pintu suara beralun
Dara berpantung dengan hati luka
Wahai kakanda mengapa tinggalkan daku
Kakanda pergi daku tak dibawa
Hidup berdua hidup berdua
Bahagia kita dalam sejahtera

Seluruh penonton hening, termasuk aku dan Bambang Widiatmoko, Anisa Afzal, D Zawawi Imron serta beberapa penyair lainnya yang menunggu giliran di samping dekor panggung.
D Kemalawati, sang penyair perempuan Aceh itu tampil dengan sahajanya. Ia bacakan bait demi bait sajaknya dengan dilatari instrumen musik bungong jeumpa oleh Sujiwo Tejo dan teman-teman.
“Dibabah Pinto Syair Perempuan Sunyi”, itulah judul puisi esai D Kemalawati. Sebuah puisi esai yang mengisahkan tentang puing-puing kepedihan seorang perempuan Aceh saat terjadinya konflik bersenjata. Serpihan ingatan sekaligus kesaksian yang berhasil D Kemalawati abadikan dalam puisi esai panjangnya yang ber-fotnot.
Demikian juga dengan D Kemalawati yang tak lagi sunyi, terlebih penyair perempuan Aceh yang produktif itu menghela nafas lega ketika pesawat udara yang kami tumpangi menuju Sultan Iskandar Muda (badara SIM) melintas persis di atas Danau Lut Tawar yang permai, laksana perempuan yang tengah berdandan.
Lensaku mengabadikannya, seabadi “Perempuan Sunyi” yang kini menatap masa depan.[Salman Yoga S]