Jejak Karya Penyair dari Gayo

oleh

Oleh : Zuliana Ibrahim

Sastrawan asal Gayo
Kolase foto penyair dari Gayo

KEBERADAAN karya sastra menjadi ranah pembuktian bahwa budaya di masyarakat terus berkembang seiring dengan terjadinya pertukaran generasi. Budaya merupakan implementasi keberadaan suatu kelompok manusia. Kaitannya dengan karya sastra, karya sastra merupakan rekaman dari hasil budaya yang menjadi referensi untuk generasi selanjutnya.

Seperti yang dikemukakan oleh Nyoman Kutha Ratna (2007:4) bahwa sastra dan kebudayaan berbagi wilayah yang sama, yaitu aktivitas manusia, tetapi dengan cara yang berbeda, sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas, sebagai kemampuan emosionalitas, kebudayaan lebih banyak melalui kemampuan akal, sebagai kemampuan intelektualitas. Maka secara praktis sastra dan kebudayaan memiliki hubungan yang erat. Atas dasar pemahaman bahwa keberadaan karya sastra jadi jejak rekam tentang suatu kebudayaan.

Masyarakat Gayo, sebagai salah satu suku yang menetap di Aceh adalah salah satu dari sekian banyak suku di Indonesia yang bertahan dengan kebudayaannya. Sebagai catatan dari kebudayaan tersebut, lahirlah karya-karya sastra baik berupa sastra lisan (folklor) maupun sastra tulis. Masyarakat Gayo mengenal istilah kekeberen, kegiatan ini dikategorikan sebagai sastra lisan. Cerita turun temurun disampaikan oleh datu ke anak cucunya, melalui kegiatan bercerita.

Perbandingan antara perkembangan sastra saat ini dengan sastra lama yang sebelumnya telah berkembang, di Gayo sendiri jenis kegiatan sastra lisan (folklor) sudah mulai hilang. Ini menjadi tolak ukur akan keberadaan sastra lama yang mulai terkikis di tengah masyarakat Gayo. Terlebih lagi, kurangnya keprihatinan atau kesadaran tentang bagaimana mempertahankannya sebagai warisan budaya.  Selain syair-syair didong yang masih lestari di tengah masyarakat Gayo, sebenarnya sejak dulu Gayo juga telah memiliki penyair-penyair yang ikut mengembangkan sastra di Gayo bahkan Indonesia. Karya-karya dari alm. Ceh To’et misalnya, sebagai salah satu penyair Gayo yang telah banyak menciptakan syair-syair didong yang syarat dengan makna. Selanjutnya masih ada LK Ara, Fikar W Eda, Salman Yoga dan Ibrahim Kadir yang sampai sekarang masih giat melahirkan karya-karya sastra yang ikut mewarnai sastra di kancah nasional pun internasional. Salah satu puisi karya Ibrahim Kadir, berjudul Padang Sari Bulen adalah salah satu jenis puisi mantra.

Hei pawang-pawang tue,
Jin-jin pesingit ni uten
Ulu gere bekedeng, tapak gere besaka
Bercerak mi ko lipen, kala bewene si munaso bise segele bise.

Puisi karya Salman Yoga, berjudul Renggali Gayo yang terangkum dalam buku Bungai Rampai Temu Sastrawan Indonesia ke -IV

Renggali di Gayo
dekat dan dekat sekali di berbatas teras
menari damai dan lincah menggelengkan aliran

Ada pula karya LK Ara yang berjudul Angin Lut Tawar

Pengembara udara danau
Bisikkan daku resiamu mengatur ombak
Hingga perahu berlayar atas desahmu
Ikan berenangan di bawah lenganmu

Atau puisi Fikar W.Eda berjudul Takengon, 29 Ribu Kaki

       Dari ketinggian 29 ribu kaki
Dari jendela kanan garuda yang bening
Takengon terhampar
Di antara lekuk bukit
Dan gunung-gunung
Sapuan awan tipis

Dari beberapa contoh puisi di atas adalah sebagian bukti keberadaan sastrawan asal Gayo yang diakui oleh masyarakat Indonesia.Upaya para penyair yang mengangkat unsur lokalitas dalam karya-karyanya menjadi salah satu cara memperkenalkan Gayo dan kebudayaannya. Maka, patutlah kita mulai memikirkan bagaimana seterusnya perkembangan dari penyair asal Gayo setelah mereka? Maka betapa pentingnya regenerasi, untuk melahirkan penyair-penyair yang kelak bisa ikut mewarnai perkembangan sastra Indonesia. Sebab generasi muda Gayo saat ini, tampaknya lebih cenderung terjun di dunia musik, photography atau fashion.

***

BIODATA :

AnaZuliana Ibrahim, beberapa karyanya berupa puisi dan cerpen terbit di harian Medan Bisnis, Analisa, Mimbar Umum, Serambi Indonesia, Sinar Harapan, Majalah teropong UMSU dan Majalah LPM Dinamika IAIN. Selain itu, juga terangkum dalam beberapa sejumlah buku antologi. Merupakan dewan ahli di Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) Sumatera Utara.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.