KontraS Aceh: Aceh bukan dalam kondisi Darurat Militer

oleh
Persiapan pengaman Pemilu di Takengon Aceh Tengah. (LGco-Kha A Zaghlul)
Persiapan pengaman Pemilu di Takengon Aceh Tengah. (LGco-Kha A Zaghlul)

Banda Aceh-LintasGayo.co : Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh melalui Koordinatornya, Destika Gilang Lestari memberikan apresiasi kepada Pangdam Iskandar Muda (IM), Mayjen TNI Pandu Wibowo tentang komitmennya untuk menjaga perdamaian di Aceh paska perjanjian Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, namun bukan sebaliknya melanggar ketentuan Undang-undang tentang pengerahan pasukan.

Seperti diberitakan di media massa, pernyataan Pangdam menyebutkan bahwa untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat saat memberikan suara di TPS pada 9 April 2014, dirinya telah mengerahkan 1.306 personel TNI yang akan memantau jalannya pemungutan suara di TPS seluruh Aceh.

“Saya sudah lakukan itu sejak 13 Maret 2014 atau lebih cepat tiga hari dari pengerahan pasukan secara nasional pada 16 Maret 2014,” ungkap Pangdam IM.

Destika dalam siaran pers yang diterima LintasGayo.co, Selasa 18 Maret 2014, secara tegas menyebutkan bahwa tindakan tersebut sangat bertentangan dengan aturan yang berlaku, pengerahan hingga penggunaan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) jelas melanggar UU nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Sebab, tidak jelas dasar kebijakan pengerahan pasukan itu.

Destika menyebutkan bahwa pada Pasal 3 ayat 1 UU TNI menyatakan, bahwa dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden. Pasal 5 menyatakan, TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan keputusan politik.

Adapun Peraturan Presiden nomor 7 tahun 2008 tentang kebijakan umum pertahanan negara juga mengatur pengerahan kekuatan TNI untuk Operasi Militer Selain Perang dilaksanakan berdasarkan keputusan politik pemerintah.

KontraS Aceh meminta Kodam Iskandar Muda, dalam menjalankan tugas dan fungsinya taat pada perundang-undangan.

Gilang mengkritik Pangdam Iskandar Muda, agar tidak terlalu jauh terlibat dalam pengamanan pemilu.

“Keamanan itu urusan polisi bukan TNI, kami yakin Pangdam Iskandar Muda tahu, dalam undang-undang pengerahan pasukan itu harus putusan Presiden, bukan rapat pimpinan TNI dan Polri di Aceh,” tegas Gilang dalam siaran persnya.

KontraS Aceh meminta Kodam Iskandar Muda dapat menjaga independensi dan netralitas dalam Pemilu di Aceh, bukan sekedar pernyataan semata. Pasal 2, UU TNI menegaskan bahwa tentara profesional tidak berpolitik praktis.

“Keterlibatan TNI dalam pengamanan pemilu itu tindak politik, tentara tidak dibutuhkan dalam pengamanan pemilu apalagi Aceh sudah tertip sipil,” tegas Gilang.

Peran Gubernur dan Wali Nanggroe

Sementara disisi lain, Destika menyebutkan peranan dari Gubernur selaku Kepala Pemerintahan Aceh dan Wali Nanggroe yang telah dilantik dan dianggap sebagai pemersatu rakyat Aceh. Khusus untuk Gubernur Aceh.

Menurut Gilang, ia sangat menyayangkan hingga sekarang tidak ada langkah yang kongkrit guna menghentikan konflik yang telah memakan korban jiwa tersebut.

Langkah-langkah yang kongkrit tersebut seperti mengintruksikan kepada kepala pemerintahan di daerah untuk memelihara stabilitas politik dan keamanan.

“Tentunya seorang kepala pemerintahan mengetahui tentang peristiwa politik yang sebenarnya tidak dikehendaki tetapi terjadi, benturan sosial, dan manakala kalau dibiarkan lagi alirannya ke wilayah keamanan, seharusnya hal seperti itu bisa dikelola dengan baik, dengan demikian tidak perlu harus masuk ke wilayah gangguan keamanan,” sebut Gilang.

Sementara untuk Wali Nanggroe, ditegaskan Gilang, sebagaimana telah ditetapkan dalam Qanun nomor 9 tahun 2013 tentang perubahan atas Qanun Aceh nomor 8 tahun 2012 tentang lembaga wali nanggroe.

“Wali nanggroe adalah sosok pemersatu, independen, dan bijaksana yang akan menjadi penengah bila ada beda pendapat di antara unsur-unsur atau pribadi dalam pandangan dan pengambilan keputusan,” ujar Destika.

Dikatakan, seharusnya fungsi tersebut sudah bisa dijalankan, mengingat pra perlaksanaan pemilu April 2014 ini, terjadinya gesekan dan bahkan selisih pendapat dan pandangan antar elit politik partai. Meskipun tidak memiliki hak eksekutif ,apalagi legislatif kiranya Wali Nanggroe lah yang akan turun tangan menyelesaikannya secara adat dalam kearifan yang terukur setiap terjadi ketidak harmonisan tersebut.

“Dengan adanya Wali Nanggroe, peran tersebut lebih dimaksimalkan untuk digunakan agar keharmonisan Aceh lebih tetap terjaga di antara kita semua,” pungkas Destika dari KontraS. (SP)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.