Gempa Gayo (bagian 23)
Catatan: Aman ZaiZa
SADIS…! Itu kata yang pantas terucap melihat kondisi dan realita masa rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab/rekon) di Aceh Tengah saat ini. Sunat menyunat, menjadi trand tanpa berpikir yang di sunat itu hak orang atau uang takjiah alias dana duka bagi korban gempa Gayo.
Sunat atau khitan atau sirkumsisi (Inggris: circumcision) adalah tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh. Manfaat khitan atau sirkumsis khusus bagi laki-laki adalah menghilangkan kotoran beserta tempat kotoran itu berada yang biasanya terletak dibagian dalam dari kulit.(wikipedia.org).
Melihat terjemahan sunat dalam berdasarkan Wikipedia.org ini, dalam bahasa umumnya dapat dikatakan, menghilangkan kotoran. Namun jika ditelaah, tidak ada kotoran dari dana takjiah korban gempa tersebut, karena itu murni hak milik para korban.
Lalu mengapa sunat ini bisa terjadi. Apakah pelakunya orang-orang lapar atau dalam menjalankan prinsif kerja dengan menerapkan teori SOS atau Senang (lihat) Orang Susah. Sehingga penderitaan orang lain itu menjadi bagian yang wajar alias lumrah?
Apakah ini wajar atau lumrah? Coba kita rasakan bagaimana nasib para korban gempa yang hak mereka di sunat atau dipotong. Seperti yang terjadi dengan pemotongan dana cash for work atau dana bersih-bersih di potong di Kampung Segene Balik, Kecamatan Kute Panang, Kabupaten Aceh Tengah.
“Di kampung kami juga dipotong, Rp150 ribu per KK,” kata Ibah, penduduk Kampung Segene Balik, Senin (3/2/2013) sebagaimana dilansir lintas gayo.co.
Aksi sunat menyunat ini, selain di Kampung Segene Balik, Kute Panang, juga terjadi di Kampung Wih Nongkal Toa dengan potongan Rp 200 ribu/KK, di Kampung Dedingin Kecamatan Bebesen, Rp100 ribu per KK.
Informasi yang berkembang di tengah masyarakat semua aksi pemotongan ini disinyalir dilakukan ketua kelompok masyarakat (Pokmas). Ironisnya, hasil penyunatan ini juga akan di “salurkan” kepada oknum pejabat dan kas kampung.
Melihat sejumlah kasus yang sama terjadi di beberapa daerah ini, rasanya aksi sunat- menyunat ini seakan sudah terkoordinir dengan baik. Hal ini sangat beralasan, sebab pemotongan ini bukan saja dilakukan oleh oknum saat pembagian di kantor Camat, melainkan petugas mendatangi rumah warga yang sudah mencairkan dana tersebut seperti yang terjadi di kampung Dedingin.
Siapa pemainnya? Aparat berwajib dan penegak hukum harus bisa turun tangan. Jangan sampai dugaan yang disinyalir oleh masyarakat bahwa dana sunatan tersebut akan disalurkan untuk pejabat Muspika, bukan menjadi fitnah.
Namun jika benar dana yang disunat tersebut selanjutnya akan diserahkan ke oknum pejabat di Muspika, sungguh rendahlah moral dari oknum tersebut, terlebih lagi mereka merupakan abdi Negara dan pelindung masyarakat sendiri.
Jika ini dibiarkan terus, bukan tidak mungkin kondisi ini akan terus berlanjut dimasa mendatang. Kali ini baru terhadap dana cash for work, bukan tidak mungkin mata anggaran atau dana bantuan lain juga akan terjadi.
Pembiaran bisa berdampak buruk. Seharusnya pengalaman sebelumnya, saat terjadi pemotongan bantuan yang diberikan masa tanggap darurat yang santer diberitakan media massa menjadi pelajaran bagi semua pihak agar kasus serupa tidak terjadi lagi di lain waktu. Namun, nampaknya hal itu sengaja dibiarkan sehingga sunat menyunat ini kembali terjadi dalam penyaluran cash for work.
“Buat mereka tidak seberapa, mungkin. Tapi, buat kami (masyarakat kecil-korban gempa), se sen pun berarti. Lebih-lebih, situasi ekonomi kami seperti in,” ujar korban gemba sambil menambahankan, jika Rp100 ribu/KK dipotong, bayangkan jika ada 1.000 KK. Berapa besar dana sunat tersebut?
Guna mengantisifasi amuk masa seperti yang terjadi sebelumnya, Bupati Aceh Tengah Nasaruddin dan Wakil Bupati Khairul Asmara serta aparat hukum terutamapihak kepolisian perlu segera bertindak tegas semua petugas terlibat yang bermain di lapangan.
Bukan saja unsur Pemkan dalam hal ini Bupati, namun Kapolres dan Dandim juga harus melakukan insfeksi ke bawah guna melihat kinerja anggotanya. Apakah sudah berjalan benar atau tidak.
Sebab, peristiwa memalukan ini bukan saja aib bagi oknum itu sendiri, melainkan juga menjadi aib bagi bagi institusi. Karenanya, sebelum semuanya ketularan aib, maka pejabat tertinggi di daerah harus bisa segara merespon ini semua.
Ibarat kata pepatah, jangan sampai susu sebelang rusak akibat nila setitik. Terlebih lagi dengan menyunat dana takjiah, sama saja mengundang murka Allah yang lebih besar bagi Gayo. sadarlah wahai para penyunat.***





