Waspadai Jurus “Balas Dendam” Politik

oleh
Poster Caleg

Catatan: Muhammad Syukri | Suatu “komoditas” yang dipinjamkan, sewaktu-waktu bisa diminta kembali. Sebaliknya, segala sesuatu yang sudah dijual tidak mungkin diminta kembali. Demikian pula halnya dalam kehidupan bernegara dengan sistem demokrasi, sebuah istilah yang berasal dari kata demos (rakyat) dan cratos (pemerintahan). Suara adalah “komoditas” yang bisa dipinjamkan, bahkan sering juga “dijual.” Untuk diketahui, suara para pemilih (rakyat) menjadi komoditas paling berharga menjelang Pemilihan Umum (Pemilu).

Suara rakyat adalah wujud kedaulatan, makanya dalam konstitusi negara-negara demokratis sering disebut kedaulatan berada ditangan rakyat. Sebagai wujud kedaulatan, suara rakyat menjadi “komoditi” paling dicari politisi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Kenapa? Karena suara yang pernah dipinjamkan rakyat kepada politisi (anggota legeslatif) periode 2009-2014, segera akan berakhir.

Rakyat tidak perlu heran jika akhir-akhir ini sangat banyak sosok yang “bertanam tebu dibibir.” Berbicara santun, lemah lembut, kalimatnya manis bagai susu dicampur dengan madu. Meskipun sebelumnya, mereka sungguh berjarak dengan rakyat. Kini, dari bibirnya yang merah, meluncur seribu janji. Apapun yang diminta oleh rakyat, biasanya akan mereka penuhi demi mengharap suara rakyat.

Belum cukup dengan kalimat manis dan santun, poster dan spanduk pun bertebaran disetiap sudut kota dan desa. Dengan rekayasa teknologi komputer, tampilan wajahnya diubah menjadi lebih tampan (cantik) ditambah kalimat bijak sebagai memikat. Meskipun kalimat bijak itu tidak secara eksplisit mengajak rakyat untuk memilihnya, tetapi secara implisit tujuannya seperti itu. Inilah proses marathon yang dilakukan para politisi sebelum sampai pada sebuah kalimat, “pinjamkanlah suara anda” dengan menyoblos gambar saya!

Sayangnya, saat ini rakyat sudah tercekoki dengan pola hidup kapitalisme. Kata “pinjam” mulai memudar. Sebagian besar rakyat cenderung menilai segala sesuatu dengan “pembayaran.” Pasalnya, mereka sudah jarang menemukan istilah free atau gratis dilingkungannya. Semua harus bayar. Masuk kedalam fasilitas umum, bayar retribusi. Mau buang air di toilet umum, bayar. Setiap langkah harus siap-siap mendengar kata wani piro (berani bayar berapa). Sebenarnya rakyat juga ingin “balas dendam” dengan meminta bayaran kepada orang lain, tetapi kepada siapa?

Sistem demokrasi di Indonesia menyediakan “pesta” lima tahunan berbentuk pemilihan kepala daerah (Pilkada), Pemilu legeslatif, maupun Pemilu presiden. Menjelang “pesta” itu berlangsung, para politisi (atau tim suksesnya) turun ke rumah-rumah rakyat sembari memohon. Tidak jarang, ketika permohonan itu disampaikan posisinya persis “mengemis” dan “menghiba.” Dengan harapan, suara si pemilik rumah dan keluarganya “dipinjamkan” kepada si caleg. Dalam kondisi ini, rakyat menyadari jika mereka sedang menjadi raja. Mereka sedang didatangi “hamba sahaya” yaitu si caleg untuk memohon sesuatu.

“Tunggu saatnya rakyat balas dendam.” Demikianlah kalimat yang sering terdengar di kalangan rakyat  menjelang tibanya pemilihan umum. Benar, mereka sering “menghukum” para politisi dengan tidak lagi memilihnya. Ada juga yang balas dendam dengan mengeluarkan jurus wani piro. Misalnya, mereka minta bantuan untuk rumah ibadah, sarana olah raga, pakaian seragam, sampai kepada piring, sendok garpu dan dandang. Paling ironis, apabila jurus wani piro itu berbentuk satu suara ditukar dengan sejumlah uang.

Liberalisme dan kapitalisme telah “memaksa” mereka menjadi makhluk a-sosial. Saat rakyat berada dibawah, mereka menjadi obyek dan sasaran membayar. Ketika kedaulatan kembali kepada rakyat, dia menjadi orang yang “dipentingkan” untuk tempo sekian detik. Saat kedaulatan kembali ke tangan rakyat, mereka pun balas dendam, dengan kata wani piro.

Paham yang berakar dari para pemikir liberal seperti Hobbes, Locke, Rousseau, Montesquieu, Voltaire dan lain-lain, menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sesungguhnya (Azhar, 1997). Kemudian, pasal 1 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan: Kedaulatan berada ditangan rakyat …”

Suka atau tidak suka, kita sudah berada dalam sistem demokrasi berdasarkan hasil para pemikir liberal itu. Mereka, termasuk negara telah menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Inilah hak tertinggi yang dimiliki seorang rakyat di negara demokratis. Sudah seharusnya hak tertinggi itu tidak “dijual” tetapi cukup “dipinjamkan” kepada sosok yang amanah, sosok pejuang rakyat yang sebenar-benarnya.

Penulis mencoba menganalogikan kerugiannya jika suara (kedaulatan) itu “dijual” oleh rakyat. Katakanlah, satu suara “dijual” seharga Rp.100 ribu. Uang itu diterima oleh si pemilih sebelum atau begitu selesai menyoblos di bilik suara. Transaksi selesai, terima uang Rp.100 ribu, suara beralih. Kemudian, si politisi terpilih menjadi anggota parlemen untuk DPR atau DPRD.

Satu saat, Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM. Otomatis harga BBM (premium) naik dari Rp.6.500 per liter menjadi Rp.7.500 per liter. Seharusnya, anggota parlemen berjuang agar subsidi BBM tidak dikurangi supaya rakyat tidak perlu mengeluarkan uang tambahan membeli BBM.

Namun, anggota parlemen yang kita pilih dalam Pemilu terlihat diam dan santai-santai saja. Dia tidak mau repot bersuara dan berteriak di ruang sidang. Barangkali juga, dia jarang ikut sidang, siapa tahu. Pasalnya, dia tidak terbeban lagi atas penderitaan para pemilihnya. Kenapa? Suara pemilih (konstituen)  sudah “dibeli.”

Mau harga BBM, Elpiji atau sembako naik, mau turun, si anggota parlemen cuek-cuek saja. Pemilih protes? Suara sudah “dijual,” mau protes kepada siapa, harus tunggu lima tahun mendatang.

Satu saat, harga BBM pun naik pada posisi Rp.7.500 per liter. Pemilih tadi terpaksa mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp.1.000 untuk setiap liter BBM (premium) yang diisinya. Setiap hari, dia menghabiskan BBM untuk sepeda motornya sekitar 2 liter. Sebulan, dia harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mengisi BBM sebanyak 60 liter x Rp.1000 = Rp.60.000. Dua bulan kemudian, dia sudah mengeluarkan uang tambahan sebanyak Rp.120.000 untuk mengisi BBM. Bila dibandingkan dengan uang hasil “penjualan” suara pada waktu Pemilu hanya diperolehnya sebesar Rp.100.000, dia sudah tekor Rp.20.000.

Ironis bukan? Dalam tempo dua bulan, si pemilih yang “menjual’ suara tadi sudah mengalami ketekoran sebesar Rp.20.000. Bayangkan jika subsidi BBM terus dikurangi, maka harga BBM terus melangit. Disisi yang lain, anggota parlemen yang dipilihnya masih tetap cuek dan jarang ikut sidang. Berapa besar kerugian seorang pemilih, kalikan saja.

Ini baru terkait harga BBM. Bagaimana pula jika dikaitkan dengan naiknya harga Elpiji, beras dan sembilan bahan pokok lainnya. Cukupkah uang Rp. 100.000 untuk mengantisipasi berbagai kenaikan itu? Semoga tulisan ini memberi pencerahan kepada rakyat yang sudah memiliki hak pilih. Jangan “jual” suara anda, tetapi “pinjamkan” supaya bisa ditagih ketika wakil anda tidak amanah.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.