Oleh : Susi Susanti
BERBICARA soal sastra lisan, Suku gayo mempunyai banyak ragam sastra lisan termasuk diantaranya adalah sastra lisan berupa pepatah dan kalimat kiasan atau perumpamaan yang biasa disebut cerak misel yang menggambarkan jiwa masyarakat Gayo. Juga, menjadi identitas orang Gayo yang ikut memperkaya khasanah sastra dalam masyarakat Gayo yang merupakan warisan leluhur yang tak ternilai harganya.
Dalam kehidupan sehari –hari pepatah gayo dan cerak misel merupakan kata kata bijak yang bertujuan untuk menjelaskan suatu perkara. Biasanya dalam sebuah pepatah terkandung ajaran atau nasehat yang sangat dalam dan bijak, sehingga untuk mengungkapkan makna pepatah diperlukan ulasan yang panjang. Pepatah tidak seperti puisi yang dikenal siapa penulisnya, Walaupun makna pepatah gayo sangat tinggi, tetapi tidak begitu diketahui asal usulnya, Siapa yang pertama kali yang mengucapkan pepatah tersebut. Untuk memahami makna pepatah yang belum biasa didengar kadang juga tidak gampang, Karena makna Pepatah bisa samar dan tersembunyi. Justru disitulah letak keunikan pepatah dibandingkan dengan kalimat yang biasa.
Pepatah biasanya adalah ajaran tetua tentang kehidupan sehari hari yang di tuturkan secara turun temurun untuk penuntun hidup yang baik dan bijak, masyarakat yang masih kuat memegang adat, biasanya menjadikan pepatah gayo sebagai pedoman hidupnya. Tentu ini khasanah budaya yang luar biasa, dan sangat penting untuk dilestarikan, karna dengan semakin seringnya di tulis atau diucapkan yang dipergunakan dalam alat komunikasi untuk menyampaikan suatu misi, maka pepatah gayo tidak akan patah oleh perkembangan jaman. Terlebih lagi bila dipegang teguh makna pepatahnya. Masyarakat yang mengamalkan ajaran pepatah para tetua sama dengan melestarikan budaya dengan baik.Karena bagaimanapun setiap pesan yang bermakna akan jauh lebih berarti jika pesan itu di ikuti atau diaplikasikan dalam kehidupan sehari hari.
Begitu juga dengan cerak misel merupakan kata kata perumpamaan yang dipakai untuk memberi rasa keindahan dan penekanan pada pentingnya hal yang disampaikan. Dengan cerak misel ini apabila kata kata yang akan disampaikan walaupun bersifat kritik yang tajam sekalipun, akan terasa lembut.
Dalam konteks kehidupan sekarang ini, pepatah gayo dan cerak misel sudah jarang digunakan.Padahal,kandungan maknanya sangat dalam dan indah,dan suatu tujuan, saran yang disampaikan akan dapat diterima oleh seseorang. Dan penggunaan pepatah dalam berbicara akan terkesan memberi kita gambaran tentang cara santun dalam berbahasa.
Sekarang timbul pertanyaan,Mengapa pepatah dan cerak bermingsel itu sudah luntur dan nge dabuh taring kenangen? Itu dikarenakan keadaan kita sekarang ini tidak lagi sama dengan jaman-jaman tetua kita dahulu. Kita sekarang ini, diomongi secara keras dan kasar saja masih belum mengerti, apalagi dengan sindiran halus. Jaman sekarang penyampaian pesan sering menggunakan kata yang vulgar, langsung, tidak menggunakan perumpamaan, dan mengatakan bahwa cerak misel itu sulit dimengerti karena berbelit belit. Seperti yang terkandung dalam pepatah gayo ini “Urum lemut ko gi remang,Urum gersang ko gi nerime “.
Padahal dengan mempergunakan cerak misel dalam kehidupan sehari-hari seseorang akan terkesan santun dan berbudi pekerti. Sebagaimana para tetua kita mengajarkan kita untuk berbahasa yang baik dan sopan yang tersirat dalam pepatah berikut :
Remalan gelah bertungket
Becerak gelah berabun.
Semakin hari semakin banyak kekayaan budaya kita yang hilang dikarenakan sedikitnya generasi penerus yang mau melestarikannya, memang tak dapat dipungkiri, banyak hal yang dapat meruntuhkan sastra lisan suku gayo termasuk salah satunya adalah karena pernikahan beda suku. Sugiyono, seorang pakar bahasa mengatakan “Urbanisasi dan perkawinan antar etnis merupakan penyebab utama terancam punahnya ratusan bahasa daerah. Karena kalau dua orang dari daerah kemudian pindah ke Ibukota atau ke kota besar maka mereka akan berinteraksi dengan etnis lain, lalu bahasa etnisnya sendiri itu akan ditinggalkan. Mereka akan memilih bahasa Indonesia sebagai penghubung antar etnik satu dengan etnik yang lain.”
Banyak hal yang dapat meruntuhkan cerak minsel tersebut, hal itu diperparah dengan banyaknya anak muda yang lebih senang menggunakan bahasa gaul. Padahal bahasa gaul ini, bagi sebagian orang sangat sukar dipahami artinya,karena menggunakan ejaan yang aneh. Tentu ini menjadi sesuatu yang amat memprihatinkan. Padahal penggunaan pepatah dan cerak misel dapat menjadi sarana yang efektif dalam menyampaikan suatu pesan baik berupa pujian, sanjungan, motivasi, sindiran dan bahkan keluh kesah sekalipun.
Sebelum Pepatah Gayo dan cerak bermisel itu hilang, ada baiknya kita sebagai generasi gayo mau melestarikannya.
Ike Ume kite melestarikan Kebudayaan Gayo, nta sahan mi?
Ike Gere silo kite bueten, Nta selohan mi?
Usaha yang mungkin dilakukan untuk mempertahankan pepatah gayo dan cerak bermisel dapat dilakukam dengan cara mempelajari, dan menimbulkan rasa senang,bahagia dan rasa ingin melestarikan budaya kita, dan terus berlatih, dan aplikasikan dalam kehidupan sehari hari misalnya dengan berkomunikasi antar anggota keluarga dan teman teman sehingga cerak misel itu tidak hilang dan ada baiknya,Untuk Pemerintah Gayo dapat memasukkan pembelajaran pepatah gayo dan cerak misel itu dalam kurikulum sekolah.
BIODATA PENULIS
Nama : Susi Susanti
TTL : Desa Gumpang, 11 Maret 1993
Alamat : Desa Gumpang, Kecamatan Putri Betung
E-mail : susisusanti@students.usu.ac.id
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Lentayon edisi Desember 2013