Irama BR Sinaga
SORE itu Rabu, kampus bagaikan pasar murah. Di kantin, di lobi dan di sela-sela jalan antara kantin dan ruang dosen banyak mahasiswa yang sibuk mondar mandir, terlihat sedang mencari dan menunggu serta mengurus surat-surat. Aku duduk di ujung kantin, dari kejauhan aku melihat sosok teman yang dari tadi kutunggu-tunggu. Sore ini temanku itu menggunakan baju yang persis sama ketika kami pertama masuk kuliah dan sore ini juga dia sidang Munaqsyah, setelah sekian lama berjuang akhirnya sore ini jawaban perjuangannya.
“Bagaimana perasaanmu co (co bisa diartikan kawan)” menyapa saat dia sudah mendekat.
“Gugup bercampur gemetar, doain aku ya co” katanya dengan suara yang kecil. Raut wajahnya terlihat pucat menandakan ia memang gugup.
“Doaku pasti menyertai co, pasti lulus, jangan lupa bedoa dan dijawab pertanyaan penguji, pertahankan apa yang bisa kamu pertahankan, asal jangan sesak BAB ditahan-tahan ha ha” aku semangati dia dan kami pun tertawa.
“Kamu ni ya? Aku sudah setengah mati, kamu bercanda lagi” jawabnya sambil tertawa kecil.
“Tidak mengapa, biyar jangan tegang co” jawab ku sambil melangkah ke ruangan tempat dia disidangkan.
Waktupun terus berlalu, dia sudah disidangkan dan aku dua hari yang lalu baru mendaftar. Teman-teman seperjuanganku hampir sudah selesai semua bahkan kawan-kawan enam sekawan hanya tinggal aku yang belum sidang.
Senjapun tiba, waktu sidang temanku hampir finis, aku keluar dari ruangan mengangkat telepon genggam, Zia memanggil..
“Assalamu’alaikum Im”.
“Wa’alaikumsalam, da pa Zia” jawabku
“Udah lihat surat sidang kita apa belum? kata teman-teman lain sudah keluar, coba lihatin punya Zia ya?”.
“Oh ya ya, tar Im lihat ya? Jawabku singkat
“Ok, makasih ya Im”.
“Ya, sama-sama”.
Obrolan kami terputus, akupun melangkah menuju ruangan yang dimana ruangan itu tempat mengurus segala administrasi sidang Munaqasyah.
“Assalamu’alaikum” sembari masuk ruangan
“Wa’alaikumsalam” jawab bapak yang telah mengurus segala keperluan sidang mahasiswa
“Pak, surat saya sudah keluar ya?”
“Oh ya, coba lihat, jangan lupa distempel ya” kata bapak sambil tersenyum dan terlihat dari raut wajahnya, beliau capek dan letih. Tak seperti biasanya, mahasiswa pada bertanya surat sudah keluar apa belum, kadang beliau jemu dan jengkel namun tak terlihat dari segi apapun, beliau mampu menahannya demi menjaga hati para mahasiswanya yang sedang dilanda gemuruh kehidupan.
Jadwal sidang sudah di tangan dan penguji kupun sudah jelas siapa. Senja itu hatiku bagaikan Romeo yang sedang menunggu Juliet yang sudah janji ketemuan. Perasaan bahagia tak bisa aku gambarkan lewat tulisan namun terpancar lewat raut wajahku yang saat itu sedikit lelah. Setelah sidang temanku selasai, akupun terus beranjak pulang dan mengantarkan skripsi pada penguji.
Senjapun berlalu, aku pulang dan merebahkan tubuh yang letih seharian di kampus. Aku baca skripsiku berulang-ulang dan berfikir apa yang besok dipertanyakan oleh pengujiku. Waktu maghrib juga berlalu, dalam minggu ini aku sedang cuti tidak bisa pegang Al-qur’an kesayanganku. Aku hubungi abang di kampung, aku tak sabar bercerita dengan Ayah dan mengatakan esok aku sidang.
Sebelum syarat sidangku selesai, aku pernah mengatakan pada Ayah “Ayah, jika aku tidak wisuda semester ini, bagaimana perasaan Ayah?”. Jawaban Ayah ternyata membuatku semakin semangat mengejar mimpi. Ayah jawab “Jangan pikirkan perasaan kami nak, tapi lalukan saja apa yang bisa kamu lakukan, Ayah dan Umak tidak menuntut apapun darimu. Jika belum bisa wisuda, berarti itu adalah yang terbaik, bersabarlah nak doa Ayah selalu menyertaimu”. Hmmmm setiap hari aku ingat kata-kata Ayah.
“Hallo..” suara abang mengagetkanku
“Assalamu’alaikum, bang ada Umak?
“Gak ada” jawab abang singkat
“Kemana Umak bang”
“Gak tau” jawabnya cuek
“Ayah ada gak, ima mau ngomong ne”
“Ya ada, tunggu bentar”
Hmmm rasanya tak sabar bercerita “Assalamu’alaikum” Ayah sapa
“Wa’alaikumsalam, Ayah besok aku sidang” aku langsung beritahu
“Alhamdulillah, jangan lupa berdoa”
“Ya, ayah doain aku juga ya”
“Pastilah, doa Ayah selalu menyertaimu”
Banyak hal yang kami bicarakan, malam ini aku antar skripsi lagi pada penguji lain karena tidak ada waktu lagi mengantarkan, esok sudah hari H. Semua memang serba dadakan, meskipun lelah menghampiri, aku berharap esok aku mampu menjawab pertanyaan penguji.
Pukul sepuluh malam aku pulang dari rumah penguji, disana aku diberi nasehat-nasehat dan motivasi serta beliau juga menceritakan bagaimana perjalanannya menuntut ilmu. Tidak jauh beda dengan perjalananku, beliau mengatakan “Sukses itu tidak mudah, kita harus berkorban”. Obrolan kami sangat panjang, akupun pamit pulang karena malam semakin larut. Sesampai di kamar, aku buka laptop dan belajar persentasi, aku suruh kawan sekamar sebagai penguji, mereka terlihat serius mendengarkan.
Malam itu, jam tak adil bagiku, terlalu cepat berputar, waktu menunjukkan pukul sebelas lewat. Teman sekamarkupun sudah mengantuk. Aku yang yang seharusnya tidur lebih awal agar esok semangat dan tidak mengantuk. Kucoba pejamkan mata, kubaca doa namun mata dan pikiranku tak sejalan sehingga sulit untuk tidur. Aku berpikir, esok aku berhadapan dengan orang-orang besar yang mereka menanyaiku. Empat orang bukanlah jumlah yang kecil, mereka semua mengujiku.
Malam kian larut, waktu menunjukkan pukul 00.00. Aku bangun dari tempat tidur dan kuambil buku-buku referensi, kupersiapkan apa yang harus kubawa esok. Meskipun malam kian larut namun mata tak mau terpejam. Aku ambil handphone, kuketik pesan mohon doa dan undangn agar hadir di hari sidangku. Hampir seluruh kontak yang ada di handphone kukirimi. Kata orang, jika ada 60 orang yang mengaminkan doa, InsyaAllah akan terkabul.
Kucoba pejamkan mata, tak tahu jam berapa aku terlelap. Aku terbangun saat adzan subuh berkumandang. Dalam hati “Ya Allah kini pagi Mu sudah tiba dan malam Mu berlalu, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku dan permudahkanlah segala urusanku”. Ku rapikan tempat tidur dan beranjak ke kamar mandi, jantung mulai deg-degkan, aku merasa seolah-olah dalam perjalanan yang lurus kemudian ada lekung sedikit. Rasa mau muntah juga ada karena mungkin masuk angin.
Puku 12.00 adalah jadwal sidang, jantungku berdenyut kencang. Hatiku selalu menyebut Asma Allah dan tanganku gemetar. Aku harus ke pustaka pinjam buku dan saat menuju ruang sidang jantung semakin berdenyut kencang. Aku gugup sekali, semua teman-teman mengatakan “semangat ya sob, kamu pasti bisa”. Dalam hatiku “Kemarin aku yang bilang seperti itu, ternyata seperti inilah perasaan sebelum sidang”.
Sebagaian penguji telah hadir, kulihat teman-teman juga banyak yang hadir. Aku merasa seperti kehilangan. Saat penguji telah tiba, semua yang kuhafal hilang sekejap. “Ya Allah aku berserah pada Mu”. Wajahku pucat seperti mayat, tanganku dingin dan gemetar, jantungku tak bisa kuungkapkan lagi berdetak keras.
Ketua sidang mempersilahkan aku duduk dihadapan mereka, ketika dibuka dan langsung diberi pertanyaan, sekejab itu juga perasaan gugup, jantung dan dingin kembali normal. Aku terlihat santai dan menjawab pertanyaan ketua sidang. Aku menunggu kapan dipersilahkan untuk mempersentasikan hasil karya ilmiyahku. Ternyata ketua sidang langsung mempersilahkan penguji lain bertanya. Aku dan teman-teman semua pada heran dan terkejut, aku santai menjawab pertanyaan. Setiap manusia pasti ada khilaf, setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan. Jika seseorang punya kekurangan maka jangan rendahkan dia karena dia punya kelebihan yang tidak kita miliki.
Pertanyaan demi pertanyaan, bercanda dan kritik serta saranpun berlalu, malu sudah pasti jika tidak bisa menjawab pertanyaan, bahagia bila diberi saran dan takut bila wajahya berubah merah. Aku mahasiswa akhir yang hari ini menentukan status mahasiswa dan alumni. Jadwal sidang diskor, aku dan kawan-kawan disuruh keluar ruangan karena tim penguji merembuk menentukan layak atau tidaknya aku mendapatkan gelar sarjana.
Teman-temanku pada mengucapkan selamat, padahal jawaban lulus tidak lulus belum diputuskan, tapi kujawab terimakasih karena aku tahu mereka tulus mengucapkannya. Detik-detik menegangkan pun telah tiba, tapi aku lebih santai dan temanku pun heran, padahal sebelum sidang wajahku pucat tapi sekarang sudah berseri-seri. Aneh memang, tadi aku tidak ada persentasi, ini disuruh tanda tangan dulu baru sekretaris sidang membacakan hasilnya. Tapi tak apalah yang penting jawaban lulus yang aku butuhkan pikirku.
Sekretaris membacanya sangat lambat, aku tidak sabar menunggu jawabannya. Aku sedikit heran dengan diriku sendiri, tadinya perasaan bercampur-campur seperti gado-gado, kucubit badan “Ini aku apa bukan ya”. Ketika sekretaris sidang menyatakan :
“DENGAN MEMPERHATIKAN DENGAN SEKSAMA HASIL PENELITIAN SEBAGAI TUGAS AKHIR STARA SATU DAN KEMAMPUAN MEMPERTAHANKAN KARYA ILMIYAHNYA, MAKA DENGAN INI TIM PENYIDANG MUNAQASAH MENYATAKAN SAUDARI IRAMA BR SINAGA DENGAN NOMOR INDUK MAHASISWA DINYATAKAN …. LULUS…. DAN DAPAT MENGIKUTI YUDISIUM PADA TANGGAL YANG TELAH DITENTUKAN”.
Syukurku pada Allah sang Khaliq tak terhingga, pada Ayah dan Umak yang telah mendoakan serta teman-teman yang turut hadir memberi semangat. Ahhh… Meja Hijau Yang Menggetarkan itu telah kutaklukkan. [SY].
—
Irama Br Sinaga, lahir di Samardua Singkil pada Tanggal 11 Juli 1991. Mempunyai hoby membaca dan traveling, motto hidupnya La takhof, Innaka Antal a’la (jangan takut, sesungguhnya engkau yang paling unggul).