Harapan, Usaha dan Do’a

oleh

Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]

SUATU hal yang menarik dalam keberagamaan kebanyakan orang di satu sisi seolah mereka mampu melakukan apa yang dikehendaki dan merencanakan apa yang akan ia lakukan untuk hari esok dan masa depan mereka,  tapi di sisi lain mereke merengek meminta bantuan kepada Tuhan padahal mereka belum pernah melakukan apapun sehubungan dengan apa yang mereka minta kepada Sang Maha Pemberi.

Itulah realita yang kita lihat dalam kehidupan manusia  sekarang, tidak hanya dikalangan masyarakat awam tetapi juga orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Tidak hanya orang-orang yang malas beribadah tetapi juga masyarakat yang rajin beribadah. Lalu kalau kita bertanya tentang hal tersebut kepada ilmu yang kita miliki “bisakah hidup dengan berharap kepada kasih sayang dari seseorang yang mempunyai otoritas  tanpa harus melalui usaha, di lain cara kita berdo’a kepada Tuhan agar kasih sayang yang kita harapkan dapat diberikan dengan bantuan Tuhan”.

Untuk hal seperti ini dalam kajian ketauhidan kita mempunyai dua pengetahuan, pertama tentu saja kasih sayang itu bisa diberikan dengan kehendak manusia yang mempunyai kewenangan untuk memberikan kasih sayang tersebut, karena mereka mempunyai kemampuan untuk itu. Seperti seoranga karyawan yang bekerja disuatu tempat usaha yang ketika ia bekerja tidak serius atau malas, untuk ini seorang pemilik usaha boleh jadi ia akan memberikan upah kepada pekerja tersebut karena memberi upah adalah kewenangan pemilik usaha. Namun orang lain akan bilang bahwa orang yang memberi upah (pemilik usaha) terlalu baik karena memberi upah kepada orang yang malas dan tidak mau bekerja. Kepada orang yang menerima upah orang lain akan katakan bahwa ia adalah orang yang tidak malu karena menerima upah sedangkan ia malas bekerja.

Melihat kepada kekuasaan Tuhan sebagai yang Maha Pemberi dalam makna ketauhidan yang pertama kita katakan bahwa Tuhan bisa saja memberi rizki kepada siapapun yang Dia kehendaki walaupun orang tersebut tidak mau atau tidak pernah berusaha, jangankan kepada mereka yang muslim bahkan kepada orang non muslimpun Tuhan bisa memberikannya.

Dalam ilmu ketauhidan yang kedua kita bisa membahasnya dengan mengatakan bahwa mereka yang  mempunyai hak terhadap upah adalah orang yang bekerja dan berusaha sesuai dengan kemampuan dan keahlian di tempat ia bekerja, artinya ketika seseorang bekerja secara sungguh-sungguh dan sesuai keahliannya maka ia berhak mendapat upah dari pemilik usaha. Sebaliknya pabila seseorang bekerja tidak sunggguh-sungguh maka ia tidak berhak terhadap upah yang walaupun diberikan oleh pemilik perbuatan tersebut, sedangkan mereka yang memberikan upah kepada mereka yang bekerja sungguh-sungguh dan sesuai dengan keahliannya adalah merupakan kewajiban, tetapi memberikan upah kepada mereka yang malas bekerja bukanlah kewajiban terhadap upah dan juga bukan merupakan kebaikan sebagai pemberi upah dan kalau mau dikatakan sebagai kebaikan maka tidak bisa dikatakan sebagai upah tetapi sebagai kebaikan dari pemberian.

Dan kalau kita mau melihatnya dari segi Tuhan yang maha pemberi, bahwa do’a yang dipanjatkan oleh pekerja yang malas dan tidak mau bekerja bukanlah karena do’anya tuhan memberikannya upah, tetapi karena Tuhan itu Maha Memberi dan Tuhan tidak memenuhi permintaan kebaikan kepada seseorang yang tidak berbuat tetapi Tuhan akan memberikan kebaikan kepada siapapun walaupun tidak diminta.

Karena itu kebaikan akan diberikan oleh Tuhan kepada siapa yang berbuat baik dan kepada siapa saja yang Dia kehendaki walaupun orang tersebut tidak berbuat baik dan Tuhan tidak memenuhi permintaan orang yang tidak berbuat secara sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki.

Kebanyakan masyarakat kita menganut ilmu ketauhidan yang pertama, sehingga dalam setiap kesempatan dia selalu berdo’a dan meminta kepada Tuhan tanpa merasa diri apakah pekerjaan yang dilakukan telah sempurna ataupun belum dan setelah ia menerima apa yang ia minta dar Tuhan ia lupa bahwa Tuhan adalah Maha Memberi kepada siapapun dan ia lupa bahwa pemberian Tuhan kepadanya bukanlah hasil dari pekerjaannya yang tidak sempurna, karena kalau ia meminta kepada Tuhan dengan Pekerjaannya yang tidak sungguh-sunguh tentu Tuhan tidak memberikan. Untuk itu bagi kita yang mempunyai ketauhidak sebagaimana yang kedua maka kita harus meminta kepada Tuhan dengan usaha yang sungguh-sungguh karena meminta dengan pekerjaan yang sungguh-sungguh pasti Tuhan kabulkan.



[*] Dosen Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.