
SAAT harga kopi turun drastis, nyaris semua elemen mencoba mencari solusi menaikkan harga, diskusi pun ramai digelar hingga status media sosial yang mengutarakan keluhan miris nasib petani kopi. Tapi ketika harga nya membaik semunya lupa pada diskusi lanjutan dan hal-hal yang perlu diingat dan dicermati jika pada saatnya tiba harga akan turun lagi.
Begitu dikatakan Armiyadi, seorang pebisnis dan pengamat kopi di Takengon Aceh Tengah kepada LintasGayo, Selasa 25 Maret 2014.
Dikatakan, harga kopi pada September 2013 lalu berbeda jauh dengan saat ini di bulan Maret 2014. “Seperti langit dan bumi perbedaan harga kopi, perubahan harga sangat signifikan sampai 200 persen lebih. Dari harga kopi gabah Rp.14 ribu perbambu menjadi Rp.35 ribu perbambunya,” ungkap Armiyadi.
Atas kenaikan harga yang fantastis itu, dia mengingatkan agar petani kopi terbuai, hingga lupa jika roda berputar. “Petani hendaknya berpedoman pada peri mestike (kata mutiara-red) Gayo, inget-inget sebelum kona, hemat jimet tengah ara,” saran Armiyadi.
Dia mengkritisi kebiasaan atau pola hidup umumnya petani Gayo ketika punya uang banyak, sifat konsumtif tidak terelakkan seolah uang yang ada sekarang tidak akan habis. “Seolah harga kopi tidak turun lagi dan banyak perilaku konsuntif perlu kita hilangkan agar hidup yang lebih baik kedepannya,” tukas pemilik ASA Coffee Takengon ini.

Harga Kopi Pecahkan Rekor
Diungkapkan Armiyadi harga kopi saat ini sudah memecahkan rekor karena sebelumnya pada tahun 2010 harga kopi tertinggi di Gayo hanya Rp.32 ribu perbambu gabah tapi sekarang sudah Rp.35 ribu.
“Harga kopi saat ini terus naik sampai bulan Juni ini,” ujar Armiyadi memprediksi. Sebabnya, kata dia, bisa terjadi jika kontrak yang dipegang oleh eksportir masih banyak sehingga untuk memenuhi kontrak masing-masing eksportir ini berlomba utk memenuhi kontrak tersebut ditambah lagi prediksi dan kenyataan bahwa hasil kopi Gayo per hektar terus menurun hasilnya. Kondisi ini membuat eksportir berebut mendapatkan kopi dari petani di lapangan
“Ketika kontrak sudah terpenuhi maka eksportir lebih memilih untuk melihat atau mempresiksi kopi yang masih tersedia di kebun. Jika sudah habis atau sedikit kemungkinan eksportir tidak berani mengikat kontrak lagi,” terangnya.
Lebih jauh diutarakan Armiyadi, saat permintaan banyakpun eksportir belum tentu mau membuat kontrak kalau kopi sudah tidak ada. Dan ketika itu juga tidak atau jarang yang membeli kopi dan sudah tentu harga kopi akan turun.
”Kita sangat berharap harga ini bisa bertahan 2 atau 3 tahun seperti tahun 2010 dan tahun 2011 lalu, tapi saat masa kejayaan ini kita harus bisa menghadapi realita sebuah roda ketika dia sudah di atas pasti akan ke bawah,” tandas Armiyadi mengingatkan. (Kha A Zaghlul)