Guru Itu Orang Pinter

oleh

Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]

MELALUI ulang tahun PGRI yang diperingati kemaren (25/11) kita ketahui masih ada 30 % lagi guru yang belum pernah mendapatkan pendidikan tambahan atau pelatihan, mungkin inilah salah satu sebab yang dapat dijadikan alasan rendahnya mutu pendidikan di Aceh. Disamping masih ada hal lain tentu yang membuat rendahnya mutu tersebut  seperti menumpuknya guru-guru di sekolah-sekolah perkotaan karena berbagai alasan dan sebaliknya di daerah terpencil, sehingga tidak jarang kita dengar di daerah-daerah terpencil ada sekolah yang hanya diajar oleh beberapa orang guru atau seorang guru mengajar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Kondidisi seperti ini tentu menimbulkan ketimpangan pendidikan antara mereka yang tinggal di kota dengan mereka yang jauh dari kota.

Terlepas dari ketimpangan di atas tentu kita tidak boleh larut dalam pembicaraan tentang pemerataan pendidikan dengan penempatan guru dan pemenuhan sarana dan prasarana sekolah, karena hal ini sudah merupakan tugas mereka yang mempunyai otoritas untuk itu, seperti Dinas Pendidkan, Bupat dan lain-lainnya.

Di sini kita berusaha untuk memberi  tahu kepada semua orang (terlebih guru) bahwa kualitas guru itu penting dan malah lebih penting dari kualitas orang tua dalam bidang pendidikan. Realita bisa kita lihat banyak orang tua yang mempunyai pendidikan yang tinggi tetapi anak mereka tidak ada yang  bisa mengikuti jejak mereka tetapi banyak orang tua yang yang berpendidikan pas-pasan (sekolah hanya menamatkan kewajiban program pemerintah yaitu pendidikan 9 tahun) namun anak-anak mereka  banyak berkuliah di Perguruan Tingga dan dengan prestasi yang baik. Realita lain juga bisa kita lihat ketika seorang guru yang berprofesi sebagai orang tua, artinya mereka mempunyai anak di rumah yang juga belum tentu seberhasil  ketika ia melakukan proses pendidikan di sekolah. Banyak anak-anak hasil didikan mereka di sekolah yang menjadi orang-orang yang berhasil sesuai dengan hasil harapannya sebagai guru, tapi anak-anak mereka di rumah banyak yang tidak dapat melanjutkan pendidikan karena berbagai alasan yang tidak sesuai dengan kehendaknya sebagai orang tua di rumah dan berprofesi sebagai guru.

Orang tua yang berpendidikan pas-pasan banyak yang berhasil mendidik anaknya dalam rangka memperkenalkan diri anak kepada diri si anak secara mendalam, orang tua memperkenalkan keberadaan diri anak sebagai anak yang berada dalam lingkungan keluarga yang tidak berpendidikan, memperkenalkan diri anak sebagai orang yang tidak dapat hidup cukup dalam kebutuhan sehari-hari, kemudian orang tua menyuruh anaknya untuk keluar dari dirinya karena kehidupan yang ada di luar dirinya adalah lebih baik, lebih berharga, lebih layak dan lebih terpandang. Namun sebagai  orang tua yang berpendidikan pas-pasan hanya itu yang bisa ia lakukan, ia tidak mampu memberi gambaran bagaimana indahnya kehidupan di luar diri yang penting ia beritahu bahwa kehidupan diluar diri yang ada sekarang adala lebih baik.

Orang tua yang berprofesi sebagai guru sering lupa menggambarkan kepada anaknya bahwa kehidupan di luar diri yang dialami sekarang ini lebih indah, lebih berharga dan lebih bermartabat. Orang tua yang berprofesi sebagai guru demikian berarti telah menjadikan guru sebagai cita-cita yang paling tinggi dan mengangap kehidupan yang dialami oleh anak mereka sudah memadai sehingga anak tidak pernah disuruh untuk keluar dari diri mereka, dalam bahasa masyarakat yang sederhana sering dikatakan dengan orang tua yang lalai dengan pekerjaan sehingga melupakan keluarga.

Namun tidak jarang juga orang yang dapat memposisikan dirinya sebagai orang tua ketika di rumah dan sebagai guru di sekolah. Hal ini tentu tidak mudah, karena untuk tu perlu ada sebuah pengetahuan dalam diri seseorang bahwa kebutuhan terhadap pendidikan anak dalam keluarga tidak sama dengan pendidikan anak ketika sekolah yang keduanya berbeda namun saling berkaitan.

Sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam tulisan sebelumnya tentang “orang tua dan Guru” bahwa orang tua bertugas memberi tahu kepada anak ilmu yang yang bersifat “egois”, yaitu memperkenalkan kepada anak tentang diri dan lingkungan keluarga mereka. Sedangkan guru bertugas mengajarkan kepada diri anak tentang keberadaan anak didik dalam kehidupan sosial, bagaimana berhubungan dengan orang diluar keluarga dan lingkungan mereka, bagaimana hidup dengan alam yang berada di luar diri mereka dan bagaimana juga hidup dengan alam yang selalu berubah yang dalam istilah Durkhem disebut dengan “Altruis”

Untuk menjadi diri sebagai seorang guru yang mempunyai tugas “altruis” yang sangat luas inilah seorang guru diperlukan mempunyai kualitas yang lebih dan melebihi orang tua murid yang juga dengan berbagai profesi. Guru harus mampu menggambarkan proses perkembangan budaya dari masa kemasa dan juga mampu memperlihatkan perubahan alam sehingga diharapkan mampu memprediksi kemunginan yang akan terjadi di satu saat dan di zaman itulah murid mereka akan hidup. Kondisi inilah yang menuntut guru untuk selalu mengembangkan dirinya dalam bidang akademis, tanpa selalu mengasah dan melatih diri segala tantangan tidak akan mungkin bisa dijawab, kemajuan yang terarah tidak mungkin terwujud, sehingga kesejehtraan hanyalah merupakan angan-angan yang kosong.


[*] Dosen pada Fak. Syari’ah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.