Keluarga “Samara” harapan setiap calon pengantin

oleh

Potret Keluarga Muslim 

*Oleh : Hasan Basri, S. Ag

Hasan Basri, Kepala KUA Celala (Muna | LintasGayo.co)
Hasan Basri, Kepala KUA Celala (Muna | LintasGayo.co)

Membangun bahtera rumah tangga pada dasarnya tidaklah sulit, karena tinggal melapor serta mengurus buku nikah ke Kantor Urusan Agama, adakan walimah (resepsi), melakukan kegiatan reproduksi, melahirkan anak, serta hidup bersama dalam satu rumah. Kemudahan tersebut seharusnya jangan menyebabkan kita berpikir untuk menggampangkan (meremehkan) pernikahan itu. Setiap pasangan berkewajiban untuk melembagakan, menghadirkan,  mengimplementasikan dalam institusi keluarga, kehidupan anggota keluarga dalam rumah tangga yang dibangunnya  dengan nuansa islami, membentuk keluarga yang relegius, disinari dengan akhlak yang mulia antara sesama anggota keluarga agar keluarga sakinah yang didambakannya dapat terealisasi.

Beberapa langkah yang ditempuh agar keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah (samara) yang diharapkan terwujud:

1. Memahami kelebihan serta kekurangan dari masing-masing pasangan.

Memahami kekurangan serta kelebihan pasangan (suami dan istri) ketika berkomunikasi , berintraksi, dalam institusi rumah tangga suatu keharusan, karena dari pemahaman tersebut akan melahirkan sikap “pengertian” terhadap masing-masing pasangan

2. Menghindari sikap cemburu yang berlebihan (cemburu buta)

Perasaan cemburu yang terdapat pada suami dan istri lahir akibat adanya perasaan cinta antara keduanya, perasaan cinta melahirkan dan menghadirkan  rasa “memiliki”, karena rasa memiliki inilah, setiap pasangan (suami dan istri) tidak berharap sesuatu yang dimilikinya, pada saat yang sama juga menjadi milik atau dimiliki oleh orang lain. Namun setiap pasangan hendaknya memahami dan menyadari bahwa disamping sabagai seorang suami atau istri, yang bertugas serta berkewajiban dalam institusi keluarga dan rumah tangga, keduanya tentu memiliki peran dalam  institusi lain dalam realitas dan kehidupan sosial, konsekwensi dari  perannya dalam institusi lain itulah yang menyebabkan dia pada saat dan waktu tertentu menjadi “milik dan dimiliki” oleh orang, lembaga serta institusi lain selain keluarga, sehingga kehadirannya, keikut sertaannya, senyumannya, ucapannya, nasehat serta petuahnya, bimbingan dan arahannya, tawa dan cerianya, intraksi serta komunikasinya mutlak dibutuhkan semua pihak yang berkepentingan dengannya. Pada saat seperti inilah sikap rasional masing-masing pasangan mutlak diperlukan, sehingga “baju cemburu” serta “topeng cemburu” yang dipakai oleh seorang yang menamakan dirinya dengan “suami atau istri” harus  dilepaskan, ditanggalkan untuk sementara waktu, agar sesuatu yang tidak diinginkan dapat dihindari, menghilangkan kecemburuan terkadang sangat sulit, tapi ini harus diusahakan, agar beban psikologis yang diakibatkannya tidak terjadi. Sebaliknya kalau perasaan cemburu sebagi buah dari cinta, buah dari kasih sayang  tidak bersemi dan tumbuh dalam institusi keluarga terutama antara suami dan istri, berarti kehancuran, keretakkan hubungan serta hal-hal negatif yang seharusnya dihindari sudah di depan mata dan diambang pintu keluarga dan rumah tangga tersebut, Rasulullah SAW bersabda “Ayahku Ibrahim adalah seorang pencemburu dan aku lebih pencemburu darinya, Allah akan menyungkurkan hidung seorang mukmin yang tidak memiliki rasa cemburu terhadap kehormatannya ke tanah” (Al Hadits) di hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda “Bau harum syurga dapat tercium dari jarak lima ratus tahun, namun tidak akan tercium oleh anak yang durhaka terhadap ayah dan ibu, serta dayyuts” shahabat bertanya  “Wahai Rasulullah, siapakah dayyuts itu?” Rasulullah menjawab “ Dayyuts itu adalah laki-laki yang mengetahui istrinya berzina namun ia diam saja (tidak cemburu)”. (Al Hadits).

Perasaan cemburu yang telah sirna, menghilangkan rasa kepemilikan, akibatnya yang muncul justru sikap tidak perduli, tidak memperhatikan, tidak open, tidak ambil pusing terhadap segala aktifitas pasangannya, apakah kondisi seperti ini masih layak disebut dengan pasangan yang harmonis, bahagia atau keluarga sakinah?

3. Memahami posisi suami/istri.

Pemahaman terhadap posisi masing-masing pasangan (suami/istri) dalam tatanan struktur sosial, dalam bahtera rumah tangga merupakan suatu keharusan. Pemahaman yang positif dari suami atau istri terhadap pasangan akan menghadirkan tindakan postif dalam interaksi keduanya, sebaliknya pemahaman yang negatif juga menghadirkan tindakan negatif dalam interaksi keduanya. Penghadiran tindakan-tindakan positif dalam suatu kehidupan rumah tangga tentu akan melahirkan keharmonisan.

*Kepala KUA Kecamatan Celala, Kabupaten Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.