(Refleksi Hari Ibu Nasional)
Oleh Johansyah
“Seseorang datang kepada Rasulullah dan bertanya, “Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali? Beliau menjawab, ibumu! Dan orang tersebut kembali bertanya, kemudian siapa lagi? Beliau menjawab, ibumu! Orang tersebut bertanya kembali, kemudian siapa lagi? Beliau menjawab, ibumu! Orang tersebut bertanya kembali, kemudian siapa lagi, Nabi Saw menjawab, kemudian ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas mungkin tidak asing lagi bagi kita karena sering mendengar dan membacanya. Namun sengaja penulis kutip kembali pada hari ibu yang diperingati setiap 22 Desember di negeri ini. Agar kita mengetahui bagaimana Islam menghargai dan memuliakan seorang ibu. Esensi peringatan hari ibu tidak lain adalah upaya kita selaku anak dengan menyadari sepenuh hati bagaimana perjuangan hidup seorang ibu yang menghadapi berbagai tantangan sejak dia mengandung, menyusui, mengasuh, membesarkan, dan mendidik anaknya.
Menurut Imam Nawawi, mengapa sampai Nabi menyebut 3 kali kalimat ‘ibumu’ pada hadits di atas, karena dalam hadits ini terdapat anjuran untuk berbuat baik kepada kerabat dan ibu lebih utama dari berbuat baik dan berbakti kepada ayah. Setelah itu baru seorang anak dianjurkan untuk berbuat baik kepada anggota kerabat yang lainnya. Menurut para ulama, ibu lebih diutamakan karena kesulitan yang dialaminya dari mengandung hingga membesarkan anaknya.
Selama sembilan bulan dia harus bersusah payah mengandung anak dalam rahimnya. Setalah itu berjuang antara hidup dan mati ketika melahirkan kita. Sang ibu kemudian menyusui anaknya agar dia tidak lapar dan haus, walau pun terkadang dia sering menunda makan karena harus menyusui anaknya terlebih dahulu. Sang ibu juga harus mengganti popok anak yang ngompol walau di tengah malam sekali pun. Sang ibu tidak membiarkan anaknya terkena terik matahari yang menyengat, atau guyuran hujan agar anaknya tetap dalam kondisi yang sehat dan ceria.
Tidak tau balas budi
Inilah potret perjuangan ibu sejati. Sayangnya, banyak anak yang tidak tau balas budi terhadap orangtua (terutama ibunya). Makanya ada seorang ustadz bilang, seorang ibu mampu mengurusi sepuluh anak, tetapi sepuluh anak belum tentu mampu mengurusi seorang ibu. Memilukan, sekarang banyak anak yang ‘menutup mata’ terhadap kondisi ibu mereka, membiarkannya hidup seorang diri tanpa ditemani dan dihibur satu orang anak pun, padahal anaknya banyak.
Ironinya lagi, banyak anak yang mengantarkan ibunya ke panti jumpo. Sang anak yang sudah kaya dan menjadi pejabat tidak ingin disibukkan dan direpotkan untuk mengurusi ibunya. Alasannya, mereka tidak punya waktu untuk itu. Dengan bermodal materi yang melimpah, mereka ingin melepaskan diri dari tanggung jawab untuk mengurus ibu mereka dan menyerahkannya ke panti jumpo. Anehnya lagi, alasan mereka menyerahkan sang ibu ke panti tersebut karena nanti takut berbuat dosa, berkata kasar, atau memperlakukan orang tuanya tidak layak sehingga lebih baik diserahkan ke sana. Lalu apakah menyerahkan ibu ke panti jumpo terhindar dari dosa? Tidak, ini justru mendatangkan dosa besar.
Sedikit sekali seorang ibu yang tega menelantarkan anaknya. Kebanyakan dari ibu tidak akan pernah membiarkan anaknya telantar, dan menyerahkannya ke panti asuhan karena tidak ingin direpotkan. Sebaliknya, sedikit sekali dari anak yang mau, ikhlas, tulus, dan repot mengurusi ibunya yang sudah tua renta dan uzur. Kebanyakan dari anak tidak mau terbebani mengurus orangtua yang katanya banyak tuntutan, mudah tersinggung, dan bertingkah seperti anak-anak.
Kasih yang tak ternilai
Pribahasa mengatakan; “kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah.” Makna kasih sayang sepanjang jalan adalah kasih yang tidak terukur dan ternilai. Begitulah kasih sayang seorang ibu. Bagaimana pun upaya kita membalasnya, tetap tidak akan pernah berimbang dengan apa yang mereka persembahkan untuk kita, apalagi melebihi.
Sebuah riwayat menceritakan, seseorang datang kepada Rasulullah, dan berkata; “Aku akan berbai’at kepadamu untuk berhijrah, dan aku tinggalkan kedua orangtuaku dalam keadaan menangis.” Lalu Rasulullah bersabda; “kembalilah kepada kedua orangtuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi, dan Hakim).
Orang yang sangat rugi adalah mereka yang tidak berbakti kepada orangtuanya. Rasulullah telah bersabda; “Sungguh rugi, sungguh rugi, dan sungguh rugi! Yaitu orang yang masih mempunyai ibu bapak yang sudah tua atau salah satu daripada mereka, kemudian, hal ini tidak dapat memasukkannya ke dalam syurga (kerana tidak berbuat baik kepada mereka” (HR. Muslim).
Ada banyak bukti dari kasih sayang ibu yang tak terhingga. Coba perhatikan, berapa orang ibu yang ketika ditinggal almarhum suaminya menikah lagi, dan berapa bapak yang menikah lagi ketika ditinggal almarhumah istrinya. Menurut penulis, sebagian besar kaum ibu yang ditinggal almarhum suaminya menjadi janda, tidak banyak menikah lagi kerena hanya ingin mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Sikap ini berbeda dengan seorang bapak, pada umumnya ketika ditinggal istrinya langsung mencari istri lain. Sedikit sekali dari kaum bapak yang tahan hidup menduda.
Dulu, salah satu paman penulis meninggal dunia di usia yang terbilang muda, sekitar 36 tahun. Dia meninggalkan istri tiga orang anaknya. Banyak yang laki-laki yang tertarik untuk menikahi istri paman tadi yang sudah menjanda, tetapi dia tidak menerima satu pun lamaran tersebut. Alasannya sangat sederhana, bahwa dia ingin konsentrasi untuk membesarkan dan mendidik ketiga anaknya.
Kita semua mungkin punya cerita tentang potret kasih sayang seorang ibu. Maka wajarlah Rasulullah sangat menganjurkan kita berbakti kepada ibu, mengasihinya, berusaha membuatnya tersenyum dan bahagia di sisa umur yang mereka miliki. Sang ibu sama sekali tidak menuntut limpahan materi berupa uang, bukan barang mewah dan mahal, bukan pula persembahan dalam wujud materi lainnya. Mereka hanya butuh perhatian dan kasih sayang anaknya, perlakuan yang santun, dan selalu sabar.
Hari ibu yang kita peringati setiap tanggal 22 Desember hanyalah seremonial belaka. Artinya, berbakti kepada ibu bukan hanya di hari itu saja, tetapi setiap saat sepanjang masa. Berbakti kepada orangtua (terutama ibu) berarti merintis jalan menuju surga. Keridhaan ibu, itulah surga. Makanya hadits mengatakan; “surga di bawah telapak kaki ibu”. Akhirnya, marilah senantiasa memanjatkan do’a pada orangtua kita di setiap kali usai shalat; Allahummaghfirliy dzunubiy waliwalidayya warhamhuma kama rabbayaniy shaghira. Amin.
*Kandidat Doktor Pendidikan Islam pada UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Email: johan.arka[at]yahoo.co.id